Kamis, 25 Agustus 2011

A. Dasar Pertimbangan Hakim Sehingga Tidak Menjatuhkan Pidana Maksimum Dalam Kasus Tindak Pidana Narkotika


 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur, yang merata secara materiil maupun spirituil, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, yang merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional, perlu ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya. Hal ini berarti, untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi, dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dalam pelayanan kesehatan, dan di sisi lain, melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
            Menurut realita yang ada di masyarakat, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sudah tidak lagi pada tingkat yang mengkhawatirkan, melainkan sudah sampai pada titik yang berbahaya, karena dalam lima tahun terakhir, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan peningkatan yang sangat tajam.[1]   Perlu adanya penanganan yang intensif agar penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tersebut dapat teratasi, karena apabila kondisi ini dibiarkan terus-menerus, tanpa ditangani dengan baik oleh semua pihak yang terkait (pemerintah, masyarakat, keluarga/orang tua, sekolah, dan sebagainya), maka sudah tentu pada akhirnya ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan masa depan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, pemerintah melalui aparatur penegak hukum, berkewajiban menegakkan hukum dan perundang-undangan, dengan cara menindak tegas dan memberikan sanksi (pidana) terhadap setiap pelaku tindak pidana narkotika, baik sebagai pengguna maupun pengedar narkotika.
            Terjadinya kecemasan di tengah-tengah masyarakat akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika lebih disebabkan karena, dampak yang ditimbulkan lebih jauh lagi adalah meningkatnya angka kriminal, seperti perampokan, perkosaan, pembunuhan, tawuran, dan lain-lain, yang dapat menciptakan keresahan di tengah-tengah pergaulan hidup masyarakat. Dengan kata lain, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika akan berdampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat.
              Dengan demikian, masalah narkotika dapat dikategorikan sebagai masalah nasional dan bahkan termasuk masalah internasional, karena sudah banyak konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang penggunaan dan peredaran narkotika dikeluarkan oleh badan-badan dunia seperti PBB, antara lain :
-          Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (United Nations Conference for Adoption of a Single Convention on Narcotic Drug 1961) ;
-          Convention on Manufacture and Distribution of Narcotic Drugs (Jenewa 1931) ;
-          Convention for Suppression of Illicit Traffic in Dangerous Drugs (Jenewa 1936) ;
             Perlu dilakukan pendekatan lain untuk mencegah semakin banyaknya peredaran narkotika dan semakin meluasnya penggunaan narkotika. Hal ini dapat dimulai jika sudah ada pembedaan yang jelas dan tegas antara pengguna dan pengedar narkotika, sehingga pada akhirnya hukuman yang dijatuhkan terhadap pengguna tidak dapat disamakan dengan pengedar narkotika. Hukuman bagi pengedar narkotika seharusnya lebih berat dibandingkan hukuman yang akan diterima oleh pengguna narkotika, karena akibat dari narkotika yang diedarkannya tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak yang negatif bagi penggunanya. Pengedar secara sadar mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain yang mengalami kecanduan akibat mengkonsumsi narkotika yang dijual oleh pengedar.
Hasil pengamatan dan pemantauan terhadap kinerja pengadilan dalam memproses para pelaku tindak pidana narkotika, diperoleh fakta bahwa meskipun banyak para hakim telah menjatuhkan vonis yang sangat berat, tetapi masih banyak juga bukti yang menandakan masih adanya ketidakadilan di dalam penjatuhan pidana oleh majelis hakim di dalam persidangan tindak pidana narkotika. Hal ini juga dapat dilihat  dari aturan hukum yang telah menetapkan hukuman maksimal, akan tetapi sebagian hakim lainnya tidak pernah menetapkan penerapan hukuman maksimal tersebut dalam putusannya.   
            Jadi, dapat ditegaskan bahwa bila hakimnya berbeda, maka putusannya juga dapat berbeda pula. Hal ini dapat disebabkan karena rasa keadilan dari setiap hakim berbeda, sehingga dalam menjatuhkan pidana para hakim tidak memiliki dasar pertimbangan yang sama, dan secara otomatis mengakibatkan putusannya pun akan berbeda-beda. Dengan demikian, perlu ditinjau kembali masalah penentuan pidana ini dengan perkembangan kriminalitas (tindak pidana narkotika) dalam masyarakat yang sedang mengalami proses modernisasi.
     
B.     Permasalahan.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah :
1.      Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim sehingga tidak menjatuhkan pidana maksimum dalam kasus tindak pidana narkotika ?
2.      Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bagi pengguna yang mengalami ketergantungan narkotika ?




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Tinjauan Umum Tentang Pidana dan Pemidanaan.
A.1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan.
            Menurut Darwan Prints, pidana adalah hukuman yang dijatuhi atas diri seseorang yang terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana.[2] Menurut Barda Nawawi, terdapat berbagai macam pendapat dari para sarjana tentang pengertian pidana, antara lain :
1.      Sudarto, menyebutkan pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
2.      Ruslan Saleh, menyebutkan pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu.[3]

Pidana (hukuman) adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.[4] Ada 2 (dua) macam pidana yang dapat dijatuhkan terhadap diri terdakwa yaitu :
1.      Hukuman pokok, terdiri dari :
a)      Hukuman mati ;
b)      Hukuman penjara ;
c)      Hukuman kurungan ; dan
d)     Hukuman denda.
2.      Hukuman tambahan, terdiri dari :
a)      Pencabutan beberapa hak tertentu ;
b)      Perampasan barang tertentu ; dan
c)      Pengumuman keputusan hakim.[5]

            Pemidanaan diberikan berkenaan dengan tidak dipatuhinya kaidah-kaidah hukum pidana yang berlaku.[6] Oleh karena itu, hakim dalam menjatuhkan putusannya harus menyadari makna dari putusan yang diberikannya itu  dan harus mengetahui tujuan yang akan dicapai dengan pidana yang dijatuhkannya itu. Pidana yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang memerlukan perwujudan lebih lanjut. Dengan adanya ketetapan di dalam peraturan saja suatu pidana tidak akan terwujud dengan sendirinya, dengan kata lain harus ada badan atau instansi yang berdiri atas orang-orang dan alat-alat yang secara nyata merealisasikan aturan pidana tersebut. Negaralah yang berhak menjatuhkan pidana melalui alat-alat pemerintah karena negaralah yang memegang subjectief strafrecht (ius puniendi) yang diberi kewenangan untuk menjatuhkan pidana terhadap objectief strafrecht (ius punale).[7]
 Menurut pendapat Sudarto seperti yang dikutip oleh Djoko Prakoso, bahwa pemberian pidana dalam arti umum adalah merupakan bidang dari pembentuk undang-undang karena asas legalitas.[8] Beliau juga menambahkan bahwa apabila secara hukum dan secara organisasi infrastruktur sudah siap, maka badan-badan yang mendukung stelsel sanksi pidana dapat menetapkan pidana dengan menunjuk kepada pelbagai bagian dari infrastruktur penitensier itu.[9] Pada tahapan inilah ditemukan pemberian pidana secara konkrit mengingat bahwa pemberian pidana tidaklah hanya tugas dari hakim sendiri, melainkan pada kenyataannya keseluruhan stelsel sanksi hukum pidana yang terwujud dengan perantaraan hakim hanyalah sebagian saja dari keseluruhan sanksi hukum yang dikenakan.

A.2.  Tujuan Pemidanaan.
             Tujuan pemberian pidana terhadap terdakwa ialah sekedar memberikan suatu rasa yang tidak enak, baik yang tertuju pada jiwa, kebebasan, harta benda, hak-hak ataupun terhadap kehormatannya, sebagai pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukannya sehingga ia akan bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.[10]
Hakim dalam penghukuman yang berupa penjatuhan pidana harus menyadari apa makna pemidanaan tersebut atau dengan kata lain harus menyadari apa yang hendak dicapai dengan yang dikenakan terhadap sesama manusia yang telah melanggar ketentuan undang-undang.[11] Suatu sanksi yang berupa pidana dapat menjadi keras sekali dirasakan yang terkadang sampai melenyapkan kemerdekaan seseorang beberapa tahun lamanya, dan ada kalanya kemerdekaan yang dirampas tersebut mempunyai arti besar terhadap sisa hidup orang yang dikenainya.[12]
Tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa, baik penuntut umum maupun hakim diharapkan menuntut dan menjatuhkan hukuman yang setimpal sehingga putusannya mempunyai dampak menjerakan (special deterrent effect), di samping memenuhi aspirasi dan rasa keadilan masyarakat juga merupakan daya tangkal bagi anggota masyarakat yang mempunyai potensi untuk menjadi pelaku tindak pidana (general deterrent effect).
a.)          Sehubungan dengan tujuan pemidanaan, J.E. Sahetapy berpendapat bahwa pemidanaan bertujuan untuk pembebasan dan makna pembebasan menghendaki agar si pelaku tidak saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat dan keliru, melainkan harus dibebaskan juga dari kenyataan sosial, dimana pelaku terbelenggu.[13]   




B.     Tinjauan Umum Tentang Hukum Narkotika.
B.1. Pengertian dan Jenis-jenis Narkotika.
Dalam Pasal 1 butir 1 UU Narkotika disebutkan bahwa narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. Istilah narkotika yang dikenal di Indonesia berasal dari bahasa Inggris yaitu narcotics, yang berarti obat bius, yang sama juga artinya dengan kata narcosis dalam bahasa Yunani yang berarti menidurkan atau membiuskan. Pengertian narkotika secara umum adalah suatu zat yang dapat menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan/ penglihatan karena zat tersebut mempengaruhi susunan syaraf pusat.[14]
 Dari uraian di atas jelas diketahui bahwa narkotika dapat menimbulkan keadaan tertentu dalam diri seseorang seperti penurunan kesadaran, kontrol yang kurang atas otot-otot sehingga dalam tindakannya sering lebih berani atau mendorong seseorang melakukan tindakan yang dalam keadaan sadar tidak berani dia lakukan dan tidak bertanggungjawab.  Selain itu, ada yang menimbulkan persepsi yang mungkin dirasakan sebagai suatu yang lebih menguntungkan dan menyenangkan terlepas dari tindakannya dengan kenyataan.

Secara umum narkotika dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu :
1.    Ganja/ Mariyuana/ Kanabis Sativa ( Halusinogen)
a.       Ganja yang dikenal juga dengan Kanabis Sativa dan yang dapat dipergunakan berupa daun, batang, dan biji.
b.      Pengaruhnya dapat menyebabkan ketagihan dan kemudian merusak mental dan berfikir menjadi lambankarna zat tersebut dapat mempengaruhi konsentrasi dan ingatan serta kemampuan berfikir menjadi menurun.
c.       Mengandung bahan kimia delta-9 tetrahydrocanabinol (THC) yang dapat mempengaruhi pengguna dalam cara melihat dan mendengar
d.      Pemakaian obat ini pada batas tertentu (tanpa terkendali) akan mengakibatkan kegilaan. 
2.    Morfin
Morfin merupakan turunan opium yang dibuat dari hasil pencampuran getah poppy (papaver sorami ferum) dengan bahan kimia lain, dan menjadikan sifatnya semi sintetis.  Morfin merupakan zat aktif dari opium. Didalam dunia kedokteran zat ini digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada waktu dilakukannya pembedahan atau operasi.
3.    Heroin
Heroin merupakan turunan dari morfin yang sudah mengalami proses kimiawi. Pada mulanya heroin ini digunakan untuk pengobatan ketergantungan morfin, akan tetapi kemudian terbukti bahwa kecanduan heroin justru lebih hebat.
4.    Kokain
Efek dari penggunaaan kokain adalah paranoid, halusinasi, serta berkurangnya rasa percaya diri. Pemakaian obat ini akan merusak susunan saraf di otak dan juga memperburuk sistem pernapasan. Penggunaan yang berlebihan akan meyebabkan kematian [15]

B.2. Jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika
Adapun perbuatan-perbuatan  yang dianggap sebagai tindak pidana narkotika tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Tindak pidana narkotika yang berkaitan dengan narkotika golongan I.
Penggunaan narkotika golongan I di luar ilmu pengetahuan adalah merupakan tindak pidana, misalnya:
-          Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan dan menguasai narkotika golongan I tanpa hak dan melawan hukum;
-          Memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan I tanpa hak dan melawan hukum.
Penyalahgunaan narkotika golongan I diatur dalam Pasal 78 ayat (1) huruf a dan b UU Narkotika.
2.      Tindak pidana yang berkaitan dengan produksi.
Narkotika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat-obatan tertentu yang telah memperoleh izin khusus dari Menteri Kesehatan. Pengertian produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas dan/atau mengubah bentuk narkotika termasuk mengekstraksi, mengkonversi, atau merakit narkotika untuk memproduksi obat (Pasal 1 angka 2 UU Narkotika). Tindakan yang berkaitan dengan produksi adalah mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan. Pengertian pabrik obat adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari menteri kesehatan untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk narkotika (Pasal 1 angka 10 UU Narkotika). Pidana atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 80 UU Narkotika.
3.      Tindak pidana narkotika yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Lembaga ilmu pengetahuan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang kegiatannya secara khusus atau salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian dan pengembangan dapat memperoleh, menanam, menyimpan dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan dengan izin dari menteri kesehatan. Terhadap pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan diancam dengan ketentuan Pasal 99 huruf b UU Narkotika. Bagi pimpinan pedagang besar farmasi yang menanam, membeli, menyimpan atau menguasai tanaman narkotika, yang dilakukan bukan oleh lembaga ilmu pengetahuan diancam dengan ketentuan Pasal 99 huruf c UU Narkotika.   
4.      Tindak pidana yang berkaitan dengan Ekspor dan Impor.
Pengaturan ekspor dan impor narkotika dalam UU Narkotika meliputi:
-          Surat persetujuan ekspor dan surat persetujuan impor (Pasal 12 s/d Pasal 19 UU Narkotika).Apabila tanpa hak dan melawan hukum melakukan kegiatan mengimpor atau mengekspor narkotika diancam dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b dan c UU Narkotika.
-          Pengangkutan (Pasal 20 s/d Pasal 25 UU Narkotika).
Meliputi pengangkutan impor dan pengangkutan ekspor dan tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang. Apabila nahkoda mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak, wajib membuat berita acara dan melakukan tindakan pengamanan. Pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan narkotika kepada pihak yang berwenang (Pasal 24 UU Narkotika). Ketentuan tersebut juga berlaku pada kapten penerbang untuk pengangkutan udara (Pasal 25 UU Narkotika). Ancaman terhadap nahkoda dan kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum melanggar ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 UU Narkotika diancam dengan ketentuan Pasal 93 UU Narkotika, sedangkan ancaman mengangkut narkotika tanpa hak dan melawan hukum diatur dalam Pasal 81 ayat (1) UU Narkotika.
-          Transito (Pasal 26 s/d Pasal 29 UU Narkotika).
Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah negara Republik Indonesia yang terdapat kantor pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan (Pasal 1 angka 11 UU Narkotika). Ancaman terhadap transito narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum diatur dalam Pasal 81 ayat (1) UU Narkotika.
-          Pemeriksaan (Pasal 30 s/d Pasal 31 UU Narkotika).
5.      Tindak pidana yang berkaitan dengan penyaluran dan peredaran.
Peredaran yang dimaksud dalam pasal ini meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Pasal 32 UU Narkotika). Peredaran narkotika tersebut meliputi penyaluran (Pasal 35 s/d Pasal 38 UU Narkotika)  atau penyerahan (Pasal 39 s/d Pasal 40 UU Narkotika). Pengertian peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika (Pasal 1 angka 5 UU Narkotika).
Penyaluran narkotika menyimpang, diancam dengan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf b dan c UU Narkotika. Mengedarkan narkotika golongan I, II dan III yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, apotik, puskesmas, balai pengobatan, sarana penyimpanan dan persediaan narkotika dan dokter bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, diancam dengan Pasal 99 huruf a UU Narkotika. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika baik golongan I, II dan III, bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan diancam dengan ketentuan Pasal 99 huruf d UU Narkotika.
6.      Tindak pidana yang berkaitan dengan label dan publikasi.
Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika, sehingga memudahkan pengendalian dan pengawasan, pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut diancam dengan ketentuan Pasal 89 UU Narkotika. Narkotika hanya dapat dipublikasikan melalui media cetak ilmiah kedokteran dan media cetak ilmiah farmasi, baik untuk kepentingan ilmiah maupun kepentingan komersial.
7.      Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan narkotika tanpa pengawasan.
Untuk memperoleh narkotika secara sah, setiap pihak yang mempunyai wewenang harus memiliki bukti memperoleh narkotika secara sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU Narkotika. Seseorang yang memiliki, menyimpan dan atau membawa narkotika yang tidak untuk pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan tanpa hak dan melawan hukum diancam dengan ketentuan Pasal 78 UU Narkotika. Menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum diancam dengan ketentuan Pasal 85 UU Narkotika. Bagi setiap orang yang melalaikan kewajiban untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib tentang adanya tindak pidana narkotika diancam dengan ketentuan pasal 85,  Pasal 86 ayat (1), Pasal 88 ayat (1)  dan ayat (2) UU Narkotika.

B.3. Sebab dan Akibat dari Penyalahgunaan Narkotika.
Faktor penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika di Indonesia sangatlah kompleks. Mereka yang kecanduan narkotika antara lain terdorong oleh berbagai faktor, yaitu :
a)      Faktor fisik, antara lain :
(1)   mencari kesenangan dan kegembiraan ;
(2)   mencari inspirasi ;
(3)   melarikan diri dari kenyataan ;
(4)   rasa ingin tahu, meniru, mencoba, dan sebagainya.

b)      Faktor sosial kultural, antara lain :
(1)   rasa setia kawan ;
(2)   upacara-upacara kepercayaan adat ;
(3)   tersedia dan mudah diperoleh.
c)      Faktor medik, antara lain seseorang yang dalam perkembangan jiwanya mengalami gangguan, lebih cenderung untuk menyalahgunakan narkotika misalnya, untuk menghilangkan rasa malu, rasa segan diri, dan kecemasan.[16]

 Sebagian besar mereka yang menggunakan narkotika, pada awalnya berasal dari rasa ingin tahu dan sekedar coba-coba, atau ada juga yang menggunakan narkotika sebagai tempat pelariannya untuk dapat melupakan sejenak masalah yang sedang dihadapi, contohnya pada orang-orang yang stress maupun mereka yang kehidupan rumah tangganya kurang harmonis. Selain itu kuatnya jaringan pemasaran narkotika juga telah menjadi aspek tersendiri yang harus ditangani oleh pemerintah suatu negara di dalam pencegahan menyebar luasnya penggunaan bahan-bahan narkotika ini.[17]

Salah satu dampak penggunaan narkotika yang paling mudah untuk dilihat adalah timbulnya kepribadian adiksi pada pemakainya. Kepribadian adiksi adalah wujud tingkah laku atau sikap dari seseorang yang sudah ketagihan narkotika. Beberapa sikapnya yaitu sering menyembunyikan tindakan, berbohong, berpura-pura, ingkar janji, menipu dan lain sebagainya. Sedangkan dampak dari penggunaan narkotika terhadap kesehatan tubuh yaitu dapat mengakibatkan infeksi paru-paru, infeksi jantung, penularan penyakit seperti HIV/AIDS, Hepatitis B dan C, menurunkan kapasitas berpikir dan kemampuan mengambil keputusan, cenderung apatis (tidak perduli dengan keadaan sekitarnya), dapat menimbulkan impotensi, kecacatan pada bayi (pada wanita hamil yang menggunakan narkotika), dan dapat mengakibatkan kematian akibat over dosis.[18]

















BAB III
  PEMBAHASAN
A.    Dasar Pertimbangan Hakim Sehingga Tidak Menjatuhkan Pidana Maksimum Dalam Kasus Tindak Pidana Narkotika.
Dewasa ini, institusi lembaga penegak hukum khususnya lembaga peradilan seolah-olah sebagai lembaga tertutup dan kelihatan terasing dari dunia luar. Ketertutupan lembaga penegak hukum ini akhirnya menimbulkan atau mengeluarkan putusan-putusan yang sangat kontroversial yang sulit dimengerti oleh masyarakat yang tidak mengetahui seluk beluk hukum.
Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku tindak pidana narkotika, baik dalam kapasitasnya sebagai pengguna maupun sebagai pengedar, masih dinilai belum memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh norma-norma di luar norma hukum, dan tampaknya masih melekat dan menjadi kendala terhadap penegakan hukum narkotika secara konsekuen.
Selain itu, tindak pidana narkotika berdasarkan UU Narkotika, memberikan sanksi yang cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan juga dapat dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataannya para pelakunya justru semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan sanksi pidana tidak memberikan dampak atau  deterrent effect terhadap para pelakunya (baik sebagai pengguna maupun pengedar).           
            Bahwa yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim sehingga tidak menjatuhkan pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana narkotika  dipengaruhi oleh adanya hal-hal yang dapat meringankan hukuman. Hal-hal yang dapat meringankan hukuman tersebut, yakni :
a.       Bahwa Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya.
b.      Bahwa  Terdakwa menyesali perbuatannya.dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya kembali.
c.       Bahwa Terdakwa selama persidangan berlaku sopan.
d.      Bahwa selama proses persidangan Terdakwa tidak menyulitkan jalannya persidangan.
e.       Bahwa Terdakwa usianya relatif masih muda, sehingga ada kesempatan baginya untuk memperbaiki dirinya di masa depan.
f.       Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum.
g.      Bahwa Terdakwa adalah tulang punggung keluarganya.
h.      Bahwa Terdakwa masih berstatus pelajar (bersekolah).

B.2. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Bagi Pengguna Yang  Mengalami Ketergantungan Narkotika.
Bahwa dasar pertimbangan bagi hakim di dalam menjatuhkan pidana terhadap pengguna yang mengalami ketergantungan narkotika sangat berbeda dengan dasar pertimbangan bagi hakim di dalam menjatuhkan pidana terhadap pengedar narkotika. Hal ini disebabkan, pengguna yang mengalami ketergantungan narkotika adalah korban dari perbuatan para pengedar narkotika. Akan tetapi, pengguna yang mengalami ketergantungan narkotika tersebut tetaplah sebagai orang yang telah melakukan pelanggaran hukum (telah melanggar isi ketentuan Pasal 85 UU Narkotika), maka kepadanya tetap harus diberikan sanksi tegas berupa hukuman pidana agar si pengguna tidak mengulangi perbuatannya kembali, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi orang lain yang berada disekitarnya untuk melakukan tindak pidana narkotika tersebut (menggunakan narkotika).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan vonis lebih cenderung meringankan hukuman pidana terhadap pengguna dibandingkan terhadap pengedar karena pengguna dipandang masih memiliki harapan baginya untuk memperbaiki diri. Kemudian, hakim harus mempertimbangkan ketergantungan jenis/kategori apa yang dialami terdakwa. Apakah Ketergantungan Primer, Ketergantungan Simtomatis, atau Ketergantungan Reaktif sehingga hakim yang memeriksa perkara terdakwa sebagai pengguna yang mengalami ketergantungan narkotika tersebut dapat mengetahui apakah mereka tergolong sebagai penderita (pasien), korban (victim) atau sebagai kriminal.. Selain itu, hakim juga harus mempertimbangkan fakta-fakta (baik fakta yuridis, fakta historis, dan fakta sosiologis) yang terungkap selama proses persidangan berlangsung, seperti hal-hal yang dapat mempengaruhi motivasi atau tujuan si terdakwa menggunakan narkotika, yang dapat menjadi hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman, serta harus mempertimbangkan apakah putusan yang akan dikeluarkan nantinya akan memberikan dampak yang positif terhadap pengguna yang mengalami ketergantungan.
















BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan.
1.      Bahwa yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim sehingga tidak menjatuhkan pidana maksimum dalam kasus tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Medan dipengaruhi oleh adanya hal-hal yang dapat meringankan hukuman. Hal-hal yang dapat meringankan hukuman tersebut, yakni :
  1. Bahwa Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya.
  2. Bahwa Terdakwa menyesali perbuatannya.dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya kembali.
  3. Bahwa Terdakwa selama persidangan berlaku sopan.
  4. Bahwa selama proses persidangan Terdakwa tidak menyulitkan jalannya persidangan.
  5. Bahwa Terdakwa usianya relatif masih muda, sehingga ada kesempatan baginya untuk memperbaiki dirinya di masa depan.
  6. Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum.
  7. Bahwa Terdakwa adalah tulang punggung keluarganya.
  8. Bahwa Terdakwa masih berstatus pelajar (bersekolah).
2.      Bahwa dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa pengguna yang mengalami ketergantungan narkotika lebih cenderung meringankan hukumannya dibandingkan terhadap pengedar karena pengguna adalah korban dari perbuatan para pengedar narkotika, serta dipandang masih memiliki harapan baginya untuk memperbaiki diri. Kemudian, hakim harus mempertimbangkan ketergantungan jenis/kategori apa yang dialami terdakwa. Apakah Ketergantungan Primer, Ketergantungan Simtomatis, atau Ketergantungan Reaktif sehingga hakim yang memeriksa perkara terdakwa sebagai pengguna yang mengalami ketergantungan narkotika tersebut dapat mengetahui apakah mereka tergolong sebagai penderita (pasien), korban (victim) atau sebagai kriminal.. Selain itu, hakim juga harus mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap selama proses persidangan berlangsung, seperti motivasi atau tujuan si terdakwa menggunakan narkotika, hal-hal yang dapat memberatkan dan meringankan hukuman pidana, serta harus mempertimbangkan apakah putusan yang akan dikeluarkan nantinya akan memberikan dampak yang positif terhadap pengguna yang mengalami ketergantungan (dapat mengubah perilaku terdakwa ke arah yang lebih baik).

B.     Saran.
1.      Penegakan hukum narkotika terhadap tindak pidana narkotika, khususnya dalam hal pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum pelaku tindak pidana narkotika sehingga dapat memberikan efek jera. Atau dengan kata lain, agar dalam penjatuhan sanksi pidana harus dapat berdampak deterrent effect (memberikan rasa takut kepada pelaku-pelaku tindak pidana narkotika). Hal ini memberikan wacana kepada para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan sanksi pidana kepada para pelaku tindak pidana narkotika agar mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat.
2.      Diharapkan kepada aparatur penegak hukum, khususnya para hakim dituntut profesionalitasnya di bidang hukum dengan ditunjang oleh etika profesi hukum.
3.      Eksistensi aparatur penegak hukum dalam hal visi dan misi penegakan hukumnya, baik dari tingkat penyidikan, penuntutan, sampai ke tingkat peradilan, seharusnya memiliki persepsi yang sama sesuai dengan tuntutan hukum dan keadilan masyarakat.
4.       Konsistensi penegakan hukum juga sangat perlu dipengaruhi oleh sikap transparansi penegak hukum dan akuntabilitas di depan publik.

DAFTAR BACAAN


Chazawi, Adami, 2001, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. Raja Grafindo
Persada; Jakarta.

Dirdjosisworo, Soedjono, 1990, Hukum Narkotika Indonesia,  PT. Citra Aditya Bakti;       Bandung.

Dirdjosisworo, Soedjono & O.C. Kaligis, 2006, Narkoba & Peradilannya di Indonesia      (Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan), O.C. Kaligis & Associates ; Jakarta.

 Hamzah, Andi 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.

Kansil, C.S.T., 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai     Pustaka ; Jakarta.

Lamintang, P.A.F., 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung.

Nasution, Rizali H., dkk, 2000, AIDS dan Narkoba Dikenal Untuk Dihindari, Yayasan Humaniora, Medan.

Panjaitan, Petrus Iwan, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana,Jakarta. Pustaka Sinar Harapan,

Prakoso, Djoko, 1988, Hukum Penitensier Di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Ranoemihardja, R. Atang, 1984, Hukum Acara Pidana , Penerbit Tarsito ; Bandung.

Sasangka, Hari, 2003, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar            Maju; Bandung.

Sitanggang, B.A., 1978, Masalah Narkotika (Mereka Lari dan Apa Yang Dapat Kita         Perbuat), Penerbit Sinar Selatan Baru, Medan.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang.

Sunarso, Siswanto, 2005, Penegakan Hukum Psikotropika (Dalam Kajian Sosiologi           Hukum), Raja Grafindo Persada ; Jakarta.

Tanjung, H. Mastar ‘Ain, 2004, Kenali Kejahatan Narkoba, HIV-AIDS (Pedoman agi Pemuda, Pelajar, Mahasiswa, Guru, dan Orang Tua), Letupan ; Jakarta.

____________________ ,  2005, Pahami Kejahatan Narkoba,  Letupan ; Jakarta.

Utrecht, E., 1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru, Jakarta.

Yudowidagdo, Hendrastanto, dkk, 1987, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana Indonesia, Bina Aksara.




                [1] O.C. Kaligis & Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Narkoba & Peradilannya di Indonesia (Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan), O.C. Kaligis & Associates, hal. vi.
[2] Darwan Prints, 1997, Hukum Anak Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.23.
[3] Barda Nawawi dan Muladi, 1992, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal.2.
[4] R. Soesilo., 1994, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, hal.35.
[5] R. Atang Ranoemihardja, 1984, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, hal.120-122.
                [6] Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. Raja Grafindo Persada ; Jakarta, hal.24.
                [7] Ibid, hal 151.
[8] Djoko Prakoso, 1988, Hukum Penitensier Di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hal.22. 
[9] Ibid,
                [10] R. Atang Ranoemihardja, Op. Cit, hal.133.
[11] Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, hal.100. 
[12] Roeslan Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, hal.2.
                [13] Siswanto Sunarso, Op.Cit, hal. 176.
[14] Hari Sasangka, 2003, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju; Bandung, hal. 32 .
[15] Arief  Hakim, 2004, Bahaya Narkoba Alkohol, Kompleks Chijambe; Bandung, hal. 25.
[16]  H. Mastar ‘Ain Tanjung (B), Op.Cit, hal. 11.
[17] Rizali H. Nasution, dkk, 2000, AIDS dan Narkoba Dikenal Untuk Dihindari, Yayasan Humaniora, hal.49.
[18] Rizali H. Nasution, dkk, Op.Cit, hal.51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar