Kamis, 25 Agustus 2011

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP DUGAAN TINDAK PIDANA MALPRAKTIK MEDIK


PENEGAKAN HUKUM
TERHADAP DUGAAN
TINDAK PIDANA MALPRAKTIK MEDIK

A. Pendahuluan
            Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi yang mulia (officium nobel) dan terhormat dimata masyarakat. Seorang dokter sebelum melakukan praktek kedokterannya atau melakukan pelayanan medis telah melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Dari profesi ini banyak masyarakat menggantungkan harapan hidupnya dari kesembuhan dan penderitaan sakitnya.Hubungan antara pasien dan dokter yang tadinya dianggap tidakseimbang karena kedudukan dokter lebih tinggi sekarang mengalamipergeseran. Masyarakat dalam hal ini pasien menilai bahwa hubungan antara mereka dengan dokternya adalah seimbang, dimana dalam kewajiban dokter untuk melaksanakan tugasnya dengan hat-hati terdapat hak pasien untuk mendapat pelayanan yang sebaik-baiknya. Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan di bidang medis bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktik medis ini ternyata tuntutan terhadap dokter yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja profesi dokter juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktik yang pernah dilaporkan masyarakat. 2 Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan.Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan. Kasus-kasus dugaan malpraktik seperti gunung es, hanya sedikit yang muncul dipermukaan. Ada banyak tindakan dan pelayanan medik yang dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktik yang dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi masyarakat hal ini sepertinya menunjukkan bahwa para penegak hukum tidak berpihak pada pasien terutama masyarakat kecil yang kedudukannya tentu tidak setara dengan dokter. Akan sangat sulit terkadang dipahami oleh pasien yang mejadi korban dari dugaan tindakan malpraktik atau masyarakat awam lainnya mengapa sangat tidak mudah membawa masalah malpraktik medik ini ke jalur hukum.Masyarakat kemudian mengambil penilaian bahwa aparat penegak hukum kurang serius menanggapi kasus malpraktek medik ini. Untuk menetapkan seorang menjadi tersangka, apalagi terdakwa tentu bukan hal yang mudah apalagi untuk perkara malpraktik yang menyangkut aspek medis yang kadang kurang dipahami penegak hukum. Ada banyak sekali factor penyebab mengapa kasus malpraktik ini mengalami apa yang disebut dalam ilmu hukum atau tepatnya dalam kriminologi diistilahkan dengan dark number (angka gelap), yaitu banyaknya jumlah kriminalitas yang tidak tercatat. Ini merupakan suatu keadaan dimana dalam suatu masyarakat sebenarnya banyak terjadi tindak pidana tertentu tetapi dari jumlah tersebut hanya sedikit yang dilaporkan masyarakat sehingga yang tercatat di kepolisian juga sedikit, sebab statistic criminal dibuat polisi berdasarkan data yang tercatat. Data dicatat berdasarkan laporan korban atau  masyarakat. Dari jumlah data yang masuk ke kepolisian kemudian juga mengalami penyusutan (criminal case mortality) di kejaksaan sehingga pada akhirnya kasus yang sampai di sidangkan ke pengadilan semakin kecil. 3 Keadaan ini juga berlaku pada kasus dugaan tindak pidana malpraktik medik di Indonesia. Bahkan Dewan Penasehat Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Hasbullah Thabrany mensinyalir dari seratus kejadian malpraktik, mungkin cuma sepuluh yang dilaporkan, jadi yang tampak ke permukaan hanyalah pucuknya saja. Itupun kebanyakan karena di ekspos oleh media cetak atau elektronik.Padahal ada banyak sebab mengapa seseorang korban (pasien atau keluarganya melaporkan atau tidak ke penegak hukum (kepolisian untuk tindak pidana) atau gugatan secara perdata tentang adanya dugaan malpraktik  yang dilakukan dokter kepadanya. Fakor pendorong itu bisa karena kerugian, tingkat pemahaman dan kesadaran hukum pasien, rasa takut, atau menganggap soal ini sudah menjadi takdir pasien. Menariknya menurut Ketua YPKKI (Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia) selama rentang waktu 1998-2008, lembaga ini sudah menangani 618 pengaduan di bidang kesehatan. Dari sekian kasus tersebut, 60-65 persen persoalan berada pada dokter. Namun sekitar 90 % dari kasus tersebut tidak sampai ke pengadilan. Bagi masyarakat terutama para korban pertanyaan yang menjadi  perhatian untuk penegak hukum mengapa begitu sulit membawa kasus dugaan malpraktik “dari meja operasi ke meja hijau”. Apakah perangkat hukum dan peraturan perundangan yang ada tidak cukup untuk membawa persoalan dugaan malpraktik medik ke ranah hukum terutama hukum pidana Ataukah ada kesulitan dari sudut teknis dan kesiapan serta ketidaksamaan paham dari para penegak hukum itu sendiri terhadap permasalaahan malpraktik ini.
B. Tinjauan umum Malpraktik medik
Pembicaraan tentang malpraktik medik bukan hal baru di Indonesia.Tercatat dalam sejarah dunia kedokteran di Indonesia tahun 1923 telah ada kasus pasien (Djamiun) yang meninggal dunia karena kelebihan dosis obat yang diberikan.Tetapi yang sangat menyita perhatian public adalah kasus seorang dokter perempuan yang bekerja di salahsatu Puskesmas di Pati Jawa Tengah yang diduga telah melakukan malpraktik sehingga menyebabkan pasien yang ditanganinya meninggal dunia.Pada Pengadilan Negeri Pati, dr 4 Setyaningrum dianggap bersalah, didakwa dengan pasal 359 KUHP. Putusan PN Pati kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang. Tapi pada kasasi, Mahkamah Agung tidak sependapat dengan kedua putusan pengadilan judex factie tersebut dan membebaskan dokter tersebut. Sejak itu ada saja kasus dugaan malpraktik yang dilaporkan media. Tetapi perbincangan tentang persoalan ini mengalami pasang surut seirama dengan banyaknya kasus yang terjadi dan menjadi polemik dalam masyarakat. Ketika tidak banyak media massa memblow up malpraktik di masyarakat,
perdebatan soal ini pun terkesan tidak antusias lagi, padahal dari hari ke hari
masalah ini perlu perhatian karena berkaitan lintas disiplin ilmu, yaitu
kedokteran dan hukum. Apalagi mengingat teknologi kedokteran serta
penyakit yang ada semakin kompleks.
Penegakan hukum yang proporsional terhadap tindakan dokter yang
diduga melakukan tindakan malpraktik medik selain memberi perlindungan
hukum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya mempunyai
kedudukan lemah, dilain pihak juga bagi dokter yang tersangkut dengan
persoalan hukum jika memang telah melalui proses peradilan dan terbukti
tidak melakukan perbuatan malpraktik akan dapat mengembalikan nama
baiknya yang dianggap telah tercemar, karena hubungan dokter dan pasien
bukanlah hubungan yang sifatnya kerja biasa atau atasan bawahan tapi
sifatnya kepercayaan.
Pasien akan datang pada seorang dokter untuk menyerahkan urusan
kesehatannya karena ia percaya atau yakin pada kemampuan dokter tersebut
melalui penawaran terbuka yang diberikan dokter lewat pemasangan plang
nama dan kualifikasi keahliannya (misalnya spesialis apa).Dengan demikian
reputasi dokter sehingga menimbulkan kepercayaan pasien adalah modal.
Istilah malpraktik medik awalnya memang tidak dikenal dalam sistem
hukum kita. Tidak ada peraturan perundangan yang secara khusus menyebut
masalah malpraktik ini. Hal ini wajar mengingat istilah ini berasal dari sistem
hukum Anglo Saxon, meskipun sebenarnya ada beberapa peraturan hukum
seperti KUHPerdata (perbuatan wanprestasi/pasal 1243 BW dan Perbuatan
melawan hukum dalam pasal 1365BW) serta beberapa pasal konvensional
dalam KUHP (seperti pasal 359,360 dan 344) yang meskipun tidak secara
5
ekspilisit menyebut ketentuan tentang malpraktik namun dapat digunakan
sebagai dasar pengajuan gugatan perdata atau tuntutan pidana.
Dari sudut harfiah, istilah malpraktik atau malpractice atau malapraxis
artinya praktek yang buruk (bad practice), praktek yang jelek. Black’s Law
Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “unprofessional misconduct or
unreasonable lack of skill. Jika memperhatikan pengertian diatas jelas
perbuatan malpraktik bukan monopoli dari profesi medis (dokter). Ini berlaku
juga bagi profesi hukum (misalnya advokat,hakim) atau perbankan (semisal
akuntan). Jika dihubungkan dengan profesi medis barulah disebut malpraktik
medik. Namun entah mengapa jika membicarakan istilah malpraktik ini selalu
yang dimaksudkan adalah tindakan buruk yang dilakukan dokter.
Istilah malpraktik medik ini pertama kali digunakan oleh Sir William
Blackstone tahun 1768 yang menyatakan bahwa malapraxis is great
misdemeanor and offence at common law, whether it be for curiousity or
experiment or by neglect: because it breaks the trust which the party had
place in his physician and tend to the patient’s destruction.
Sedangkan menurut M. Yusuf Hanafiah malpraktek medis adalah
kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang
yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Pengertian yang
dikemukakan oleh World Medical Association, menunjukkan bahwa
malpraktik medik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional)
seperti pada misconduct terntentu, tindakan kelalaian (negligence) ataupun
suatu kekurangmahiran/ketidakkompeten yang tidak beralasan.
Pandangan malpraktik medik (kedokteran) yang dikaitkan dengan
factor tanpa wewenang atau tanpa kompetensi ini dapat dipahami jika
dihubungkan dari sudut hukum administrasi. Kesalahan dokter karena tidak
memiliki Surat Izin Praktek (Pasal 36 UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran) atau tidak memiliki Surat Tanda Registrasi (pasal 29 ayat (1)
lebih bersifat pelanggaran administrasi. Tetapi pelanggaran administrasi ini
berpeluang menjadi tindak pidana karena dalam pasal lain dari UU 29/2004 itu
menyebutkan sanksi pidana (dalam pasal 75 jo 76). Perbuatan pelanggaran
dalam wilayah administrasi ini baru berpeluang menjadi malpraktik jika
mengakibatkan kerugian fisik atau kehilangan nyawa pasien.
6
Sementara itu dari sudut hukum perdata malpraktik sangat berkaitan
adanya pelanggaran kewajiban oleh dokter. Tidak akan ada malpraktik jika
tidak ada kewajiban yang dibebankan kepada dokter melalui hubungan dokterpasien
yang sifatnya merupakan kontrak teurapeutik.
Dari sudut hukum pidana ada standar umum yang harus dipenuhi bagi
kelakuan malpraktik medik sehingga dapat membentuk pertanggungjawaban
pidana, yaitu adanya sikap bathin pembuat, aspek perlakuan medis dan aspek
akibat perlakuan. Pemahaman yang tidak seragam mengenai masalah
malpraktik medik dari sudut hukum bukan hanya berkaitan dengan ketiga
aspek diatas tapi juga menyangkut dengan belum adanya hukum yang khusus
mengenai malpraktik medik tersebut. Dalam UU No.29/2004 juga tidak
memuat pengertian malpraktik hanya memberi dasar hukum bagi korban
(pasien) yang dirugikan untuk melaporkan tindakan dokter dalam menjalankan
praktiknya secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (pasal 66 ayat (1).
C. Penegakan hukum terhadap dugaan malpraktik medik
Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan,yang
kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang
boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan
dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan
hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan
keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).
Praktik kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan siapa
saja, tapi hanya dapat dilakukan oleh kelompok professional kedokteran yang
berkompeten dan memenuhi standar tertentu.Secara teoritis terjadi social
kontrak antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum. Dengan kontrak
ini memberikan hak kepada masyarakat profesi untuk mengatur otonomi
profesi, standar profesi yang disepakati. Sebaliknya masyarakat umum
(pasien) berhak mendapatkan pelayanan sesuai dengan standar yang
diciptakan oleh masyarakat professional tadi. Dengan demikian dokter
memiliki tanggungjawab atas profesinya dalam hal pelayanan medis kepada
pasiennya.
7
Tanggungjawab profesi dokter ini dapat dibedakan atas tanggungjawab
etik dan tanggungjawab hukum.Tanggungjawab hukum terbagi atas hukum
administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Terhadap pelanggaranpelanggaran
hukum ini dapat dilakukan tindakan ataupun penegakan hukum.
Dalam hal penegakan hukum ini Sacipto Rahardjo menyatakan bahwa
hakekat penegakan hukum adalah suatu proses untuk mencapai keinginan atau
ide hukum menjadi kenyataan. Keinginan atau ide itu merupakan pikiran
pembentuk UU berupa konsep keadilan,kepastian hukum dan kemanfaatan
social yang dituangkan dalam rumusan suatu peraturan.
Pendapat yang lebih sempit disebutkan oleh Suharto, bahwa penegakan
hukum adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum baik tindakan pencegahan juga penindakan dalam menerapkan
ketentuan hukum yang berlaku guna tercipta kedamaian, keamanan, ketertiban
demi kepastian hukum dalam masyarakat. Makna penegakan hukum dalam
penanganan kasus malpraktik medik dimaksudkan sebagai upaya
mendayagunakan atau memfungsikan instrument/perangkat hukum (hukum
administrasi, hukum perdata dan hukum pidana) terhadap kasus malpraktik
guna melindungi masyarakat (pasien) dari tindakan kesengajaan atau
kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medik.
Malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran di lingkungan yang sama. Kelalaian yang dimaksudkan disini adalah
sikap kurang hati-hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap
hati-hati melakukannya dengan wajar atau sebaliknya melakukan apa yang
seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi
tersebut. Dapat juga disebut kelalaian jika tindakan dokter dilakukan d ibawah
standar pelayanan medik.Kelalaian bukanlah suatu kejahatan jika kelalaian itu
tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang
tersebut dapat menerimanya (de minimus non curat lex=hukum tidak
mengurusi hal-hal sepele),tapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian
materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain maka dapat
diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata) yang tolok ukurnya adalah
bertentangan dengan hukum, akibatnya dapat dibayangkan, akibatnya dapat
8
dihindarkan dan perbuatannya dapat dipersalahkan.Terhadap akibat seperti ini
adalah wajar jika si pembuatnya di hukum.
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua
malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus
terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada
kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang
meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar profesi kedokteran,
standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh
berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis
pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik
dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian
bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa
pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan
malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan
dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359
(jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).
pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak
pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk
malpraktik medik.
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum
baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat
melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan
pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh
suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa
usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar
profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam
dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan
yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan
prestasi).
Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan
malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat
malpraktik pidana. Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan
9
hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak
dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik
pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsure
pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil
(yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya
tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana,
kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau
yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak
pidana
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik
kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat
menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat
membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter
telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan,
penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat.
Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself),
misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut
pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini
dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.
D. Penutup
1. Ada banyak penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat
akhir-akhir ini dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara
dokter dan pasien yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbang
dan berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary relationship) berganti
dengan pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaran
hukum yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia
dianggap belum seimbang dengan jumlah pasien sehingga seorang
dokter menangani banyak pasien (berpraktek di berbagai tempat) yang
berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.
2. Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga
dalam melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap
10
agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan
hidup dan kesembuhan penyakitnya
3. Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik
medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit
jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum
4. Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur
pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara
para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.
5. Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya
untuk dapat meloprkan dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya
baik kepada penegak hukum atau melalui MKDKI (Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga
MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya
sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga
yang otonom, independent dan memperhatikan juga nasib korban.
Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun 1982
menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya
diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.
6. Dari sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum
kesulitan mencari keterangan ahli yang masih diliputi esprit de
corps.Mungkin sudah saatnya diperlukan juga saksi yang memahami
ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan
7. Terhadap dugaan malpraktik medik, masyarakat dapat melaporkan
kepada penegak hukum (melalui jalur hukum pidana), atau tuntutan
ganti rugi secara perdata, Ataupun menempuh ketentuan pasal 98
KUHAP memasukkan perkara pidana sekaligus tuntutan gantirugi
secara perdata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar