Kamis, 25 Agustus 2011

Bagaimana kita melihat Ontoerekeningsvatbaarheid (Pasal 44) dalam KUHP

 BAB I
PENDAHULUAN
Abstraksi
Tulisan ini sebagai Tanggapan mengenai beberapa pendapat yang muncul dikalangan ahli hukum mengenai tindakan dan hukuman bagi mereka para penderita kelainan jiwa, yang melakukan tindak kejahatan, khususnya di Indonesia, sudah menjadi realita bahwa di Indonesia akhir-akhir ini semakin sering terjadi kejahatan-kejahatan yang dilatar- belakangi dengan terganggunya kejiwaan si pelaku, namun bagian yang terpenting adalah mengenai bagaimanakah seharusnya hukum memandang kasus-kasus seperti ini, sehingga terlahir suatu bentuk penanganan yang tepat bagi para pelaku kejahatan yang memiliki gangguan jiwa. Sebab ketentuan hukum yang ada pada saat sekarang ini tidak menguraikan secara jelas mengenai batasan pertanggungjawaban pidana seseorang yang menderita kelainan jiwa. Setelah membaca beberapa pendapat pakar hukum pidana saya justru tertarik untuk lebih mendalami permasalahan ini, dan kurang lebih saya mendapatkan sebuah pemikiran sebagai hasil analisa.
A. Definisi Gangguan Jiwa
Menurut American Psychiatric Association (APA, 1994), gangguan mental adalah gejala atau pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis yang terjadi pada seseorang dari berhubungan dengan keadaan distres (gejala yang menyakitkan) atau ketidakmampuan (gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi-fungsi penting) yang meningkatkan risiko terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan yang penting dan tidak jarang respon tersebut dapat diterima pada kondisi tertentu. Menurut Townsend (1996) mental illness adalah respon maladaptive terhadap stresor dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural dan mengganggu fungsi sosial, kerja, dan fisik individu.
Konsep Gangguan Jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distres) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia (Maslim, 2002).


B. Definisi kesehatan Jiwa
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (www.dinkes-dki.go.id.htm).
Kesehatan jiwa meliputi:Bagaimana perasaan anda terhadap dirii sendiri, Bagaimana perasaan anda terhadap orang lain, Bagaimana kemampuan anda mengatasi persoalan hidup anda sehari hari.

C. Gejala Gangguan Jiwa (Maramis, 1995) :
1)Gangguan kesadaran
a) Penurunan kesadaran
(1)Apati
Mengantuk dan acuh-tak-acuh terhadap rangsang yang masuk; diperlukannya rangsang yang sedikit lebih keras dai biasanya untuk menarik perhatiannya.
(2)Somnolensi
Jelas sudah lebih mengantuk dan rangsang yang lebih keras lagi diperlukan untuk menarik perhatiannya.
(3)Sopor
Hanya berespon dengan rangsang yang keras; ingatan, orientasi, dan pertimbangan sudah hilang.
(4)Subkoma dan koma
Tidak ada lagi respons terhadap rangsang yang keras; bila sudah dalam sekali, maka reflek pupil (yang sudah melebar) dan reflex muntah hilang lalu timbullah reflex patologik.
b) Kesadaran yang meninggi
Kesadaran yang meninggi adalah keadaan dengan respons yang meninggi terhadap rangsang: suara-suara terdengar lebih keras, warna-warni kelihatan lebih terang: disebabkan oleh berbagai zat yang merangsang otak.

c) Tidur
Gangguan tidur dapat berupa: insomnia, berjalan waktu tidur, mimpi buruk, narkolepsi, kelumpuhan tidur.
d) Hipnosa
Kesadaran yang sengaja diubah (menurun dan menyempit, artinya menerima rangsang hanya dari sumber tertentu saja) melalui sugesti; mirip tidur dan ditandai oleh mudahnya disugesti; setelah itu timbul amnesia.
e) Disosiasi
Adalah sebagian tingkah laku atau kejadian memisahkan dirinya secara psikologik dari kesadaran. Kemudian terjadi amnesia sebagian atau total. Disosiasi dapat berupa: trans, senjakala histerik, fugue, serangan histerik, sindroma ganser, menulis otomatis.
f) Kesadaran yang berubah
Tidak normal, tidak menurun, tidak meninggi, bukan disosiasi, tetapi kemampuan mengadakan hubungan dengan dan pembatasan terhadap dunia luar dan dirinya sendiri sudah terganggu pada taraf “tidak sesuai dengan kenyataan†(secara kwalitatif), seperti pada psikosa fungsional.
g) Gangguan Perhatian
Tidak mampu memusatkan (memfokus) perhatian pada hanya satu hal/keadaan, atau lamanya memusatkan perhatian itu berkurang daya konsentrasi terganggu.
2)Gangguan ingatan
Ingatan berdasarkan tiga proses utama, yaitu pencatatan atau registrasi, penahanan atau resistensi, dan pemanggilan kembali atau recall. Gangguan ingatan terjadi bila terdapat gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga unsur tersebut.
a) Gangguan ingatan umum
Gangguan ingatan tidak terbatas pada suatu waktu tertentu saja dan dapat meliputi: kejadian yang baru saja terjadi dan kejadian yang sudah lama berselang terjadi.
b) Amnesia
Adalah ketidakmampuan mengingat kembali pengalaman, mungkin bersifat sebagian atau total, serta retrograd atau anterograd.
c) Paramnesia
Adalah ingatan yang keliru karena distorsi pemanggilan kembali (recall).
d) Hipermnesia
Adalah penahanan dalam ingatan dan pemanggilan kembali (arecall).
3)Gangguan orientasi
Orientasi adalah kemampuan seseorang untuk mengenal lingkungannya serta hubungannya dalam waktu dan ruang terhadap dirinya sendiri dan juga hubungan dirinya sendiri dengan orang lain.
Disorientasi atau gangguan orientasi timbul sebagai akibat gangguan kesadaran dan dapat menyangkut waktu, tempat, atau orang.
4)Gangguan afek dan emosi
Afek adalah nada perasaan, menyenangkan, atau tidak menyenangkan, yang menyertai suatu pikiran dan biasanya berlangsung lama serta kurang disertai oleh komponen fisiologik. Emosi adalah manifestasi afek ke luar dan disertai oleh banyak komponen fisiologik, lagi pula biasanya berlangsung relatif tidak lama (misalnya: ketakutan, kecemasan, depresi dan kegembiraan). Bilamana afek dan emosi itu sudah begitu keras, sehingga fungsi individu itu terganggu, maka dikatakan telah terjadi gangguan afek atau emosi yang dapat berupa:
a) Depresi
Depresi dengan komponen psikologik, misalnya: rasa sedih, susah, rasa tak berguna, gagal, kehilangan, tak ada harapan, putus asa, penyesalan yang patologis; dan komponen somatik, misalnya: anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan nadi menurun sedikit.
b) Kecemasan dan ketakutan
Kecemasan dapat dibedakan kecemasan (tidak jelas cemas terhadap apa) dari ketakutan atau fear (jelas atau tahu takut terhadap apa). Komponen psikologiknya dapat berupa: khawatir, gugup, tegang, cemas, rasa tak aman, takut, lekas terkejut, sedangkan komponen jenis somatiknya misalnya: palpitasi, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan darah meninggi, respons kulit terhadap aliran listrik galvanik berkurang, peristaltik bertambah, lekositosis.
Kecemasan dapat berupa:
(1)Kecemasan yang mengambang ( free-floating anxiety); kecemasan yang menyerap dan tidak ada hubungannya dengan suatu pemikiran;
(2)Agitasi: kecemasan yang disertai kegelisahan motorik yang hebat;
(3)Panik: serangan kecemasan yang hebat dengan kegelisahan, kebingungan dan hiperaktivitas yang tidak terorganisasi.

c) Efori
Rasa riang, gembira, senang, bahagia yang berlebihan; bila tidak sesuai dengan keadaan maka ini menunjukkan adanya gangguan jiwa; jika lebih keras lagi dinamakan “elasi†dan jika keras sekali dinamakan “exaltasiâ€


d) Anhedonia
Ketidakmampuan merasakan kesenangan, tidak timbul perasaan senang dengan aktivitas yang biasanya menyenangkan baginya.
e) Kesepian
Merasa dirinya ditinggalkan.
f) Kedangkalan
Kemiskinan afek dan emosi secara umum (berkurang, secara kwantitatif); dapat digambarkan juga sebagai datar, tumpul , atau dingin yang sama maksudnya; istilah-istilah ini tidak menunjukkan gradasi. Umpamanya kedangkalan emosi ialah tidak atau hanya sedikit merasa / kelihatan gembira atau sedih dalam keadaan atau mengenai sesuatu hal yang benar-benar menggembirakan atau menyedihkan.
g) Afek atau emosi tak wajar
Tak wajar atau tak patut dalam situasi tertentu (terganggu secara kwalitatif), umpamanya ketawa terkikih-kikih waktu wawancara. Bila extrim akan menjadi “inadequateâ€, yaitu afek dan emosi yang bertentangan dengan keadaan atau isi pikiran dan dengan isi bicara.
h) Afek atau emosi labil
Berubah-ubah secara cepat tanpa pengawasan yang baik, umpamanya tiba-tiba marah-marah atau menangis.
i) Variasi afek atau emosi sepanjang hari
Perubahan afek dan emosi mulai sejak pagi sampai malam hari. Umpanya, pada psikosa manik-depresi maka jenis depresinya lebih keras pada pagi hari dan menjadi lebih ringan pada sore hari.
j) Ambivalensi
Emosi dan afek yang berlawanan timbul bersama-sama terhadap seorang, suatu obyek atau suatu hal.
k) Apati
Berkurangnya afek dan emosi terhadap sesuatu atau terhadap semua hal dengan disertai rasa terpencil dan tidak peduli.
l) Amarah, kemurkaan, dan permusuhan
Sering dinyatakan dalam sifat agresi. Bila ditujukkan kepada pemecahan masalah dan dipakai sebagai pembelaan terhadap suatu serangan yang yata, maka agresi itu konstruktif sifatnya. Agresi itu menjadi: patologik bila tidak realistik, menghancurkan dirinya sendiri, tidak ditujukan kepada pemecahan masalah dan jika merupakan hasil konflik emosional yang belum dapat diselesaikan.
5)Gangguan psikomotor
Psikomotor adalah gerakan badan yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa: jadi merupakan efek bersama yang mengenai badan dan jiwa. Gangguan psikomotorik dapat berupa:

a) kelambatan
Secara umum gerakan dan reaksi menjadi lambat.
b) Peningkatan
Aktivitas dan reaksi umum meningkat.
c) Tik (tic)
Gerakan involunter, sekejap serta berkali-kali mengenai sekelompok otot atau bagian badan yang relatif kecil.
d) Bersikap aneh
Dengan sengaja mengambil sikap atau posisi badan yang tidak wajar, yang aneh atau bizar.
e) Grimas
Mimik yang aneh dan berulang-ulang.
f) Stereotipi
Gerakan salah satu anggota badan yang berkali-kali dan tidak bertujuan.
g) Pelagakan (mannerism)
Pergerakan atau lagak yang stereotip dan teatral (seperti sedang bermain sandiwara).
h) Ekhopraxia
Langsung meniru pergerakan orang lain pada saat dilihatnya; ekholalia: langsung mengulangi atau meniru apa yang dikatakan orang lain.
i) Otomatisma perintah (command automatism
Menuruti sebuah perintah secara otomatis tanpa memikir dulu.

j) Otomatisma
Berbuat sesuatu secara otomatis sebagai pernyataan (expresi) simbolik aktivitas tak sadar.
k) Negativisme
Menentang nasihat atau permintaan orang lain atau melakukan yang berlawanan dengan itu.
l) Kataplexia
Tonus otot menghilang dengan mendadak dan sejenak, juga timbul kelemahan umum dengan atau tanpa penurunan kesadaran, yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan emosi.
m) Gangguan somatomotorik pada reaksi konversi
Menggambarkan secara simbolik suatu konflik emosional dan dapat berupa:
(1) kelumpuhan
(2) pergerakan yang abnormal, umpamanya tremor, tik, kejang-kejang atau ataxia
(3) astasia-abasia: tidak dapat duduk, berdiri dan berjalan.
n) Verbigerasi
Berkali-kali mengucapkan sebuah kata yang sama.
o) Berjalan
Tidak tegap, kaku (rigid)atau lambat
p) Gangguan motorik
Yang sebenarnya bukan merupakan gangguan psikomotor, yang mungkin sekali disebabkan oleh: pemakaian obat (umpamanya: tremor, hipokinesa, diskinesa, akatisia, karena neroleptika), gangguan ortopedik atau gangguan nerologik.
q) Kompulsi
Suatu dorongan yang mendesak berkali-kali, biarpun tidak disukai, agar berbuat yang bertentangan dengan keinginannya sehari-hari atau dengan kebiasaan serta norma-norma.

r) Gagap
Berbicara dengan terhenti-henti karena spasme otot-otot untuk bicara, mulai dari berbicara sangat ragu-ragu sampai dengan berbicara explosif.
6)Gangguan proses berpikir
Proses berpikir meliputi proses pertimbangan (judgment), pemahaman (comprehension), ingatan, serta penalaran.
a) Gangguan bentuk pikiran:
Dalam kategori ini termasuk semua penyimpangan dari pemikiran rasional, logik dan terarah kepada tujuan.
(1) Dereisme
Titik berat pada tidak adanya sangkut paut terjadi antara proses mental individu dan pengalamannya yang sedang berjalan. Proses mentalnya tidak sesuai dengan atau tidak mengikuti kenyataan, logika atau pengalaman.
(2) Pikiran otistik
Menandakan bahwa penyebab distorsi arus asosiasi ialah dai dalam pasien itu sendiri dalam bentuk lamunan, fantasi, waham atau halusinasi.
(3) Bentuk pikir yang non-realistik
Bentuk piker yang sama sekali tidak berdasarkan kenyataan, umpamanya: menyelidiki sesuatu yang spektakuler/ revolusioner bila ditemui; mengambil kesimpulan yang aneh serta tidak masuk akal.

b)Gangguan arus pikir
Yaitu tentang cara dan lajunya proses asosiasi dalam pemikiran, yang timbul dalam berbagai jenis:
(1) Perseverasi
Berulang-ulang menceritakan suatu idea, pikiran atau tema secara berlebihan.
(2) Asosiasi longgar
Mengatakan hal-hal yang tidak ada hubungannya satu sama lain.
(3) Inkoherensi
Gangguan dalam bentuk bicara, sehingga satu kalimatpun sudah sukar ditangkap atau diikuti maksudnya.
(4) Kecepatan bicara
Untuk mengutarakan pikiran mungkin lambat sekali atau sangat cepat.
(5) Benturan (blocking)
Jalan pikiran tiba-tiba berhenti atau berhenti ditengah sebuah kalimat.
(6) Logorea
Banyak bicara, kata-kata dikeluarkan bertubi-tubi tanpa kontrol, mungkin koheren ataupun incoherent.
(7) Pikiran melayang (“flight of ideas)
Perubahan yang mendadak lagi cepat dalam pembicaraan, sehingga suatu idea yang belum selesai diceritakan sudah disusul oleh idea yang lain.
(8) Asosiasi bunyi (lang association
)
Mengucapkan perkataan yang mempunyai persamaan bunyi, umpamanya pernah didengar.
(9) Neologisme
Membentuk kata-kata baru yang tidak dipahami oleh umum.
(10) Irelevansi
Isi pikiran atau ucapan yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan atau dengan hal yang sedang dibicarakan.
(11) Pikiran berputar-putar
Menuju secara tidak langsung kepada idea pokok dengan menambahkan banyak hal yang remeh-remah yang menjemukan dan yang tidak relevan.
(12) Main-main dengan kata-kata
Membuat sajak secara tidak wajar.
(13) Afasi
Mungkin sensorik (tidak atau sukar mengerti bicara orang lain) atau motorik (tidak dapat atau sukar berbicara)












BAB II
PERMASALAHAN
Setelah melihat pendahuluan di atas, maka permasalahan yang timbul adalah
  1. Bagaimana keadaan - keadaan yang membuat pelaku pembunuhan tidak dapat dipidana menurut hukum pidana Indonesia
  2. Bagaimana kita melihat Ontoerekeningsvatbaarheid (Pasal 44) dalam KUHP
  3. Serta apa kelemahan Dalam Penerapan Pasal 44 KUHP.

















BAB III
PEMBAHASAN
A. Keadaan - keadaan yang membuat pelaku pembunuhan tidak dapat dipidana menurut hukum pidana Indonesia
Indonesia sebagai negara hukum, tentunya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana yang tertuang dalam BAB XA Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) yang secara khusus mengatur mengenai hak asasi manusia, dan ini memiliki konsekwensi bahwa setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia harus dihukum dan dihentikan terutama berkaitan dengan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
            Secara umum, kejahatan maupun pelanggaran terhadap hukum pidana Indonesia, akan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KUHP merupakan upaya penyeragaman pada hukum pidana yang dapat dijadikan acuan dasar dalam penghukuman pidana yang dapat diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitupula dengan ketentuan-ketentuan mengenai siapa yang dapat atau tidak dapat dipidananya seseorang atas kejahatan yang dilakukannya.
Maka berdasarkan pada KUHP, hal – hal yang menghapuskan pengenaan pidana adalah sebagai berikut:
1.            Karena tak mampu bertanggung jawab. Dalam pasal 44 (1) KUHP menyatakan bahwa:
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. Dan ayat ke - (2) menyatakan: “jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau karena gangguan penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
2.            Pembelaan terpaksa. Yaitu keadaan dimana orang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum karena adanya ancaman yang serius yang dapat membahayakan dirinya maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain.
3.            Dilakukan karena melaksanakan perintah undang - undang. Misalnya: eksekutor tembakan mati.
Jika kita membaca ketentuan diatas tersebut, maka dapat diartikan bahwa kejahatan hanya dapat dimintakan pertanggung jwabannnya bagi orang yang sehat dan karena adanya kehendak dari diri sipelaku untuk melakukan perbauaan tersebut,dan bukan karena adanya daya paksa. ‘Sehat’ disini bisa berarti jiwanya, maupun tubuhnya. Mengenai sehat jiwanya berarti bahwa pelaku kejahatan tidak dapat dipidana jika ternyata secara medis dinyatakan gila, atau keadaan – keadaan lain yang berdasarkan diagnosa dokter, kejahatan tersebut dilakukan diluar kesadaran si pelaku.
B. Ontoerekeningsvatbaarheid (Pasal 44) KUHP
Pasal 44 ” Tidak dapat dipidana barang siapa melakukan perbuatan oleh karena jiwa dari si pembuat itu tidak tumbuh dengan sempurna atau diganggu oleh penyakit sehingga sipembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Dari perumusan ini dapat ditentukan syarat-syarat yang termasuk dalam ketentuan pasal 44 yaitu,
a. Mempunyai jiwa yang tidak tumbuh dengan sempurna atau jiwa sipembuat diganggu oleh penyakut, Yang dimaksud disini adalah berhubung dengan keadaan daya berpikir tersebut dari si pelaku, ia tidak dapat dicela sedemikian rupa sehingga pantaslah ia tidak dikenai hukuman. Dalam hal ini diperlukan orang-orang ahli seperti dokter spesialis dan seorang psikiater.
b. Tingkat dari penyakit itu harus sedemikian rupa sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Namun demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang menyatakan bagaimana/kapan seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang sehat hal tersebut tidak akan ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu.
Dalam M.t.V ditentukan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :
a. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan nilai dari perbuatannya.
b. Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
c. Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang.
Maka jelaslah bahwa terhadap orang yang termasuk dalam kategori pasal 44 menurut ketentuan hukum pidana tidak dapat dihukum, namun perbuatan orang tersebut tetaplah merupakan perbutan yang bertentangan dengan hukum (Wederrechtelijk) akan tetapi terhadap pelaku diberikan alasan pemaaf oleh Undang-undang, atau schuld (Kesalahan) pembuat/ pelaku hapus.
C. Kelemahan Dalam Penerapan Pasal 44 KUHP
            Dengan kemampuan pengamatan dan daya analitis yang masih sederhana, penulis akan sedikit uraikan pernyataan para ahli hukum yang mengatakan bahwa pasal 44 ini memiliki kelemahan dalam penerapannya. Pasal 44 KUHP ini melahirkan dua perbedaan pendapat di dunia pakar hukum Indonesia :
1. Bahwa pasal ini ditujukan kepada orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan dalam kondisi yang sakit secara kejiwaan atau tidak sempurna akalnya, sehingga menurut mereka “kelainan jiwa” pun termasuk di dalamnya, sehingga alasan peniadaan pidana pun layak untuk dijatuhkan terhadap mereka. Konsekuensi logisnya, yaitu lepas dari segala tuntutan jika memang tersangka berada dalam kondisi yang diurai diatas,
2. Bahwa pasal ini kurang jelas dalam memberikan uraian mengenai batasan kemampuan bertanggung jawab seseorang, pada praktiknya di dalam proses penyelidikan seringkali ditemukan fakta bahwa tersangka masih dalam keadaan normal dan “prima” secara fisik, namun secara mental dan kejiwaan ia bermasalah sehingga ia melakukan kejahatan, inilah yang dimaksud dengan “kelainan jiwa” jelasnya dalam tahap pemikiran ini, gangguan jiwa ini terbagi menjadi “sakit jiwa” dan “kelainan jiwa”.
Pada kerangka Pemikiran pertama di atas, kelainan jiwa tergolong menjadi sebuah kondisi dimana orang yang mengalaminya harus dilepas dari segala tuntutan hukum jika memang terbukti adanya kelainan jiwa dalam diri tersangka, dengan kata lain pendapat ini tidak membedakan antara “sakit” dan “kelainan jiwa”. Semula penulis pun berada pada tahap pemikiran ini, namun setelah mereview kembali putusan terhadap Robot Gedek dan Dukun AS, yang terhadap mereka dijatuhkan hukuman mati, penulis mulai mempertanyakan mengapa seseorang yang memiliki kecenderungan “lain” secara mental atau secara kejiwaan, masih tetap saja dapat diberikan hukuman, bahkan hukuman mati, Jika mengikuti alur pemikiran poin pertama, bukankah seharusnya lepas dari segala tuntutan hukum ?mengapa tetap dijatuhi hukuman??
Nyonya Anik yang membunuh ketiga anaknya saja bisa lepas, sedangkan dukun AS dan Robot Gedeg dijatuhi hukuman, bahkan hukuman mati, kemudian Ryan yang saat ini cenderung lebih besar kemungkinan ia dijatuhi hukuman, Apa hanya karena alasan kejahatan mereka terlalu biadab dibanding ibu anik?? Ini adalah pertanyaan yang muncul dalam benak saya sebagai mahasiswa Hukum.
Intinya, ketika memang pasal 44 itu memiliki arti baik itu “sakit jiwa” atau “kelainan jiwa” adalah dianggap dalam posisi tidak mampu bertanggungjawab, seharusnya tidak boleh memunculkan bentuk putusan yang berbeda, mereka harus dilepas.
Pada kerangka pemikiran para ahli yang ke 2, gangguan jiwa ini terbagi menjadi “sakit jiwa” dan “kelainan jiwa”, sejalan dengan pemikiran pertama jika tersangka tergolong dalam “sakit jiwa” maka tersangka harus dilepas dari segala tuntutan hukum, namun dalam tahap pemikiran ini seorang penderita “kelainan jiwa” dianggap sebagai orang yang mampu bertanggungjawab dan harus diadili, sebab mereka ini sadar ketika melakukan kejahatan bahkan didahului dengan niat terlebih dahulu. Dari sinilah penulis mulai memahami, mungkin inilah alasannya kenapa Dukun AS, Robot Gedeg dan mungkin Ryan dapat dijatuhi hukuman, tapi bukankah ini menyalahi ketentuan pasal 44 KUHP?
Dari kedua pemikiran diatas sebenarnya sangat cukup untuk membuktikan betapa lemahnya pasal 44 KUHP, khususnya untuk diterapkan pada zaman sekarang ini. Tentunya diperlukan perubahan redaksi pasal agar lebih jelas untuk dipahami dan menghindarkan diskresi seminimal mungkin, ini demi terwujudnya kepastian hukum. Sebab sudah menjadi bukti nyata bahwa nyonya anik lepas dan dukun AS dihukum mati.
Mengenai definisi gangguan kejiwaan, jika kita menengok kacamata dunia kedokteran, bentuknya sangat beragam dan sangat luas, contoh saja penulis kemukakan bahwa menurut dunia kedokteran khususnya psikologi, ketika seseorang memiliki niat untuk melakukan tindak kejahatan ini sudah merupakan “kelainan’ dan berbeda dengan cara berpikir orang yang normal, terlebih lagi melakukannya, manusia seharusnya hidup berdampingan secara damai dan memberikan manfaat bagi orang lain, dan ketika terjadi sebuah penyimpangan maka ini sudah terjadi sebuah konflik jiwa/gangguan jiwa.
Menurut penulis, pasal yang seharusnya dimuat sebagai pasal pengganti pasal 44, memuat pengertian yang jelas apakah yang dimaksud itu adalah “sakit jiwa” atau “kelainan jiwa”, seharusnya kalimat “jiwanya cacat dalam tumbuhnya” ini diperjelas, sebab ini memang dapat diasumsikan juga sebagai “kelainan jiwa”, dan ini pun memungkinkan seorang psikopat lolos dari jeratan hukum. Tentu tidak akan ada yang setuju ketika seorang psikopat lolos dari jeratan hukum…..!!!
Dalam pasal 44 ayat 2 KUHP, dikatakan bahwa jika terbukti seperti apa yang dilantunkan dalam ayat (1), maka hakim dapat memerintahkan orang tersebut ke rumah sakit jiwa dalam masa percobaan 1tahun. Pertanyaan saya….ini diberikan pada saat putusan atau masih dalam masa pemeriksaan dan sidang ditunda hingga tersangka dinyatakan stabil??
Lihat kasus Ibu anik, ini dibacakan dalam putusan!!sehingga memungkinkan ia kembali berinteraksi di masyarakat setelah dinyatakan stabil oleh Rumah sakit. Tak terbayang bagaimana jika Ryan, Dukun AS, dan Robot Gedek diberikan putusan seperti ini, lebih baik saya pindah ke luar negeri….
Nah, betul kan….pasal 44 ini sangat kontradiktif dan sangat tidak jelas, sehingga memungkinkan perbedaan putusan oleh hakim, dan nasib psikopat juga penderita Schizophrenia dalam golongan paranoid, memiliki nasib yang berbeda pula…ada yang dihukum mati, ada yang bebas..!!!!padahal mereka ini sama-sama penderita kelainan jiwa..!!!
Penulis, setuju apabila kelainan jiwa ini harus dijatuhkan hukuman……dan untuk membantu berpikir dalam mencari alasan apa sebetulnya yang menjadi kekuatan hukum untuk mengadili penderita kelainan jiwa??sementara kelainan jiwa itu tidak dikehendaki oleh si tersangka.
1. Karena Straafbarfeit.
2. Karena sebuah teori dalam buku Pengantar Dalam Hukum Indonesia karangan Utrecht yang diterjemahkan oleh Moh Saleh Djindjang halaman 13, yang mengatakan bahwa :
“Tugas hukum itu menjamin kepastian hukum, hubungan-hubungan yang terdapat dalam pergaulan masyarakat. Kepastian ini kepastian yang dicapai oleh karena hukum. Dalam tugas itu otomatis tersimpul dua tugas lain, yang kadang-kadang tidak dapat disetarakan, yaitu hukum harus menjamin keadilan maupun hukum harus tetap berguna, terkadang adil dikorbankan agar hukum dapat berguna”.
Sedikit saja akan saya ulas mengenai penanganan kejahatan dalam jenis ini di Negara Inggris, untuk kategori “sakit jiwa”/gila mereka langsung diputus “hospital order”, dan bagi mereka penderita “kelainan jiwa” ini tetap harus dijatuhkan hukuman dan diproses seperti orang normal, hanya saja dalam keadaan-keadaan tertentu dapat diberikan “Diminished Responsibilities” ini tergantung hakim.
Untuk penderita kelainan jiwa ada sebuah fasilitas khusus disamping Rumah sakit jiwa yaituAssylum, selain sebagai fasilitas pemulihan kejiwaan, tempat ini pun digunakan sebagai pengganti“penjara”, maksud penulis adalah penderita kelainan jiwa biasanya diberikan putusan atau hukuman seperti orang normal, sebab pada prinsipnya mereka ini sadar dan masih dapat berkomunikasi dengan baik, namun sebagai tambahannya pasti ada perintah“hospital order” atau diserahkan keAssylum, sampai keadaannya pulih, kemudian setelah pulih ia kembali ke penjara untuk melanjutkan sisa hukumannya. Misalkan ia dihukum 10 tahun penjara, tapi dalam 5 tahun keadaannya sudah pulih akibat perawatan di Rumah sakit atau Assylum, setelah pulih ia kembali ke Penjara untuk melanjutkan sisanya.
Lebih hebatnya lagi di Inggris ada sebuah ketentuan yang mengatakan bahwa bagi seorang tahanan berhak mendapatkan layanan kesehatan jiwa, jadi psikiater bisa datang jika diperlukan untuk memeriksa dan mengobati tahanan, dan tahanan pun dapat dikirim ke rumah sakit jiwa untuk pengobatan jika memang diperlukan, tentunya setelah sembuh tahanan tersebut kembali lagi ke penjara. Ini tercantum dalam Mental Health Act,1983 pasal 37 dan 41.
Paling tidak Indonesia juga seharusnya memperhatikan masalah ini, jangan mengandalkan Rumah sakit jiwa saja………belum lagi prosedurnya tidak diatur secara lengkap untuk penanganan Pelaku kejahatan jenis ini. KUHAP tidak menjelaskan teknisnya……Lantas bagaimana solusinya??? pasti jawabannya…dana dan fasilitas yang masih kurang untuk menjalankan prosedur keren seperti di Inggris


















BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah penulis sampaikan sebelumnya, maka penulis ingin memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1.      Berdasarkan ketentuan KUHP, seseorang tidak dapat dipidana jika perbuatan tersebut: 1) tak mampu bertanggung jawab yaitu jika pelaku pada saat melakukan kejahatan tersebut dalam kondisi jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit. 2) pembelaan terpaksa yaitu: perbuatan tersebut dilakukan karena ada ancaman serangan yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan susila atau benda, baik milik sendiri maupun milik orang lain. 3) dilakukan karena melaksanakan perintah undang- undang. Misalnya: eksekutor tembakan mati.
2.      Tindakan yang harus dilakukan agar si pelaku tidak menimbulkan peristiwa yang sama jika dia dibebaskan kedalam lingkungan sosialnya, maka hakim dapat memerintahkan agar sebelum pelaku dikembalikan ke lingkungan sosialnya, agar pelaku”diisolasi” terlebih dahulu di rumah sakit atau suatu tempat yang dapat memulihkan / menyembuhkan pelaku dari kelainanya tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, M.J.                  Diktat Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum Univeristas Internasonal Batam. (2003)
Amandemen Undang – Undang Dasar 1945
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan tata hukum indonesia. Jakarta, Balai Pustaka, (1989)
Smith, Laura, How sleep walking can lead to killing. http://news.bbc.co.uk/1/hi/uk/4362081.stm
Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, cet.22. Jakarta, Bumi aksara, (2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar