Kamis, 25 Agustus 2011

TUJUAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN


MELANGSUNGKAN PERKAWINAN

A. Syarat-Syarat Perkawinan
            Untuk dapat melangsungakan perkawinan diperlukan sejumlah persyaratan. Persyaratan-persyaratan itu di kelompokkan dalam 2 kelompok, yaitu syarat materildan syarat formal. Syarat meteril perkawinan berkaitan dengan diri calon isteri dan syarat formal perkawinan berkaitan dengan tata cara pelaksanan perkawinan.
Syarat materilperkawinan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami istri sebelum  melangsungkan perkawinan. Syarat formal perkawnan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum  dan pada saat pelaksanaan perkawinan, yaitu tata caramelaksanakan perkawinan itu sendiri.

B.     Syarat Materil Perkawinan
Menurut UUP No. 1 Tahun 1974, syarat-syarat materil darimperkawinan itu adalah :
1.      Harus ada kehendak / kemauan bebas daricalon suami iastri (Pasal 6 ayat (1). Artinya adalah bahwa perkawinan harus didasarkan atas kehendak calon, dan bukan semata-mata kehendakorang lain(orang tua ,dsb.). dengan ini diharapkan bahwa tidak terjadi perkawinan yang dipaksakan. Perkawinan yang dipaksakan dapat menimbulkan kekurangharmonisan hubungan suami istri.dalam ketentuan ini juga diharapkan bahwa kedua calon suami isteri menyadari akibat-akibat yang timbul dari perkawinan dan sedapat mungkin mempersiapkan diri untuk itu  
2.      Harus ada izin dari orang tua/ wali bagi calon suami isteri yang berumur kurang dari 21 tahun  (pasal 6 ayat (2) dan ayat (3). Izin dimaksudkan  supaya orang tuaatau wali ikut mengetahui dan mempertimbangkan keputusan melangsungkan perkawinan yang dipilih calon mempelai. Dalam hal ini orang tua atau wali mempunyai kesempatan untuk mengkoreksi kembali keseriusan calon untuk melangsungkan perkawinan. Izin dari orang tua/wali juga dapat menghindari hal-hal lain yang munkin timbul diliar pengetahuan calon mempelai
3.      Calon suami sekurang-kurangnya telah berumur genap 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur genap 19 tahun ( pasal 7 ayat (1). Syarat umur ini berkaitan dengan kematangan fisik dan psikologis (emosi) dariclon suami isteri. Dengan batas umur yang seperti ini diharapkan calon mempelai sudah memiliki kematangan fisik yang dituntut dalam sebuah perkawinan. Perkawinan diharapkan melahirkan  generasi baru yang sehat secara fisik.kesehatan pisik antara lain dipengaruhi oleh kematangan bibit, sedangkan kematangan bibit diperoleh dari umur atau usia. Calon mempelai juga harus mempunyai kematangan emosional sehingga dapat menyadari akibat-akibat dari perkawinan itu.
4.      Antara calon suami isteri tidak terkena larangan kawin karena hubungan darah,semenda, susunan dan agama serta peraturan lain (Pasal 8). Hubungan darah  ditandai dengan adanya satu garis keturunan dari nenek moyang yang sama. Orang-orang yang berhubungan darah dilarang melangsungkan perkawinan. Hubungan susunan didasarkan pada susu ( air susu ibu, asi)yang sama yang menjadi sumber hidup mereka. Karena susu (asi)memberi kehidupan, makaorang-orang yang sesusunan sama dengan mempunyai hubungan yang sama seperti hubungan darah, sehingga dilarang melangsungkan perkawinan. Demikian juga dilarang melangsungkan perkawinan antara mereka yang menurut hukum agama atau peraturan lain tidak diperbolehkan.
5.      Salah satu pihak atau keduanya tidak sedang terikat perkawinan  (Pasal 9).perkawinan yang dimaksud haruslah berlangsungantara orang-orang yang bebas dari ikatan perkawinan. Dengan demikian, perkawinan terjadi antara seorang laki-laki ( lajang,atau duda) dengan seorang wanita ( gadis,atau janda) ketentuan ini dikecialikan bagiseorang suami yang akan beristeri lebih dari Satu
6.      Antara kedua calon suami isteri bukan perkawinan ketiga kalinya  (Pasal10). Maksudnya adlaah bahwa calon suami isteri hendaknya  bukanlah pasangan yang telah dua kali bercerai. Dengan ketentuan ini dimaksudkan bahwa perkawinan tidak untuk main-main, mencoba-coba, tetapi hubungan yang sakral. Oleh karena itu dibutuhkan pertimbangan yang matang dalam menempuh perceraian.
7.      Bagi calon isteri harus melewati masa tunggu ( pasal 11). Masa tunggu ini ditujukan kepada calon isteri yang telah pernah kawin, lalu bercerai atau ditinggal mati suaminya. Tujuan dari syarat ini adalah supaya tidak terjadi kakacauan darah (percampuran darah) pada rahim isteri karena perkawinan sebelumnya. Dengan kata lain supaya dapat kawin lagi seorang calon isteri harus benar-benar bersih rahimnya
Dengan syarat-syarat yang disebutkan diatas, UUP ini ingin menegaskan bahwa perkawinan merupakan suatu hubungan yang direncanakan terlebih dahulu dengan baik, didasari akibat-akibatnya sehingga tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud pada pasal 1 UUPdapat tercapai                        
                                                           
C. Syarat Formal Perkawinan
Selain syarat materil, dikenal juga syarat formal perkawinan yang mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan. Perkawinan dilaksanakan dengan tata cara tertentu yang dapat dibagi dalam tiga tahapan sebagai  berikut
1.      Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan perkawinan yaitu:
  1. Pemberitahuan : pihak calon suami isteri memberitahukan kehendak untuk melangsungkan perkawinan kepada pejabat yang berwenang (pasal 3 ayat (1), yang dilakukan sekurang-kurangnya  10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (ayat 2)
  2. Pengumuman : pejabat yang berwenang  mengumumkan rencana perkawinan itu ditempat yang semestinya sebagaimana menurut ketentuan undang-undang (Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975)
2.      Pada saat pelaksanaan perkawinan harus dipenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Perkawinan dilangsungkan setelah hari ke 10 sejak pengumuman (Pasal 10 ayat(1)
b.      Perkawinan dilaksanakan menurut aturan atau tata cara agama kepercayaan yang dianut oleh pasangan suami istri (pasal 10 ayat (2)  jo pasal 2 ayat (1) dengan ini ketentuan keagamaanlah yang merupakan inti acara perkawinan. Ketentuan ini berbeda dengan pasal81 KUH Perdata yang menentukan bahwa setelah diadakan perkawinan dihadapan Pegawai Catatan Sipil barulah diadakan upacara keagamaan. Konsekuensi dari ketentuan pasal 10 ayat (2) jo pasal 2 ayat (1) UUP ini adalah bahwa sah tidaknya perkawinan dinyatakan oleh pejabat agama.
c.       Perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan (Pasai 10 ayat (3). Dengan ketentuan ini, pejabat pencatat perkawinan hanya berfungsi menyaksikan pelaksanaan upacara perkawinan
d.      Perkawinan disaksikan oleh 2 orang saksi (pasal 10 ayat (3)     

3.      Segera setelah perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan penanda tanganan sebagai berikut:  
  1. Kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat perkawinan (Pasal 11 ayat (1)
  2. Kemudian diikuti dengan penandatangan oleh saksi-saksi (Pasal 11 ayat 2)
  3. Diikuti dengan penandatanganan oleh pegawai pencatat perkawinan (Pasal 11 ayat (2)
Bagaimana jika tidak ditandatangani oleh salah seorang mempelai, oleh saksi atau oleh Pegawai Pencatat Perkawinan? Keadaan ini tidak mengurangi sahnya perkawinan, karena sahnya perkawinan sudah dinyatakan oleh pejabat agama pada waktuupacara dilaksanakan.

BAB II
TUJUAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

Dengan memenuhi tata cara perkawinan  sebagaimana disebutkan diatas, Undang-undang Perkawinans mengharapkan tercapainta tujuan:
1.      Untuk memberi sifst terbuka pada perkawinan itu,yaitu dengan memberi kesempatan yang cukup yaitu selama 10 hari bagi orang lain untuk menyatakan keberatan atau pencegahan atas dilangsungkannya perkawinan itu. Dengan ini dimaksudkan supaya jangan sampai terjadi  perkawinan yang tidak memenuhi syarat hukum (perkawinan yang melanggar hukum). Jadi prinsip terbuka dipandang seagai salah satu prinsip penting dari perkawinan
2.      Untuk mencegah dilangsungkannya perkawinan yang buru-buru dan dipaksakan.undang-undang ini menghendaki agar perkawinan direncanakan terlebih dahulu secara matang, terutama oleh para calon suami isteri harus sungguh-sungguh menyadari akibat dari perkawinan itu. Dengan memberi waktu sekitar 10 hari makapara calon suami isteri diharapkan mempunyai waktu yang cukup untuk mempertimbangkannya. Jadi prinsip kebebasan ingin dilindungi melalui ketentuan ini.
3.      Perkawinan dipandang sebagai peristiwa rligius sehingga harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara agama/ kepercayaan. Ketentuan ini ingin menegaskan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan dan dalam perkawinan harus mentaati ajaran (hukum) Tuhan.
4.      Perkawinan juga merupakan peristiwa hukum, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan hukum, yaitu saksi.
5.      Sebagai peristiwa hukum,perkawian harus dibuktikan dapat secara hukum, oleh karena itu diperlukan penandatanganan akta perkawinan.     
Menurut UUP, perkawinan menimbulkan akibat hukum pada hal-hal sebagai berikut:
1.      Pada diri suami isteri.  Perkawinan melahirkan sebutan baru bagi diri silaki-laki sebagai suami dan si wanita sebagai isteri.
2.      Pada hubungan suami dan isteri. Perkawinan menjadikan suami menjadi kepala keluarga dan si isteri menjadi ibu rumah tanggal (Pasal 31 ayat 3).
3.      Pada harta benda. Perkawinan akan melahirkan persoalan tentang harta benda, yaitu mengenai harta benda bersama suami isteri maupun harta pribadi dan atau harta bawaan.
4.      Pada anak-anak. Perkawinan akan melahirkan anak sebagai hasil hubungan suami isteri.
5.      Pada orang lain sanak saudara masing-masing suami isteri. Dengan perkawinan maka lahirlah hubungan antara suami isteri dengan keluarga kedua belah pihak, yang disebut dengan hubungan semenda.
Di dalam perkawinan, hukum memberi kedudukan seimbang kepada suami isteri, yaitu dengan menetapkan suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Dengan kedudukan yang seimbang itu, suami isteri harus saling menghargai kedudukannya masing-masing, baik di keluarga maupun  di masyarakat (Pasal 31 UUP). Menurut UUP suami dan isteri sama-sama cakap bertindak di dalam hukum. Ini berbeda dengan ketentuan KUH Perdata yang menetapkan bahwa karena perkawinan, isteri menjadi tidak cakap bertindak dalam hukum khususnya mengenai perbuatan yang berkaitan dengan harta kekayaan, di mana ditetapkan bahwa isteri harus terlebih dahulu mendapat izin dari suaminya. Padnagan yang dianut UUPA disini merupakan suatu kemajuan sesuai dengan tuntutan kebutuhan seiring dengan perkembangan zaman.

KESIMPULAN


Suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam kitab Undang-Undang  Hukum Perdata dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.
Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun suadara tiri, seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya seorang paman dilarang kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
Tentang hal izin dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus memberikan izin, atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu masing-masing pihak.

DAFTAR PUSTAKA

-          Prof. Subekti, SH Pokok-pokok Hukum Perdata/ Subekti – Cetakan -26-Jakarta: Intermasa; 1994.
-          Janus Sidabalok SH. M-Hum. Hukum Perdata Indonesia, Medan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar