Kamis, 25 Agustus 2011

hubungan manusia dengan kebudayaan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Ada dua hal yang kita hadapi dewasa ini: pertama ialah pembangunan dengan segala aspeknya dan kedua, per­geseran, bahkan perobahan nilai-nilai yang terjadi secara evolusi. Yang pertama itu kita laksanakan dengan penuh kesadaran untuk segala peningkatan yang kita tuju, balk material maupun non material. Yang kedua tidak selalu kita sadari karena terjadinya disebabkan pengaruh-pengaruh yang lambat dari luar dan oleh keadaan-keadaan di dalam yang ingin menyesuaikan diri dengan zaman.
Bahwa perobahan-perobahan nilai harus sejalan dengan pembangunan merupakan harapan kita. Pembangunan dilaksanakan dengan sengaja menuju taraf kehidupan yang bahagia, adil dan makmur, tetapi pergeseran nilai­nilai boleh saja terjadi menuju kemerosotan moral, yang menjadi hambatan bagi pembangunan bahkan kemun­duran bagi kebudayaan. Kita mengenal beberapa peristi­wa dalam sejarah yang menunjukkan kemunduran kebu­dayaan oleh perobahan nilai-nilai. 1) Apabila nilai intelek­tual meningkat dan pada waktu yang sama nilai moral me­nurun, niscayalah terjadi kemunduran kebudayaan yang berakibat kepada pembangunan.
Dari sudut ini dapat dikatakan bahwa salah satu manfaat dari mempelajari Ilmu Budaya dasar ialah kewaspadaan akan perobahan nilai-nilai yang dapat menimbulkan keter­pecahbelahan kepribadian. Manusia yang sizofrenik dan kebudayaan yang sizofrenik selalu merupakan lingkaran setan: soal sebab dan akibat dalam hal ini sangat samar-samar. Ilmu Budaya Dasar diharapkan menunjang tujuan Pendidikan Nasional, yaitu "mengembangkan manusia In­donesia seutuhnya,"2) yang berarti meningkatkan kesera­slan, keselarasan dan keseimbangan di antara intelek, moral dan keyakinan keagamaan. Jelasnya : meningkat­kan ketagwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, terampil, tinggi budi pekerti, kuat kepribadian dan tebal se­mangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia­manusia pembangun yang dapat membangun diri sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pemba­ngunan bangsa.3)
Maka segala perobahan nilai-nilai yang akan makin terjadi dalam zaman ini hendaknya dihadapi dengan kesadaran dan usaha memperalatnya menunjang filsafat pendidikan kita yang menjaga keutuhan intelek, moral dan keyakinan agama, demi pembangunan yang lestari.

B.     Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan dalam uraian ini adalah:
1.      Bagaimanakah wujud kolektif manusia
2.      Bagaimanakah hubungan manusia dengan kebudayaan

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.    Pengertian Kebudayaan
Melvilte J. Herscovits, seorang ahli antropologi Amerika memberi defenisi kebudayaan amat singkat yaitu “Man made part of the environment” (bagian dari lingkungan buatan manusia).
Menurut Ralph Linton, juga seorang ahli antropologi Amerika memberi defenisi kebudayaan itu adalalah “Man’s social heredity” (sifat sosial manusia yang temurun).
Defenisi dari J. P. H. Dryvendak, berbunyi : “Kebudayaah adalah kumpulan dari cetusan jiwa manusia, sebagai yang beraneka ragam berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.
Dr. Kuntjaraningrat, memberi defenisi sebagai berikut: Kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh kata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyakarat.
Dari beberapa defenisi ini dapat kita tarik kesimpulan, bahwa arti kebudayaan itu titik beratnya terletak pada segala seuatu yang diciptakan manusia, baik konkrit maupun abstrak. Jadi, kebudayaan lawannya alam (kultur natuur).


B.     Aspek Kebudayaan
Kebudayaan itu meliputi berbagai macam segi atau aspek segi kebudayaan seperti bahasa, kesenian, agama dan sebagainya. Sedangkan unsur kebudayaan adalah bagian-bagian yang terkecil dari masing-masing aspek bentuk seni tari dan sebagainya. Dalam hal ini  tidak hanya meliputi kebudayaan rohani saja, tetapi juga kebudayaan materi.
Didalam praktek sering klai ternyata, bahwa suatu campur tangan yang mengubah soal yang satu dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak dimaksud bagi anasir kebudayaan.

C.    Unsur-unsur Kebudayaan
Unsur-unsur kebudayaan tidak terhingga banyaknya namun dapat dibagi (dimasukkan) ke dalam 2 golongan:
1.      Unsur-unsur kebudayaan kerohanian, seperti: bangsa, moral, kepercayaan/agama, hukum susunan masyarakat, kepandaian, pengetahuan untuk menciptakan berbagai-bagai alat, kepandaian bercocok tanam, membaca, menulis, menggambar, membuat patung, penyanyi, menari dan sebagainya.
2.      Unsur-unsur kebudayaan material (kebendaan) seperti: rumah-rumah, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat pertanian, perahu, buku lukisan, arca dan lain-lain benda/alat keperluan hidup.
Disamping itu antropologi membagi tiap-tiap kebudayaan kedalam beberapa unsur kebudayaan yang besar yang disebut: culturat universals.
Ada 6 buah unsur kebudayaan universal (cultural universals) yaitu:
1.      Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (seperti pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat-alat transpor dan lain-lain).
2.      Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi).
3.      Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi-organisasi sosial, sistem hukum, sistem perkawinan).
4.      Bahasa (lisan, tertulis)
5.      kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak)
6.      Ilmu pengetahuan.

D.    Proses Terbentuknya Kebudayaan
Adalah sangat sulit, bahkan tidak mungkin menentukan bagaimanakah kebudayaan itu terbentuk. Untuk memudahkan gambaran tentang pembentukan kebudayaan, maka kebudayaan dapat dimisalkan sebagai sehelai kain tenun yang indah.
Untuk menenum kain dibutuhkan bahan-bahan atau unsur-unsur yang harus ada, ada pula yang bukan merupakan keharusan. Bahan ini kemudain diolah (ditenun) didalam suatu pabrik tenun. Untuk menenun ini ada aturan-aturannya.
Di dalam pabrik, sambil ditenun benang-benang itu dianyam dan dikait-kaitkan satu dengan lainnya. Tiap-tiap unsur kain itu kemudian sangat erat hubungannya dengan unsur lain. Hilangnya sehelai atau lebih dari benang-benang itu akan merusak seluruh kain. hasil terakhir dari tenunan itu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam pabrik.juga faktor-faktor dari luar pabrik dapat mempengaruhinya.
Dari bahan-bahan yang sama, tetapi diolah dalam kondisi yang berbeda-beda dapat menghasilkan kain tenunan yang berbeda-beda.
Begitulah kira-kira gambaran tentang pembentukan kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan merupakan benang-benang tenun. Selama masih lepas-lepas unsur-unsur ini, dia belum berujud kebudayaan bangsa, dia adalah unsur kebudayaan.
Masyarakat mengumpamakan pabrik dimana benang-benang itu ditenun dikait-kaitkan satu sama lain. Dan dibawah berbagai-bagai pengaruh benang-benang yang banyak dijalin itu, dijalin menjadi kebudayaan yang indah, yang merupakan suatu kesatuan dari berbagai unsurnya, yang organis serta harmonis.
Unsur-unsur di dalam kebudayaan itu demikian eratnya, sehingga seakan-akan merupakan suatu kesatuan organis yang harmonis. Unsur yang satu mempengaruhi yang lain.
Hilangnya satu unsur kebudayaan kadang-kadang akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak baik bagi unsur yang lain. Juga datangnya unsur baru dapat menggoncangkan seluruh susunan kebudayaan.
1.      Jika dalam masyarakat kita, orang dilarang menggunakan kopi, maka akibatnya akan sangat jauh (perusahaan tutup, banyak orang nganggur, kejahatan naik, seni membuat bungkus-bungkus kopi lenyap dan lain-lain.
2.      Datangnya cara-cara dan alat-alat baru dalam pertanian di masyarakat desa (mesin-mesin traktor) akan merusak pula sifat-sifat sosial dan religius dari penduduk desa (sistem bawon hilang, seni wayang kulit mundur dan lain-lain).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kebudayaan:
1.      Faktor lingkungan geografis misalnya: letak, iklim, tanah, air, bentuk permukaan tanah, luas tanah, dan lain-lain.
2.      Faktor ras (induk bangsa).
Menurut R. W. Firth yang dimaksud dengan ras ialah segolongan manusia yang mempunyai persamaan sifat-sifat dan ciri-ciri tubuh tertentu yang turun-temurun.
Ciri-ciri tubuh itu misalnya: warna kulit, rambut, biji mata, bentuk tengkorak dan lain-lainnya.
Menurut dugaan beberapa ahli, ras-ras itu tidak hanya berbeda ciri-ciri tubuhnya satu dengan ras yang lain tetapi sifat-sifat jiwa dan rohaninya satu dengan ras yang lain tetapi sifat-sfiat jiwa dan rohaninya pun berbeda-beda pula. Tetapi peberdaan rohani ini diduga berpengaruh pula terhadap pembentukan kebudayaan.

BAB III
PEMBAHASAN

A.    Wujud Kolektif Manusia
Jumlah manusia di dunia sekarang lebih dari tiga miliar jiwa, dan semua makhluk Homo Sapiens itu menampakkan suatu aneka ragam yang disebabkan oleh ciri-ciri ras yang berbeda-beda (yaitu ras Kaukasoid, Mongoloid, Negroid), dan beberapa lainnya. Namun perbedaan ciri ras tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam poly tingkah laku. Orang Indonesia (pribumi) yang memiliki ciri­-ciri ras Mongoloid Melayu tidak begitu berbeda dalam lakunya dengan orang Indonesia keturunan asing yang memiliki ciri-ciri ras MonGoloid Cina Selatan. Demikian juga orang Amerika dengan ciri-ciri ras Kaukasoid dan orang sebangsanya yang memiliki ciri-ciri ras Negroid tidak berbeda tingkahlakunya, karma keduanya berbicara bahasa yang sama dan bertingkahlaku sesuai dengan adat­istiadat serta gaya hidup orang Amerika.
Perbedaan dalam tingkah laku manusia memang tidak disebabkan oleh ciri ras yang berbeda, melainkan oleh kolektif tempat manusia itu bargain dan berinteraksi. Bagaimanakah wujud nyata dari kolektif manusia? Sekarang ini wujud itu adalah kolektif­kolektif dasar yang merupakan kesatuan-kesatuan manusia yang disebut negara-negara nasional, dan tersebar di seluruh muka bumi. Pada akhir abad ke-20 ini hampir semua manusia di dunia adalah warga dari salah satu negara nasional itu. Di Asia Tenggara, ada kesatuan-kesatuan bestir dan kecil, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Papuas Nugini, Filipina, Vietnam, Laos, Kampuchea, Muangthai, Myanmaar, dan lain-lain. Di Eropa Banat terdapat Inggris, Negeri Belanda, Perancis, Denmark, Jerman, Belgia, Luxemburg, dan lain-lain.
Sebaliknya, dalam batas wilayah tiap negara nasional seperti itu ada kesatuan-kesatuan yang lebih khusus yang saling berbeda, dengan adat-istiadat, bahasa, atau agama yang berbeda-beda pula. Dalam batas wilayah negara Indonesia di daerah Sumatra Utara, misalnya, suku bangsa Aceh berbeda adat-istiadat, bahasa, dan juga agamanya dengan suku bangsa Batak Toba. Di jawa Tengah dan jawa Timur yang penduduknya semua sama adat-istiadat maupun, bahasanya, ada yang beragama Islam Santri, tetapi ada pula yang beragama Islam Kejawen. Di Eropa, dalam batas wilayah negara Inggris, misalnya, ada suku bangsa Anglosaxon yang terutama beragama Kristen Anglikan, dan suku bangsa Irlandia yang secara dominan beragama Katolik.
Secara lebih khusus lagi, dalam tiap suku bangsa ada kesatuan-­kesatuan hidup yang lebih kecil, yakni desa dan kota, dengan penduduknya yang terikat dalam kesatuan-kesatuan khusus, yaitu kelompok-kelompok kekerabatan, perkumpulan-perkumpulan rekreasi, partai-partai politik, dan sebagainya. Di kota jumlah kesatuan-kesatuan khusus biasanva lebih banyak daripada di desa, dan warga suatu desa atau kota seringkali menjadi anggota dari beberapa kesatuan hidup sekaligus.
Walaupun semua suku bangsa di dunia pada umumnya memiliki wujud seperti tersebut di atas, sebagai contoh konkret mari kita simak kehidupan suku bangsa Bali. Orang Bali ada yang tinggal di daerah pedesaan, dan ada yang tinggal di kota. Di desa kita dapati kelompok-kelompok kekerabatan dadia dan karang, organisasi subak (yaitu organisasi yang mengurus pertanian dan irigasi), seka (yaitu organisasi pertukangan dan kesenian), di samping berbagai organisasi baru, misalnva ranting-ranting partai politik, pramuka, koperasi desa, perkumpulan sepak bola, dan lain-lain. Di kota jenis kelompok serta organisasi yang jumlahnya biasanya lebih banyak daripada di daerah pedesaan, umumnya merupakan kelompok-kelompok serta organisasi-organisasi yang tidak tradisional sifatnya, seperti misalnya organisasi buruh, perkumpulan sekolah, organisasi wanita, organisasi Pegawai, dan sebagainya.
Beragam kesatuan hidup dalam batas kesatuan negara nasional mempunyai wujud yang lain, yang tidak disebabkan karena ada suku-suku bangsa yang berbeda-beda, melainkan karena adanya lapisan-lapisan sosial. Dengan demikian dalam suatu negara ada golongag petani, golongan buruh, golongan pedagang, golongan
pegawai, golongan bangsawan, dan sebagainya, yang masing-masing mempunyai pola tingkah laku, adat-istiadat, serta gaya hidup yang berbeda-beda. Oleh karena  ada penilaian tinggi-rendah oleh para warga negara yang bersangkutan terhadap setup golongan itu oleh golongan para warga negara yang bersangkutan. Maka golongan-golongan itu seakan-akan merupakan lapisan-lapisan sosial.

B.     Manusia dan Budaya
Seperti kita ketahui, hewan tidak mengerti budaya. Hanya manusialah mahluk batas bumi yang berbudaya. Maka ada manfaatnya membicarakan sepintas tentang manu­sia. Siapa dan apakah manusia ? Objek yang paling sedikit dipahami ilmu, ialah manusia. Ada kebenaran dari ungkapan yang mengatakan, "manu­sia lebih banyak mengetahui yang sejauh-jauhnya dari di­rinya tetapi mengetahui paling sedikit tentang yang sedekat-dekatnya kepada dirinya, yaitu dirinya sendiri".
Ilmu Pengetahuan sebagai ilmu terbatas hanya kepada satu aspek kenyataan saja dalam penelitian dan penda­pat-pendapatnya. Matematika sebagai ilmu hanya terba­tas pada pengertian angka-angka dan hubungan-hubu­ngannya. Logika sebagai ilmu hanya terbatas pada pene­litlan akan berpikir secara lurus menuju kesimpulan yang sah. Tidak mungkinlah Ilmu Bahasa sebagai ilmu, berbicara  mengenai masalah-masalah kejiwaan yang merupa­kan bidang psikologi. Demikianlah manusia sebagai objek penelitian telah "dipereteli" ilmu-ilmu yang beragam itu, tanpa kesanggupan membuat rumusan yang utuh dan komplit. Biologi mempelajari manusia sebagai sejenis hewan dalam penelitian fisiologi, gizi, penyakit dan sebagainya. Sosiologi mempelajari manusia sebagai ang­gota masyarakat dalam segala hubungan-hubungannya yang kompleks. Ilmu Kedokteran mempelajari manusia sebagai mahluk yang dapat diserang segala jenis penyakit dan mencari bahan-bahan dan cara-cara meng­hindarkannya dan mengatasinya. Demikianlah setiap ilmu mempelajari manusia dari satu aspek tertentu tanpa ke­sanggupan membuat kesimpulan yang ilmiah ten-tang "hakekat" manusia.
Memang masalah hakekat manusia bukan urusan ilmu pengetahuan, tetapi menjadi urusan filsafat dan theolo­gia. Namun ada begitu banyak aliran dalam bidang fil­safat yang manakah kita dengarkan ?
Filsafat Naturalisme memandang manusia hanya sebagai bahagian dari alam, terdiri dari hidrogen, karbon, nitro­gen, fosforus, kalsium dan elemen-elemen lain dan tak­luk kepada hokum grafitas. Kelenjar-kelenjar tyroidnya menentukan kehidupannya sebagai manusia. Seorang Genius yang kepalanya kena pukul boleh saja berobah menjadi idiot. Demikianlah hakekat manusia diterangkan melulu dari sudut aspek alamnya.
Hampir serupa, filsafat materialistik mengatakan "manusia adalah hasil dari apa yang dinamakannya" (Mann is’t was er asst). Apabila manusia hanya makan nasi, maka dia menjadi "manusia nasi", apabila hanya sayur saja dia men­jadi "manusia sayur", apabila dia makan makanan campuran maka dia menjadi "manusia campuran". Satu saja yang secara sederhana dimaksudkan ialah : mari kita kenal manusia dari makanan yang dimakannya. De­ngan perkataan lain, manusia itu adalah hasil bumi. Disi­ni hakekat manusia adalah mated.
Filsafat Evolusi Organis memandang manusia sebagai hasil paling akhir dalam perkembangan evolusi dari makhluk hidup. Kalaupun manusia mempunyai jiwa, itu merupakan hasil perkembangan dari bentuk-bentuk ke­hidupan yang tidak mempunyai jiwa. Hakekat manusia ada dalam perkembangan yang belum selesai.
Filsafat Idealisms, walaupun banyak aliran-aliran didelam­nya yang mempunyai pendapat-pendapat yang hampir serupa, mengatakan hakekat manusia ialah rob, oleh se­bab itu manusia itu -baka, sifatnya ilahi. Segala yang fans yang tiada bermakna, yang terbatas adalah "non essenti­al", merupakan tambahan dari luar, dan mungkin hanya khayalan. Walaupun menurut kenampakan, dia tidak bebas, namun sebagai homonoumenon dia adalah warga dari dunia lain, dunia kebebasan yang kekal dan sem­purna.
Demikianlah kita melihat hanya beberapa contoh dari pandangan-pandangan filsafat yang sating berbeda. Theologia nampaknya lebih berhak bicara mengenai ha­kekat manusia dari sudut pengakuan adanya semen reli­gionis (bibit keagamaan) dalam setiap diri manusia yang membuat manusia menjadi homo religiosus. Semua manusia mempunyai Allah atau berhala.
Walaupun ada perbedaan pandangan theologis dari agama-agama, ada juga kesamaannya, yaitu bahwa ma­nusia adalah Ciptaan Allah, dan hakekatnya ada dalam hubungannya dengan Allah PenciptaNya. Namun tekan­an-tekanan yang berbeda-beda menunjukkan bahwa, ada agama tertentu memandang manusia melulu sebagai hamba Allah yang terikat kepada pelaksanaan taurat dan hukum sebagai hakekat kemanusiaannya.
Agama lain dengan pengajarannya "Atman adalah Brah­man" dan "Tat Twam Asi" menekankan keidentikan "ma­nusia yang mengetahui" dengan "Roh yang adalah sega­la-galanya", dengan keillahian. "Andalah Brahman itu" itulah hakekat manusia. Theologia Kristen mengajarkan bahwa hakekat asli ma­nusia adalah "Imago Dei", (gambar Allah). Walaupun gam-bar itu sudah rusak oleh dose, manusia merupakan mah­luk yang terus mencari nilai-nilai yang masih dapat mem­buat manusia merasa hidupnya bermakna baginya; itulah dasar dari humanumnya.
Demikianlah kita, melihat tidak adanya konsensus yang umum dalam rumusan tentang siapa dan apa manusia. Baik ilmu, maupun filsafat dan Theologia mempunyai pe­ngertian sendiri yang sating berbeda. Maka pendekatan kita akan masalah manusia sebaiknya dari sudut Fenomenologi yaitu melihat gejala-gejala yang nampak saja, dengan tidak bermaksud menerobos gejala-­gejala itu mencari hakekat yang sesungguhnya. Usaha pendekatan ini akan mencoba melihat timbulnya budaya dalam dunia manusia. Segera kita melihat adanya bebera­pa gejala dalam kehidupan manusia, antara lain :
a)      bahwa manusia berbeda dari pada hewan bukan saja dalam taraf, tetapi secara prinsipil. Perbedaan ini nam­paknya ditentukan oleh "sesuatu" yang tidak dipunyai hewan sampai had ini, yaitu akal budi dalam arti kesanagupan mencari, memahami dan mengungkapkan sesuatu ide.
Dengan akal budinya (rationya) manusia berbudaya (budi-daya, daya-budi), dan mampu menciptakan kebu­dayaan. Inilah humanitasnya yang membedakan dia dari segala mahluk hidup lainnya. Hewan mungkin saja mem­punyai kesanggupan memelihara dan menyambung ke­hidupannya, tetapi hewan tidak pernah dapat memulai kebudayaan. Hanya manusia yang mempunyai ilmu, yaitu penelitian akan kebenaran, hanya dia yang mempunyai seni yang mencari keindahan dalam bentuk dan warna, gerakan dan suara Hanya dia yang mempunyai agama, sanggup memuja Dia yang Maha Sub. Hanya manusia yang mempunyai bahasa dan adanya bahasa ditimbulkan oleh pengertian-pengertian umum dan ide-ide. Hanya manusia yang memiliki cipta, karya dan rasa.
Akal budi manusia mengungkapkan adanya kesinam­bungan humanumnya yang justru merupakan unsur ke­manusiaannya yang unik. Matra bicara mengenai manusia Secara fonomenologi adalah bicara mengenai humanum­nya, yang mencakup kebebasan, kata hati, akal, kasih dan segala pengertian yang menyanggupkannya mencip­takan kebudayaan dan tujuan spirituainya, dan kesang­gupan menaklukkan alam' Semuanya demi kebahagiaan pribadinya dan masyarakatnya.
b)      Pengertian tentang waktu membuat manusia mahluk yang unik. Dia melihat ke masa silam sebagai suatu uca­pan syukur atau untuk melihat kekurangan-kekurangan­nya, mencari suatu pelajaran untuk memperbaiki masa kini dan membentuk cita-citanya mengenai masa depan. Demikianlah terjadinya progres, perkembangan menuju kemajuan dan peningkatan-peningkatan didalam kebudayaannya. ini berkaitan dengan kenyataan bahwa ma­nusia tidak merasa puss dengan mass kininya, seoiah­olah ada suatu unsur yang lebih tinggi dalam dirinya yang menarik/mendorong dia ke peningkatan-peningkatan. 10) Demikianlah dalam ribuan tahun manusia mengalami pe­rubahan-perubahan dari kebudayaan tingkat terendah sampai taraf kebudayaan yang kita kenal sekarang yang menghasilkan iptek yang canggih. 11)
c)      Namun pengertian "tingkat" tidak absolut, karena tidak semua aspek kebudayaan mengalami kemajuan dalam taraf yang serupa dan sama. Ilmu boleh berkembang te­tapi moral menurun. Bahkan kemajuan suatu aspek da­pat tertuju kearah perusakan kebudayaan : Keah­lian membuat racun secara tersembunyi, literatur kotor yang pembuatannya hampir sempurna, keahlian menghi­langkan keadilan dan hak kebebasan, dan pengetahuan­-pengetahuan lain yang kemajuannya bukan untuk keba­hagiaan umum.  
BAB IV
KESIMPULAN

Hal ini menunjukkan bahwa dua unsur yang sating ber­tentangan dalam diri manusia, yang menjadi pembicara­an yang tiada hentinya di antara Para ahli pikir : unsur "progression" dan unsur "degradation" (Tylor), unsur-unsur "being dan non-being" (Tillich), unsur "self dan non self" (Jung) yang disebut Freud "unsur hidup dan unsur maut" (libido dan thanatos). Maka semakin maju kebudayaan, semakin nampak juga unsur-unsur negatif­nya diantara banyak aspeknya yang menuju kemunduran kebudayaan itu.
Hanya pengenalan dan kesadaran akan kebenaran ke­nyataan ini dapat membantu manusia mengatasi unsur­unsur negatif dalam kehidupannya dan kebudayaannya Kesadaran yang demikian kita butuhkan dalam meningkatkan pembangunan, karena pembangunan sebagai komponen kebudayaan harus dihindarkan dari kekuatan days degradation atau "unsur gelap". Dalam perkataan la­in pembangunan yang menunjukkan perkembangan ke­budayaan Indonesia dewasa ini harus diselamatkan un­tuk pemenuhan cita-cita dan hasrat bersama dalam men­ciptakan mass depan yaitu adanya masyarakat yang ba­hagia, adil dan makmur dalam segala cakupan kebuda­yaan.
Dari sudut Ilmu Budaya Dasar dikatakan bahwa tujuan bersama ialah memperkuat humanum yang membuat ma­nusia lebih manusiawi : berperasaan dan berbudi peker­ti harus, berilmu, bertanggung jawab, bermoral, beraga­ma, mengasihi, adil, mengabdi kepada bangsa dan negara, mengasihi sesama sampai batas yang seluas-­luasnya sehingga dalam hubungan dengan sesama memancar nilai-nilai yang mengembangkan kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar