Selasa, 01 November 2011

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TRANSFUSI DARAH TANPA KEWENANGAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke empat (UUD 1945 A-4)  adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut diselenggarakan pembangunan nasional disemua bidang kehidupan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.[1]
Pembangunan kesehatan  pada dasarnya menyangkut semua segi kehidupan, baik fisik, mental, maupun sosial ekonomi. Dalam perkembangan pembangunan kesehatan selama ini, telah terjadi perubahan orientasi, baik tata nilai maupun pemikiran terutama mengenai upaya pemecahan masalah dibidang kesehatan yang dipengaruhi oleh politik, ekonomi, sosial, budaya, pertanahan dan keamanan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.[2] Perubahan orientasi tersebut akan mempengaruhi proses penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
Kewajiban untuk melakukan pemerataan dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dan kesadaran akan hidup sehat. Hal ini mempengaruhi meningkatnya kebutuhan pelayanan dan pemerataan yang mencakup tenaga, sarana, dan prasarana baik jumlah maupun mutu. Karena itu diperlukan pengaturan untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan. Dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi dasar bagi pembangunan kesehatan diperlukan perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Dalam rangka pembangunan sektor kesehatan yang demikian kompleks dan luas, sangat dirasakan bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya kesehatan perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan.
Jika dilihat dari segi aspek yuridisnya, dengan dikembangkannya sistem kesehatan nasional, sudah tiba saatnya untuk mengkaji kembali dan melengkapi peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan, dengan mengeluarkan berbagai produk hukum yang lebih sesuai.[3]
Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan berbagai peraturan dan ketentuan hukum dalam bidang kesehatan agar pelayanan dan pemeliharaan kesehatan dapat berjalan dengan baik. Pemerintah menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil dan makmur. Peraturan dan ketentuan hukum ini tidak saja di bidang kedokteran, tetapi mencakup seluruh bidang kesehatan seperti, farmasi, obat-obatan, rumah sakit, kesehatan jiwa, kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan lingkungan, hygiene dan lain-lain. Sampai sekarang sudah ada puluhan peraturan dan perundang-undangan di bidang kesehatan yang diterbitkan pemerintah. Kumpulan peraturan-peraturan dan ketentuan hukum inilah yang dimaksud dengan hukum kesehatan.[4] Salah satu ketentuan hukum di bidang kesehatan yang diterbitkan oleh pemerintah melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ( selanjutnya disebut UU Kesehatan).
Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, telah berkembang dengan pesat dan di dukung oleh sarana kesehatan yang semakin canggih.[5] Perkembangan ini turut mempengaruhi masyarakat awam yang dapat mengarah terhadap tindakan penyalahgunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan, seperti halnya orang yang melakukan transfusi darah di luar kewenangannya.
Di dalam tubuh manusia terdapat darah yang merupakan bagian tubuh yang sangat vital yang mempunyai fungsi antara lain membawa zat makanan keseluruh bagian tubuh, membawa zat asam dari saluran pernafasan tubuh serta sebagai bagian dari antibody pertahanan tubuh dari serangan penyakit.[6] Darah tidak dapat diproduksi sendiri oleh manusia tapi hanya didapat dari tubuh manusia dengan cara mendonorkan darahnya di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (selanjutnya disebut UTD-PMI). Untuk melindungi, baik donor maupun resipien dari kemungkinan buruk, donor harus dalam keadaan sehat dan bersifat sukarela, karena pembayaran dapat mendorong penyembunyian riwayat kesehatan atau pola tingkah laku seseorang. Persediaan darah yang cukup dan berkesinambungan memungkinkan tindakan therapy dokter menjadi lebih optimal.
Keputusan untuk melakukan transfusi darah pada seorang pasien ditentukan oleh seorang dokter di rumah sakit berdasarkan diagnosis pasien tersebut. Dokter menentukan jenis komponen darah yang diperlukan, jumlah darah dan waktu transfusi. Formulir permintaan darah yang disampaikan UTD-PMI memuat hal-hal tersebut, identitas pasien serta nama dan tanda tangan dokter yang meminta. Formulir disertai contoh darah pasien kira-kira 3 (tiga) ml yang telah diberi label nama pasien.[7]
Bila ada permintaan darah dari rumah sakit, petugas UTD-PMI akan memeriksa golongan darah pasien. Darah donor yang sudah lolos uji saring bibit penyakit dan mempunyai golongan darah yang sama dengan  golongan darah pasien dilakukan uji cocok serasi.[8] Bila darah donor dinyatakan cocok maka darah tersebut dikirim kerumah sakit yang diminta. Setelah sampai di rumah sakit, darah tersebut ditransfusikan ke pasien yang memerlukan perawatan dengan pengawasan dokter.
Transfusi darah merupakan tindakan medik yang bertujuan untuk menyelamatkan hidup pasien. Transfusi darah sering dilakukan dalam keadaan darurat. Rumah sakit sering mengalami kekurangan persediaan darah, atau persediaan darah ada tetapi tidak sesuai dengan golongan darah pasien yang membutuhkan.
Pada hakikatnya usaha transfusi darah merupakan bagian penting dari tugas pemerintah di bidang pelayanan kesehatan rakyat dan juga merupakan suatu bentuk pertolongan sesama umat manusia. Disamping aspek pelayanan kesehatan rakyat, terkait pula aspek-aspek sosial, organisasi, interdepedensi Nasional dan Internasional yang luas baik dalam rangka kerjasama antara Pemerintah maupun antar Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah Nasional. [9]
Pemakaian darah sebagai salah satu obat yang belum ada gantinya akhir-akhir ini semakin meningkat, sedangkan sumber darah itu masih tetap manusia sendiri hal mana menimbulkan kepincangan antara pengadaan darah dan kebutuhan darah yang dapat menyebabkan timbulnya jual beli darah yang tidak sesuai dengan falsafah bangsa dan tidak sesuai pula dengan resolusi yang diambil oleh Kongres Internasional Palang Merah yang ke XXII di Teheran pada tahun 1973 maupun World Health Assembly ke XXVII tahun 1974.[10] Oleh karena di KUHP tidak mengatur mengenai transfusi darah, maka ketentuan mengenai tindak pidana transfusi darah yang dilakukan oleh pelaku yang tidak memiliki kewenangan mengacu pada UU Kesehatan dan PP Nomor 18 Tahun 1980 tentang Transfusi Darah (PP Nomor 18 Tahun 1980). Di dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur pengadaan dan penyumbangan darah, pengolahan dan pemindahan darahnya sendiri dalam arti yang luas dan mengingat faktor-faktor kesukarelaan donor, larangan untuk memperdagangkan darah dan pengawasan tentang pelaksanaannya.
Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai  keahlian dan kewenangan untuk itu (Pasal 35 ayat (1) UU Kesehatan). Dengan demikian orang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan melanggar Undang-undang sebagaimana Pasal 80 ayat (3) UU       Kesehatan :”Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Walaupun sanksi pidana sudah sangat jelas diatur didalam Pasal 80 ayat (3) UU Kesehatan, tetapi masih ada saja orang yang melakukan transfusi meski tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Orang yang berwenang untuk melakukan transfusi darah adalah petugas teknologi transfusi darah dan asisten transfusi darah dibawah pengawasan dokter. Dalam praktik, transfusi darah juga dilakukan oleh orang yang bukan merupakan tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.  Hal ini dapat dilihat dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No.79/Pid.B/2007/PN.Mdn terhadap pelaku yang melakukan transfusi darah tanpa kewenangan, dimana pelaku bukan sebagai pegawai atau petugas UTD PMI Kampung Durian Medan, sehingga dia tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan transfusi darah. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk meneliti pemidanaan terhadap pelaku transfusi darah tanpa kewenangan di Pengadilan Negeri Medan.

B. Permasalahan
            Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah :
1.    Apakah transfusi darah yang dilakukan oleh orang yang bukan tenaga kesehatan dapat dipidana?
2.    Apa dasar pertimbangan hakim untuk menghukum pelaku transfusi darah yang dilakukan oleh orang yang bukan tenaga kesehatan padahal darah yang diambil belum digunakan kepada orang lain?

C. Tujuan Penelitian
            Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1.    Pemidanaan terhadap pelaku transfusi darah  yang dilakukan oleh orang yang bukan tenaga kesehatan.
2.    Dasar pertimbangan hakim untuk menghukum pelaku transfusi darah yang dilakukan oleh orang yang bukan tenaga kesehatan padahal darah yang diambil belum digunakan kepada orang lain.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk :
1.    Memperluas wawasan penulis tentang pemidanaan terhadap pelaku transfusi darah tanpa kewenangan.
2.    Sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi para akademis hukum, praktisi hukum, penegak hukum, serta pemerintah.
                                                            BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.   Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan
A.1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan
            Menurut Darwan Prints, pidana adalah hukuman yang dijatuhi atas diri seseorang yang terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana.[11] Menurut Barda Nawawi, terdapat berbagai macam pendapat dari para sarjana tentang pengertian pidana, antara lain :
1.    Sudarto, menyebutkan pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
2.    Ruslan Saleh, menyebutkan pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu.[12]

Pidana (hukuman) adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. Ada 2 (dua) macam pidana yang dapat dijatuhkan terhadap diri terdakwa yaitu :
1.    Hukuman pokok, terdiri dari :
a)    Hukuman mati ;
b)    Hukuman penjara ;
c)    Hukuman kurungan ; dan
d)    Hukuman denda.

2.    Hukuman tambahan, terdiri dari :
a)    Pencabutan beberapa hak tertentu ;
b)    Perampasan barang tertentu ; dan
c)    Pengumuman keputusan hakim.[13]
Dengan adanya penderitaan yang ditimpakan tersebut, maka masyarakat menyadari pengertian pidana, dan dengan demikian anggota masyarakat harus berhati-hati untuk melakukan suatu perbuatan agar tindakannya tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku karena bagi anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran akan dikenakan pidana atau hukuman.
            Pemidanaan diberikan berkenaan dengan tidak dipatuhinya kaidah-kaidah hukum pidana yang berlaku.[14] Oleh karena itu, hakim dalam menjatuhkan putusannya harus menyadari makna dari putusan yang diberikannya itu  dan harus mengetahui tujuan yang akan dicapai dengan pidana yang dijatuhkannya itu. Pidana yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang memerlukan perwujudan lebih lanjut. Dengan adanya ketetapan di dalam peraturan saja suatu pidana tidak akan terwujud dengan sendirinya, dengan kata lain harus ada badan atau instansi yang berdiri atas orang-orang dan alat-alat yang secara nyata merealisasikan aturan pidana tersebut. Negaralah yang berhak menjatuhkan pidana melalui alat-alat pemerintah karena negaralah yang memegang subjectief strafrecht (ius puniendi) yang diberi kewenangan untuk menjatuhkan pidana terhadap objectief strafrecht (ius punale).[15]

A.2.  Tujuan Pemidanaan
            Awalnya sanksi yang berupa pidana dikenal sebagai salah satu sarana untuk membalas dendam terhadap seorang pelaku kejahatan, tanpa memperhitungkan apakah setimpal atau tidak sanksi pidana yang dijatuhkan tersebut dengan tindak pidana yang dilakukannya.[16] Tujuan sanksi pidana hanyalah membuat si pelaku kejahatan menjadi jera dan masyarakat takut untuk berbuat kejahatan. Perkembangan pemikiran ke arah perbaikan hidup pelaku kejahatan baru dikenal sejak adanya teori-teori penjatuhan hukuman.
Tujuan pemberian pidana terhadap terdakwa ialah sekedar memberikan suatu rasa yang tidak enak, baik yang tertuju pada jiwa, kebebasan, harta benda, hak-hak ataupun terhadap kehormatannya, sebagai pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukannya sehingga ia akan bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.[17]
Hakim dalam penghukuman yang berupa penjatuhan pidana harus menyadari apa makna pemidanaan tersebut atau dengan kata lain harus menyadari apa yang hendak dicapai dengan yang dikenakan terhadap sesama manusia yang telah melanggar ketentuan undang-undang.[18] Suatu sanksi yang berupa pidana dapat menjadi keras sekali dirasakan yang terkadang sampai melenyapkan kemerdekaan seseorang beberapa tahun lamanya, dan ada kalanya kemerdekaan yang dirampas tersebut mempunyai arti besar terhadap sisa hidup orang yang dikenainya.[19]
Tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan terdakwa, baik penuntut umum maupun hakim diharapkan menuntut dan menjatuhkan hukuman yang setimpal sehingga putusannya mempunyai dampak menjerakan (special deterrent effect), di samping memenuhi aspirasi dan rasa keadilan masyarakat juga merupakan daya tangkal bagi anggota masyarakat yang mempunyai potensi untuk menjadi pelaku tindak pidana (general deterrent effect).[20]
Herbert L. Packer sebagaimana yang dikutip oleh Petrus Iwan Panjaitan memberikan pendapat mengenai pemberian sanksi pidana sebagai berikut:
a.)  Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana.
b.)  Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang sudah ada, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan bersifat segera.
c.)   Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Ia merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat, cermat dan secara manusiawi. Ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.[21]

Menurut Herbert L. Packer , tujuan pemidanaan sebenarnya hanya ada 2 (dua), yaitu :
a.)  memberikan suatu penderitaan, dan
b.)  mencegah terjadinya kejahatan.[22]
Beberapa ahli hukum memberikan pendapat bahwa tujuan pemberian hukuman / pemidanaan itu bermacam-macam, antara lain :
a.)  diarahkan pada pembalasan dendam,
b.)  diarahkan agar orang takut berbuat kejahatan, dan
c.)   diarahkan pada pemberian pendidikan terhadap para terhukum/ terpidana.[23]
Menurut P.A.F. Lamintang, pada dasarnya ada 3 (tiga) pokok pemikiran tentang tujuan yang hendak dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :
a.)  untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri ;
b.)  untuk membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan ;
c.)   untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain.[24]
            Sehubungan dengan tujuan pemidanaan, J.E. Sahetapy berpendapat bahwa pemidanaan bertujuan untuk pembebasan dan makna pembebasan menghendaki agar si pelaku tidak saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat dan keliru, melainkan harus dibebaskan juga dari kenyataan sosial, dimana pelaku terbelenggu.[25]  Menurut Ruslan Saleh, sebenarnya tipe tujuan dari pemidanaan ada 3 (tiga) yaitu :
1)    Tujuan instrumental ;
2)    Tujuan intrinsik ;
3)    Tujuan menurut organisasi. [26]
Ad.1: Tujuan Instrumental.
Maksudnya adalah bahwa pidana merupakan suatu alat untuk tujuan yang bersifat umum, yaitu untuk pengaturan kehidupan bersama di dalam sektor tertentu dan reduksi atau regulasi kriminalitas.
Ad.2: Tujuan Intrinsik.
Alat-alat hukum pidana sebenarnya bukan pula tidak dapat dihindarkan dalam mencapai tujuan instrumental. Banyak sekali disebut sebagai  teknik mempengaruhi tidak dapat diterapkan dan ini semata-mata alasan kemanusiaan. Hukum pidana diadakan bukanlah guna mempertahankan ketertiban masyarakat lebih baik atau untuk dapat memidana. Hal itu juga telah dilakukan oleh penguasa yang sebelumnya, tetapi tanpa hukum pidana atau hukum secara pidana atau dengan hukum pidana atau hukum acara pidana yang masih jauh dari sempurna. Hukum pidana dan hukum acara pidana justru lahir guna mengatur bagaimana mempertahankan ketertiban masyarakat, dan hal dengan sengaja boleh menimpakan derita kepada warga yang dipidana.
Ad.3: Tujuan Menurut Organisasi.
Tujuan hukum pidana mempunyai 2 (dua) sifat. Disatu pihak alat-alat di dalam lingkungan hukum pidana mempunyai tugas mengatur warganya, hal ini termasuk dalam tujuan instrumental. Dilain pihak ia mempunyai kewajiban, dalam melaksanakan tugas-tugasnya mempertahankan sejumlah nilai dan asas-asas hukum yang mangatur tindakan itu sendiri, ini termasuk tujuan hukum pidana. Tujuan instrumental dan instrinsik adalah tujuan khas hukum pidana, tetapi perwujudannya terjadi dalam konteks organisasi. Dalam bentuk organisasi inilah tujuan ini dapat tercapai dan mempunyai bentuk nyata.

A.3. Teori-teori Pemidanaan
      Mengenai teori-teori pemidanaan (dalam banyak literatur hukum disebut dengan teori hukum pidana atau strafrecht theorien) adalah berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subyektif. Teori-teori ini adalah mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana. Menurut Andi Hamzah, teori-teori untuk membenarkan atau memberlakukan pemidanaan atau penjatuhan pidana dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu :
1.    Teori absolut atau teori pembalasan (Vergeldings theorien) ;
2.    Teori relatif atau teori tujuan (Doel theorien) ;
3.    Teori Gabungan (Vernegings theorien).[27]
Ad.1:Teori absolut atau teori pembalasan (Vergeldings theorien).
            Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena dilatarbelakangi penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat, atau negara) yang telah dilindungi sehingga ia harus diberikan hukuman/pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Penjatuhan pidana kepada para penjahat yang pada dasarnya berupa penderitaan dapat dibenarkan karena penjahat tersebut telah lebih dulu membuat penderitaan bagi orang lain. Setiap kejahatan, tidak boleh tidak, harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya. Tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana tersebut, tidak memperhatikan ke masa depan, baik terhadap diri penjahat itu sendiri maupun terhadap masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, akan tetapi bermaksud satu-satunya memberikan penderitaan bagi pelaku tindak pidana (penjahat).
            Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2 (dua) arah, yaitu:
1.    Ditujukan kepada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan) ;
2.    Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).[28]
            Bila seseorang melakukan kejahatan itu berarti ada kepentingan hukum yang terlanggar dan akibat yang timbul sebagai konsekwensi hukumnya tidak lain adalah berupa suatu penderitaan, baik penderitaan terhadap fisik maupun psikis, antara lain berupa perasaan tidak senang, sakit hati, amarah, tidak puas, terganggunya ketentraman batin, dan sebagainya. Timbulnya perasaan tidak senang ini tidak hanya bagi korban langsung, tetapi juga pada masyarakat pada umumnya sehingga untuk memuaskan korban dan masyarakat dan menghilangkan penderitaan seperti ini (sudut subyektif), maka kepada pelaku kejahatan harus diberikan pembalasan yang setimpal (sudut obyektif), yakni berupa pidana yang tidak lain adalah suatu penderitaan. Oleh sebab itulah teori pembalasan ini dapat dikatakan mengejar kepuasan hati bagi korban dan keluarganya maupun bagi masyarakat pada umumnya.

Ad.2:Teori relatif atau teori tujuan (Doel theorien)
            Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata-tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah menciptakan tata-tertib di dalam masyarakat dan untuk menegakkan tata-tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan harapan agar tata-tertib masyarakat dapat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat maka pidana itu adalah sesuatu yang terpaksa perlu (noodzakelijk) diadakan.[29] Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi maka pidana itu harus mempunyai salah satu dari ketiga macam sifat di bawah ini, yakni :
1.    Bersifat menakut-nakuti (afschrikking);
2.    Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);
3.    Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).[30]
Sifat pencegahan dari teori ini ada 2 (dua) macam, yaitu :
1.    Pencegahan umum (general preventie);
Menurut teori pencegahan umum, pidana yang dijatuhkan kepada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan karena penjahat yang dijatuhi pidana tersebut dijadikan contoh bagi masyarakat agar tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan perbuatan penjahat tersebut. Titik berat pencegahan umum yakni terletak pada pelaksanaan pidana yang menakutkan orang, dan tujuannya yang membuat agar khalayak umum menjadi takut untuk melakukan kejahatan karena melihat penjahat tersebut dipidana. Dengan demikian, maka eksekusi pidana haruslah bersifat kejam. Agar pelaksanaan pidana dapat diketahui oleh semua orang maka eksekusi harus dilakukan di muka umum secara terbuka.
2.    Pencegahan khusus (speciale preventie).
Teori pencegahan khusus ini lebih maju jika dibandingkan dengan teori pencegahan umum. Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah agar pelaku kejahatan yang telah dipidana tidak mengulangi lagi kejahatannya dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk tidak jadi mewujudkan niatnya tersebut ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada 3 (tiga) macam, yaitu :
1.)                  Menakut-nakuti ;
2.)                  Memperbaiki ; dan
3.)                  Membuat menjadi tidak berdaya.
Maksud menakut-nakuti adalah bahwa pidana tersebut harus dapat memberi rasa takut bagi orang-orang tertentu agar ia tidak mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya. Tapi ada juga orang-orang yang tidak merasa takut untuk mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya, dan pidana yang dijatuhkan terhadap orang seperti ini haruslah yang bersifat dapat memperbaikinya, sedangkan bagi orang-orang yang ternyata tidak dapat lagi diperbaiki maka pidana yang dijatuhkan terhadap penjahat tersebut haruslah yang bersifat menjadikannya tidak berdaya dan/atau bersifat membinasakan. [31]

Ad.3: Teori Gabungan (Vernegings theorien)
Pendukung teori gabungan yang menitikberatkan pada tata-tertib hukum antara lain: Thomas Aquino, dan Vos. Menurut Thomas Aquino, yang menjadi dasar pidana ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana maka harus ada kesalahan pada diri si pelaku, dan kesalahan (schuld) itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang melakukan perbuatan yang dilakukan dengan sukarela inilah yang tiada lain bersifat pembalasan.
Menurut Vos, bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud pidana yang mengandung sifat menjerakan atau menakutkan dengan pelaksanaannya di depan umum yang mengharapkan suggestieve terhadap anggota masyarakat lainnya agar tidak berani melakukan kejahatan lagi. Pelaksanaan yang demikian menurut teori ini memandang pidana sebagai suatu yang terpaksa perlu “noodzakelijk” demi untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.[32]

B. Tinjauan Umum Tentang Transfusi Darah
B.1. Pengertian Dan Tujuan Transfusi Darah
Istilah “transfusi darah” seringkali diartikan secara luas oleh dokter jika yang dimaksudkan mereka adalah transfusi sel darah merah. Keluhan terhadap kelemahan linguistik ini adalah bahwa darah seringkali ditransfusikan tanpa perhatian yang cukup pada kebutuhan spesifik penderita atau terhadap kemungkinan efek  membahayakan dari transfusi.[33]
Pengertian transfusi darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari seseorang (donor) kepada orang lain. Pasal 1 huruf a PP Nomor 18 Tahun 1980 menyebutkan bahwa transfusi darah merupakan tindakan medis memberikan darah kepada penderita, yang darahnya telah tersedia dalam botol atau kantong plastik. Hal ini dilakukan guna meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen, memperbaiki kekebalan tubuh, dan memperbaiki volume darah tubuh. Seseorang yang membutuhkan sejumlah besar darah dalam waktu yang segera, misalnya karena pendarahan hebat dapat menerima darah lengkap untuk membantu memperbaiki volume cairan dan sirkulasinya. Darah lengkap juga dapat diberikan jika komponen darah yang diperlukan tidak dapat diberikan secara terpisah tergantung kepada alasan dilakukannya transfusi, dapat diberikan darah lengkap atau komponen darah (misalnya sel darah merah, trombosit, faktor pembekuan, plasma segar yang dibekukan/bagian cairan darah atau sel darah putih). Komponen darah yang paling sering di transfusikan adalah packed red blood cells (PRC), yang dapat memperbaiki kapasitas pengangkut oksigen dalam darah. Komponen ini dapat diberikan kepada seseorang yang mengalami pendarahan atau penderita anemia berat. Yang jauh lebih mahal daripada PRC adalah frozen-thawed red blood cells, yang biasanya dicadangkan untuk transfusi golongan darah yang jarang.
Jika memungkinkan akan lebih baik jika transfusi yang diberikan hanya terdiri dari komponen darah yang diperlukan oleh resipien. Memberikan komponen tertentu lebih aman dan tidak boros. Tekhnik penyaringan darah sekarang ini sudah jauh lebih baik ,sehingga transfusi lebih aman dibandingkan sebelumnya. Tetapi masih ditemukan adanya resiko untuk resipien seperti reaksi alergi dan infeksi. Meskipun kemungkinan terkena AIDS atau Hepatitis melalui transfusi sudah kecil, tetapi harus tetap waspada akan resiko ini dan sebaliknya transfusi hanya dilakukan jika tidak ada pilihan lain.[34]
Pada transfusi darah, seorang donor menyumbangkan darah lengkap dan seorang resipien menerimanya. Transfusi darah dilakukan tergantung keadaan resipien yang dapat hanya menerima sel dari darah atau hanya menerima faktor pembekuan dan beberapa komponen darah lainnya. Transfusi dari komponen darah tertentu memungkinkan dilakukannya pengobatan yang khusus mengurangi risiko terjadinya efek samping dan dapat secara efisien menggunakan komponen yang berbeda dari satu unit darah untuk mengobati beberapa penderita.
            Transfusi darah yang paling aman adalah dimana donor juga berlaku sebagai resipien, karena hal ini menghilangkan risiko terjadi ketidakcocokan dan penyakit yang ditularkan melalui darah. Kadang jika seorang pasien mengalami pendarahan atau mengalami pembedahan, darah dapat dikumpulkan dan diberikan kembali. Yang lebih sering terjadi adalah pasien menyumbangkan darah yang kemudian akan diberikan lagi dalam suatu transfusi, misalnya sebulan sebelum dilakukannya pembedahan, pasien menyumbangkan beberapa unit darahnya untuk ditransfusikan jika diperlukan selama atau sesudah pembedahan.
            Transfusi darah atau komponennya dapat memperbaiki banyak defisiensi, walaupun kadang-kadang hanya sementara, dan pada sebagian besar kasus, efek ini dapat dicapai tanpa efek yang tidak diharapkan. Walaupun demikian, beberapa jenis ketidakcocokan kadang-kadang dapat menyebabkan masalah. Setiap sel darah merah mempunyai banyak antigen yang berbeda pada permukaan selnya, sehingga sel seorang donor nyata mengandung antigen yang berbeda dari resipien. Disamping itu, plasma donor dapat berisi protein yang merupakan benda asing untuk resipien. Untunglah transfusi sel darah atau plasma yang mengandung antigen asing menyebabkan reaksi langsung hanya jika serum resipien berisi antibodi yang sesuai.[35] Karena begitu pentingnya darah bagi orang lain yang membutuhkan, maka transfusi darah secara klinis telah sangat berkembang.
Adapun beberapa tujuan tranfusi darah adalah:
1)    Memelihara dan mempertahankan kesehatan donor.
2)    Memelihara keadaan biologis darah atau komponen-komponen agar tetap bermanfaat.
3)    Memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal pada peredaran darah atau stabilitas peredaran darah.
4)    Mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah.
5)    Memperbaiki fungsi hemostatis.
6)    Tindakan terapi kasus tertentu.[36]

Beberapa kemajuan di dalam pembangunan kesehatan terutama didalam bidang transfusi darah dimungkinkan akibat tersedianya komponen darah secara luas. Hal tersebut sesuai dengan apa yang menjadi tujuan.  Pembangunan Kesehatan, yaitu tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat optimal, sebagai salah satau unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional. Pengertian sehat dengan demikian meliputi kesehatan jasmani, rohani, serta sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan.[37]

B.2. Prosedur Pengambilan dan Transfusi Darah
Darah untuk transfusi wajib diperiksa terhadap bibit penyakit sifilis (mulai tahun 1972), hepatitis B (1985), HIV AIDS (1992), sedangkan pemeriksaan terhadap bibit penyakit hepatitis C sangat dianjurkan mulai tahun 1995.[38] Setiap UTD-PMI dapat melakukan uji saring darah donor terhadap setiap kantong darah untuk transfusi. Hasil uji saring positif pada tahun 1999-2000 adalah 0,49 % untuk sifilis, 1,78% untuk hepatitis B,0,55% untuk hepatitis C, dan 0,007% untuk HIV. Setiap tahun donor darah mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1969 jumlah darah 28.000 kantong, pada tahun 1999-2000 jumlahnya mencapai 1,1 juta kantong.
Biarpun darah yang disumbangkan donor sukarela tidak dibayar, tetapi agar darah tersebut dapat ditransfusikan harus melalui serangkaian pemeriksaan untuk memastikan darah tersebut layak ditransfusikan. Maka untuk melakukan transfusi darah harus melalui prosedur yang ketat untuk mencegah efek samping (reaksi transfusi) yang dapat timbul. Prosedur itu adalah sebagai berikut :
1)    Penentuan golongan darah A,B,O, dan Rh.Baik donor maupun resipien harus mempunyai golongan darah yang sama.
2)    Pemeriksaan untuk donor terdiri atas :
b)    Penapisan (screening) terhadap antibodi dalam serum donor dengan tes antiglobin indirek (tes Coombs indirek).
c)    Tes serologik untuk hepatitis (B dan C), HIV, Sifilis (VDRL) dan CMV.
3)   Pemeriksaan untuk resipien :
a)    Major side cross match : serum resipien diinkubasikan dengan RBC donor untuk mencari antibodi dalam serum resipien.
b)    Minor side cross match : mencari antibodi dalam serum donor, tujuannya hampir sama dengan prosedur 2a.
4)   Pemeriksaan klerikal (identifikasi) :
Memeriksa dengan teliti dan mencocokkan label darah resipien dan donor. Reaksi transfusi berat sebagian besar timbul akibat kesalahan identifikasi atau klerikal.
5)   Prosedur pemberian darah yaitu :
a)    Hangatkan darah perlahan-lahan.
b)    Catat nadi,tensi,suhu, dan respirasi sebelum transfusi.
c)    Pasang infus dengan infus set darah (memakai alat penyaring).
d)    Pertama diberi larutan NaCl fisiologik.
e)    Pada lima menit pertama pemberian darah-beri tetesan pelan-pelan dan awasi adanya urtikaria, bronkhospasme, rasa tidak enak, menggigil. Selanjutnya awasi tensi, nadi, suhu, dan respirasi.
6)   Kecepatan transfusi yaitu :
a)    Untuk syok hipovolemik---beri tetesan cepat.
b)    Normovolemi---beri 500 ml/6 jam.
c)    Pada anemia Kronik, penyakit jantung  paru diberi tetesan perlahan-lahan 500 ml/24 jam atau beri diuretika (furosemid) sebelum transfusi.[39]

Pemeriksaan darah memerlukan bahan (reagensia) dan perlengkapan (sebagian besar sekali pakai seperti kantong darah, yellow tip, dll). Reagensia sekali pakai, seperti penggolongan darah A,B,O dan Rhesus, bahan pemeriksaan kadar hemoglobin calon donor, reagensia uji saring darah dan uji cocok serasi. Perkiraan minimal biaya pengganti pengolahan darah perkantong sekitar Rp.106.000.
Sebaiknya unit donor diusahakan sama dengan golongan A,B,O, dan Rh penderita. Tidak perlu melakukan penggolongan kembali A,B,O dan Rh unit donor, karena sudah dilakukan dipusat transfusi regional (bersama uji penyaringan antibodi sederhana). Tidaklah berguna untuk memilih golongan darah O bagi penderita yang bukan bergolongan darah O, sebaliknya penderita golongan AB dapat ditransfusikan dengan golongan darah A atau B, jika sebagian besar plasma dikeluarkan dari unitnya. Jika penggolongan dan penyaringan telah dilakukan, maka tujuan utama pencocokan silang adalah memastikan kecocokan ABO antara unit donor dan resipien.[40]
Langkah terakhir pada transfusi darah yang aman, adalah memeriksa (di antara dua orang) informasi dalam formulir permintaan transfusi, label kecocokan, label pada unit daerah, catatan penderita, dan gelang identifikasi penderita, di tempat tidur penderita atau di ruang bedah, dan hasilnya harus cocok. Jika terdapat keraguan atau penyimpangan transfusi harus ditunda sampai penyimpangan diatasi. Nomor pendonoran, golongan darah, dan tanggal kaduluarsa setiap unit darah yang di transfusikan  harus di masukkan dalam catatan penderita segera setelah transfusi di jalankan. Inilah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa ketepatan pemberian setiap unit darah diketahui. Jika terjadi reaksi merugikan, maka pusat transfusi regional tidak akan mengalami kesulitan dalam melacak donor jika nomor pendonoran diketahui.[41]

B.3. Syarat-syarat Teknis Menjadi Donor
            Pasal 1 huruf d PP Nomor 18 Tahun 1980 menyatakan bahwa penyumbang darah (donor) adalah semua orang yang memberikan darah untuk maksud dan tujuan transfusi darah. Sebelum dilakukan  transfusi, terlebih dahulu penyumbang darah (donor) disaring keadaan kesehatannya. Denyut nadi, tekanan darah dan suhu tubuhnya diukur, dan contoh darahnya di periksa untuk mengetahui adanya anemia dan donor tidak pernah dan sedang menderita keadaan tertentu yang menyebabkan darah mereka tidak memenuhi syarat untuk disumbangkan. Dan keadaan yang dimaksud adalah hepatitis, penyakit jantung, kanker (kecuali bentuk tertentu misalnya kanker kulit yang terlokalisasi), asma yang berat, malaria, kelainan pendarahan, AIDS dan kemungkinan tercemar oleh virus AIDS.
            Biasanya donor tidak di perbolehkan menyumbangkan darahnya lebih dari satu  kali setiap dua bulan. Untuk yang memenuhi syarat tersebut, penyumbang darah (donor) dapat melakukan transfusi darah. Keseluruhan proses membutuhkan waktu sekitar satu jam, pengambilan darahnya sendiri hanya membutuhkan waktu 10 menit. Biasanya ada sedikit rasa nyeri pada saat jarum dimasukkan, tetapi setelah itu rasa nyeri akan hilang. Standard unit pengambilan darah hanya sekitar 0,48 liter. Darah segar yang diambil, disimpan dalam kantong plastik yang sudah mengandung bahan pengawet dan komponen anti pembekuan. Sejumlah kecil contoh darah dari penyumbang di periksa untuk mencari adanya penyakit infeksi seperti AIDS, hepatitis virus dan sifilis. Darah yang didinginkan dapat digunakan dalam waktu selama 42 hari.
            Pada keadaan tertentu , misalnya mengawetkan golongan darah yang jarang seperti sel darah merah yang dapat di bekukan dan disimpan sampai selama 10 tahun. Karena transfusi darah yang tidak cocok dengan resipien dapat berbahaya, maka darah yang di sumbangkan, secara rutin digolongkan berdasarkan jenisnya, apakah golongan darah A, B, AB, atau O dan Rh-positif atau Rh-negatif.[42] Sebagai tindakan pencegahan berikutnya, sebelum memulai transfusi maka ada beberapa syarat tekhnis yang harus dipenuhi oleh seorang penyumbang darah (donor) yaitu :
1.    Umur 17-60 tahun
      (pada usia 17 tahun diperbolehkan menjadi donor darah bila mendapat ijin tertulis dari orangtua sampai usia tahun donor masih dapat menyumbangkan darahnya dengan jarak penyumbangan 3 bulan atas pertimbangan dokter).
2.    Berat badan minimum 45kg
3.    Temperatur tubuh : 36,6-37,5o C (oral)
4.    Tekanan darah baik,yaitu:
Sistole = 110-160 mm Hg
Diastole = 70-100 mm Hg.
5.    Denyut nadi ; Teratur 50 -100 kali/menit.
6.    Hemoglobin
Wanita minimal = 12 gr %.
Pria minimal = 12,5 gr %.
7.    Jumlah penyumbangan pertahun paling banyak 5 kali, dengan jarak penyumbangan sekurang-kurangnya 3 bulan. Keadaan ini harus sesuai dengan keadaan umum donor.[43]
   
Jadi untuk menyiapkan darah transfusi dengan tingkat keamanan yang terjamin diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM), pelayanan laboratorium dan biaya yang memadai. Jika semua keperluan tersebut  dipenuhi disertai pelaksanaan prosedur  baku yang sempurna, maka dipastikan tidak akan ada orang yang akan tertular HIV atau penyakit lainnya melalui transfusi darah.[44]



[1] Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, alinea 1-3
[2]Ibid, alinea 4
[3] Bahder Johan Nasution, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, hal.3
[4] M.Jusuf Hanafiah & Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran &Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran, Edisi Ketiga, Jakarta, hal.29
[5] Bahder Johan Nasution, Op.Cit  hal.4
[6] Palang Merah Indonesia, http://www.utdd-pmijateng. blogspot.com/2007/08/ pengertian_tranfusi_darah.
[7] Asep Purnama, HIV dan Transfusi Darah Di Indonesia, http://rsudtchillers.com/ rsud/?p=9
[8] Ibid
[9] Penjelasan Umum Peraturan pemerintah Nomor 18 Tahun 1980  tentang Transfusi Darah, alinea 4
[10] Ibid, alinea 5
[11] Darwan Prints, 1997, Hukum Anak Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.23.
[12] Barda Nawawi Arif dan Muladi, 1992, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal.2.
[13] R. Atang Ranoemihardja, 1984, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, hal.120-122.
            [14] Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. Raja Grafindo Persada ; Jakarta, hal.24.
[15] Ibid,
[16] R. Atang Ranoemihardja, Op. Cit, hal.133
[17] Ibid
[18] Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, hal.100. 
[19] Roeslan Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, hal.2.
[20] Ibid hal 3
[21] Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.39.
            [22] Dirdjosisworo, Soedjono & O.C. Kaligis, 2006 Narkoba & Peradilannya di Indonesia (Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan), O.C.Kaligis & Associates; Jakarta   hal. 25.
[23] R. Atang Ranoemihardja, Op. Cit, hal.133.
[24] P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hal. 23.
            [25] J.E.Sahetapy dalam buku Siswanto Sunarso, 2005, Penegakan Hukum Psikotropika (Dalam Kajian Sosiologi Hukum), Raja Grafindo; Jakarta.
            [26] Roeslan Saleh, Op.Cit, hal. 26.
            [27] Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 26.
            [28] Ibid, hal.154.
            [29] Ibid, hal.158.
            [30] Ibid,
            [31] Ibid, hal 160
[32] Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.29.
[33] Sally C Darvies dan Milica Brozovic, Transfusi Sel Darah Merah, dalam Majalah Petunjuk Penting Transfusi , Penerbit Buku Kedokteran, Edisi Kedua, hal.9.  
[34] Palang Merah Indonesia, http://www.indonesiaindonesia.com/f/13695-transfusi-darah/
[35] Marcela Contreras & P.L.Mollison, Penyulit Imunologis Pada Transfusi, Dalam Majalah Petunjuk Penting Transfusi, Penerbit Buku Kedokteran, Edisi Kedua, hal.44
[36] Palang Merah Indonesia, http://utdd-pmijateng.blogspot, Op.Cit.
[37] Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional, Simposium Hukum Kedokteran, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, hal.147
[38] Asep Purnama, http://rsudtchillers, Op.Cit.
[39] Palang Merah Indonesia, http://www.indonesiaindonesia, Op.Cit.
[40] Marcella Contreras & P.I.Mollison, Uji Sebelum Transfusi Dan Kebijakan Pemesanan Darah,  Petunjuk Penting Transfusi, Penerbit Buku Kedokteran, Edisi Kedua, hal.7
[41] Ibid, hal.7
[42] Palang Merah Indonesia, http://www.indonesiaindonesia, Op.Cit.
[43] Palang Merah Indonesia, http://www.palangmerah.org/pelayanan­­_transfusi.asp.
[44] Asep Purnama, http://rsudtchillers, Op.Cit.