BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1.
Latar belakang masalah
Dewasa
ini berbagai peristiwa yang terjadi cukup kiranya untuk menggambarkan bahwa
diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya di jumpai di Novel, Sinetron,
negeri seberang, atau negeri antah berantah, tetapi juga banyak terjadi di Indonesia.[1]
Keberadaan perempuan sering di golongkan dalam Second Class Citizens (warga
negara golongan dua), makin terpuruk dengan adanya berbagai peristiwa yang
menciptakan banyak korban dari golongan perempuan baik fisik, psikologis,
maupun ekonomi.[2]
Sebagian
besar masyarakat Indonesia
tidak menyadari bahwa nilai budaya dan nilai sosial yang berlaku di Indonesia saat ini telah memarijinalkan peranan
perempuan di Indonesia dan
secara khusus dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), telah mendiskriminasikan
perempuan di Indonesia.
Masalah perbedaan antara laki- laki dan perempuan di Indonesia, banyak di benturkan
dengan masalah-masalah budaya dan agama, dengan menekan pada banyaknya
perbedaan sudut pandang. Meniadakan diskriminasi membutuhkan kesetaraan gender(Gender Equality) atau
pandangan bahwa perempuan dan laki- laki memiliki akses dan kesempatan yang
sama di segala bidang kesetaraan gender lebih berarti negara melakukan
tindakan untuk memberikan kesempatan dan hak yang sama bagi laki- laki dan
perempuan.
Persamaan
dalam pekerjaan dapat terhambat secara serius jika perempuan menjadi sasaran
kekerasan yang berbasis gender. Pelecehan seksual di tempat kerja adalah
perbuatan seksual yang tidak menyenangkan bagi perempuan dalam tingkah laku,
seperti ajakan cumbuan, kontak fisik, bahkan sampai tuntutan seks. Tindakan
seperti itu adalah suatu penghinaan dan menciptakan suasana kerja yang tidak
sehat. Perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual menjadi takut untuk
bekerja misalnya. Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan sebagaimana
hasil Konfrensi Perempuan Sedunia IV di
Beijing 1995, istilah kekerasan terhadap perempuan(Violence Against Women),
diartikan sebagai kekerasan yang dilakukan berdasarkan gender(gender based
violence).[3]
Kekerasan
terhadap perempuan tidak hanya terjadi di luar saja, tetapi juga sering terjadi
di lingkungan terdekatnya. Ada
tiga wilayah utama tempat terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yaitu:
didalam keluarga(domestic violence), di lingkungan komunitas dan tempat
umum serta tempat kerja, kekerasan berbasis gender yang terjadi di tiga wialyah
ini disebut non domestik violence.[4]
Di
Inggris kekerasan suami terhadap istri berawal dari Common Law
Inggris(1896), yang memberikan kekuasan dengan cara menggunakan tongkat, yang
disebut dengan”Rule Of Thumb”, yaitu suami boleh memukul istri dengan
tongkat yang tidak lebih besar dari ibu jari.[5]
Masalah
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), ini awal dianggap sebagai masalah intern
dalam rumah tangga. Namun dalam perkembangannya masalah ini tidak dapat
dianggap lagi sebagai masalah privat, dan ini menjadi permasalahan umum yang
dapat di bicarakan oleh siapa saja. Hal ini karena masyarakat sekarang telah
semakin peka terhadap tindak kekerasan, ini terbukti dengan munculnya asosiasi
dan gerakan perempuan, yang ingin
mengungkapkan tabir KDRT dan juga untuk menyampaikan permasalahan wanita
yang teraniaya secara terbuka.
Wanita
yang kerap kali menjadi obyek KDRT yang
di lakukan oleh suaminya, selama ini cenderung menutupi segala perlakuan kasar
yang di terimanya baik secara psikis, seksual, maupun ekonomi”kebisuan”, ini
semata terjadi karena rasa takut, tidak terlindungi oleh hukum dan undang-
undang. Apalagi bila masalah sampai kepersidangan, hakim yang mengacu pada
kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), memberi ancaman pidana dan denda yang
ringan, sehingga tidak membuat ada beberapa hal yang menyebabkan kesulitan yang
menyeret pelaku KDRT ke meja hijau. Hal ini tentu saja mendatangkan kekecewaan
dan kerugian pada pihak wanita sebagai pihak yang di rugikan secara fisk dan
mental.
Kini
telah lahir undang-undang baru yang mengatur tentang KDRT, yaitu undang-undang
No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Lahirnya UU PKDRT ini adalah sebuah perjalanan panjang yang merupakan gagasan
para aktivitas perempuan yang selama ini mendampingi korban KDRT. Para aktivis
perempuan sudah memperjuangkan undang- undang ini sejak tahun 1997 yang ketika
itu melalui berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam
koalisi perempuan, mereka bertekad membidani lahirnya UU yang melindungi
kaumnya dari kekerasan laki-laki[6].
Undang-undang ini juga
mendorong kaumnya yang menjadi saksi KDRT agar melaporkan kekerasan ini kepada
pihak yang berwajib.
Undang-undang
No.23 tahun 2004 ini di sahkan pada tanggal 22 September 2004 yang terdiri atas
10 Bab dan 56 Pasal itu mengadopsi berbagai kekerasan yang sering dialami
wanita, juga secara terperinci mengatur tentang hak-hak korban KDRT, siapa saja
yang di lindungi, sanksi hukum, perlindungan,
bahkan kewajiban masyarakat dan pemerintah terhadap korban KDRT.
Dari gambaran isi UU PKDRT tersebut, wanita yang sering
menjadi korban KDRT harus mengerti bahwa kini telah ada hukum yang menjamin
hak- hak mereka, sehingga kekerasan yang terjadi pada wanita karena dominanya
karakter maskulin para pria yang berakibat wanita
terpinggirkan dan tidak dapat mengambil keputusan tidak lagi terjadi. Namun,
tentu saja kehadiran undang- undang ini yang terkesan “membela” kaum wanita ini
bukan di tujukan untuk meningkatkan terjadinya perceraian atau ancaman
keselamatan diri.
Negara
Indonesia
adalah negara hukum, hal ini bermakna bahwa hukum merupakan urat nadi seluruh
aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan
masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem dapat berperan
dengan baik dan benar di tengah- tengah masyarakat, jika instrumen
pelaksanaannya di lengkapi dengan kewenangan dalam bidang penegakkan hukum.
Rumah
aman (sinceritas) merupakan satu unit Program dari Perkumpulan Sada Ahmo
(PESADA), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal di Sumatera Utara.
Pesada di dirikan September 2004 lalu di Medan, namun pendampingannya juga ada
di Kabupaten Dairi, Humbang Hasundutan, Pak-pak Barat dan Nias. Selain Rumah
aman lainnya yang ada di Medan
adalah rumah aman Cahaya Perempuan dan Dicenter Pusat Pelayanan Anak (Dic
PUSPA).[7]
Di
Medan ada 3 LSM yang aktif mendampingi perempuan KDRT yaitu LSM Perkumpulan
Sado Ahmo(PESADA), yang mengoperasikan Rumah aman sinceritas, rumah aman cahaya
perempuan dan LSM pusat kajian dan perlindungan anak (PKPA) Medan, yang
mengoperasikan Drop in Center Informasi dan pengaduan anak (DiC PUSPA
PKPA). DiC PUSPA PKPA, sendiri lebih focus untuk menangani kasus- kasus anak.
Dalam
perkembangannya, rumah aman mampu memainkan perannya sebagai media untuk
membantu permasalahan- permasalahan kekerasan yang di alami oleh perempuan.
Lewat rumah aman, sosialisasi dan pendampinganpun di jalankan. Segala
permasalahan korban di upayakan untuk di cari jalan keluar yang terbaik.
Jika
ada dari korban yang ingin melanjutkan kasusnya ke Polisi dan Pengadilan, maka
rumah aman memberikan pendampingan hukum. Jika bermasalah dengan kejiwaan dan
kesehatan, rumah aman menyediakan bimbingan Psikiater dan Medis. Namun sejauh
ini masih ada juga ditemui seorang istri mengalami kekerasan dalam rumah tangga
yang dilakukan umumnya oleh para suami mereka. Untuk itu diharapkan dengan
adanya rumah aman setiap suami tidak lagi melakukan KDRT. Sehubungan dengan kemungkinan adanya KDRT
yang dilakukan oleh suami kepada istri, maka penulis tertarik untuk meneliti
tentang advokasi yang telah dilakukan oleh LSM Pesada dan hambatan-hambatan
advokasi tersebut.
2.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan
dirumuskan sebagai berikut :
1) Bagaimanakah Advokasi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Pesatuan Sada Ahmo (PESADA), terhadap korban kekerasan dalam
rumah tangga dalam proses Non Litigasi, ditinjau dari UU Kekerasan Dalam Rumah
Tangga No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
2) Apa
hambatan-hambatan yang di hadapi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Pesatuan Sada
Ahmo, dalam mendampingi korban kekerasan dalam rumah tangga, pada proses Non
Litigasi?
3.
Keaslian Penelitian
Menurut Pengetahuan penulis, penelitian ini belum pernah di teliti di LSM PESADA, oleh karena itu judul dan materi Skripsi ini merupakan ide dan tulisan asli penulis.
4.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk :
1. Memperluas wawasan penulis tentang advokasi
lembaga swadaya masyarakat pesada terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
2. Sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi paar
akademis hukum, prakstisi hukum, penegak hukum, serta pemerintah.
B.
Tujuan penelitian
Adapun Tujuan Penelitian
ini adalah :
1. Untuk mengetahui Advokasi yang di lakukan oleh LSM,
PESADA, terhadap KDRT. Ditinjau dari UU PKDRT
2. Untuk mengetahui hambatan- hambatan yang dihadapi oleh
LSM, PESADA, dalam mendampingi KDRT dalam proses Non Litigasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Advokasi
1. Pengertian
advokasi
Kata
“advokasi” sering didengar, bahkan secara tidak sadar masyarakat atau
sekelompok masyarakat telah melakukan kegiatan advokasi baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan orang banyak. Kata dasar advokasi adalah
Advokat yang berasal Bahasa Latin yaitu”Advokatus” artinya seorang ahli
hukum atau memberikan bantuan hukum atau pertolongan dalam masalah hukum.
Bantuan atau pertolongan ini bersifat memberikan nasihat berupa jasa,
perkembangannya kemudian dapat di mintai oleh siapapun yang memerlukan,
membutuhkannya untuk beracara dalam hukum[8].
Jika kata advokasi di terjemahkan dari Bahasa Inggris, maka advocacy,
yang berarti mempertahankan atau membela
(to defend), yang juga “memajukan” atau mengemukakan(to promote),
kata lain dari advokasi juga dapat di artikan melakukan suatu perubahan(to
change), secara terorganisir dan sistematis.[9]
Definisi yang baku
mengenai pengertian advokasi belum ada, tetapi bila di amati dari pola tindakan
atau gerakkan yang dilakukan, gerakan advokasi itu dapat di katakan berupa
tindakan- tindakan pendampingan, penekanan, dan tindakan mempengaruhi.[10]
Pengertian
advokasi juga dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat, kegiatan tersebut bersifat kontiniu, terarah dan terkordinasi untuk
merubah sesuatu kebijakan agar hak-hak dapat ditegakkan kearah yang lebih
demokratis dengan struktur sosial yang lebih adil.[11]
2. Bentuk-
bentuk advokasi
Dari pengertian Advokasi tersebut dapat
ditegaskan, bahwa tindakan atau kegiatan advokasi itu dapat berbentuk Litigasi
dan Non Litigasi.
a.
Litigasi
Penanganan perkara melalui pengadilan
(litigasi), yaitu proses perkara di lakukan sesuai dengan jalur hukum,
Perlindungan hukum terhadap korban KDRT dapat di lakukan dalam bentuk advokasi
secara litigasi pada tahap :
1. Pemeriksaan
Penyidik.
2. Tingkat
Penuntutan.
3. Proses
Peradilan.
4. Lembaga
Pemasyarakatan[12]
Ad.1 Pemeriksaan Penyidik.
Dalam Advokasi
penanganan dan perlindungan hukum bagi korban KDRT, dapat di berikan melalui
Penyidik yang tujuannya agar Penyidk tidak salah dalam memberikan bantuan hukum
dan perlindungan hukum terhadap korban perlindungan rumah tangga. Menurut Pasal
1 butir (1) KUHAP Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat
Pegawai Sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh Undang- undang untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
Tugas penyidik yang berhubungan langsung dengan segi penegakan hak-hak korban
KDRT dapat berupa penangkapan dan penahanan terhadap sipelaku
korban KDRT.
Ad 2. Tingkat Penuntutan.
Advokasi berupa penanganan dan perlindungan
hukum bagi korban KDRT dapat diberikan pada tahap penuntutan. Tujuannya agar
Penuntut Umum tidak salah dalam memberikan tuntutan bagi terdakwa. Korban KDRT
menurut Pasal 1 butir (7) KUHAP menyebutkan bahwa: “Penuntutan adalah
menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana dengan jalan menyerahkan
perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian
memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa”.
Penuntutan di lakukan oleh Penuntut umum
sebagaimana diatur dalam KUHAP pasal 1 butir 6 (b), bahwa Penuntut umum adalah
jaksa yang di beri wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim, sedangkan jaksa adalah Pejabat yang diberi
wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(pasal 1 butir 6 (a) KUHAP).
Ad.
3. Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam
Advokasi penanganan dan perlindungan hukum bagi korban KDRT, dapat diberikan
melalui lembaga pemasyarakatan. Tujuannya agar lembaga pemasyarakatan
memberikan pembinaan terhadap korban KDRT yang telah diputus oleh hakim berupa
pemindanaan.
b.
Non
litigasi
Non Litigasi yaitu
penanganan perkara yang dilakukan di luar pengadilan. Perlindungan hukum
terhadap KDRT dalam bentuk advokasi secara Non Litigasi , dapat dilakukan
dengan melihat terlebih dahulu sasaran advokasi yaitu :
a) KDRT.
b) Pendampingan
Hukum.
c) Aparat
Hukum.
d) Masyarakat.
e) Kebijakan
Hukum[13]
Ad.1. KDRT
Dalam Advokasi
penanganan dan perlindungan bagi para korban yang secara langsung diberikan
kepada korban KDRT, berupa:
a) Penyuluhan hukum pada tingkat perlindungan (Shelter),
yang bertujuan agar korban KDRT mendapat bantuan hukum.
b) Penerbitan
produk buku saku.
c) Melakukan seminar- seminar terbuka tentang KDRT.
Ad.2. Pendampingan KDRT
Dalam Advokasi
penanganan dan perlindungan hukum bagi para korban KDRT dapat diberikan melalui
pendampingan korban KDRT, yang nantinya akan bertugas untuk melindungi para
korban yang diberikan pengetahuan tentang bagaimana cara pendampingan korban.
Ad.3.
Aparat Hukum/Pemerintah.
Advokasi penanganan dan perlindungan hukum
bagi korban dapat di berikan melalui aparat hukum atau pemerintah yang
tujuannya agar aparat hukum atau pemerintah tidak salah dalam memberikan
bantuan dan perlindungan hukum bagi korban KDRT berupa:
a) Seminar
yang bertujuan untuk membangun pemahaman positif tentang KDRT, sehingga aparat
hukum atau pemerintah paham dan mengerti tentang korban KDRT, sehingga hak-hak
KDRT dapat di lindungi.
b) Membangun
kordinasi yang tujuannya agar aparat hukum atau pemerintah dapat berkoordinasi
dengan lembaga Advokasi atau lembaga bantuan hukum dan lembaga swadaya
masyarakat di bidang perempuan dan anak, sehingga apabila ada korban KDRT yang
mengalami KDRT yang dilakukan oleh suami, aparat hukum langsung dapat
menghubungi lembaga bantuan hukum yang berhubungan dengan advokasi di bidang
perempuan dan anak, sehingga korban mendapat pendampingan hukum dan tidak
merasa tertekan akibat keadaan tersebut.
Ad.
4. Masyarakat.
Advokasi penanganan dan perlindungan hukum
bagi korban KDRT dapat diberikan melalui masyarakat dengan memberikan bantuan
dan perlindungan bagi para korban KDRT dengan cara :
a) Melakukan
kampanye stop KDRT yang bertujuan untuk mengurangi tindakan kekerasan yang di
lakukan oleh suami ataupun masyarakat.
b) Melakukan
diskusi komunitas yang bertujuan membangun image positif dari masyarakat dalam
penanganan KDRT yang bertujuan agar masyarakat sadar bahwa masalah KDRT
merupakan tanggung jawab bersama.
Ad.5.
Kebijakan Hukum.
Advokasi penanganan dan perlindungan hukum
bagi korban KDRT dapat diberikan melalui kebijakan hukum dengan memberikan
bantuan hukum dan perlindungan bagi korban KDRT, yang dapat di lakukan sebagai
berikut :
a) Melakukan
Revisi Undang-undang, melakukan analisa terhadap kebijakan hukum tentang korban
KDRT yang bertujuan agar kebijakan tersebut dapat melindungi kepentingan korban
KDRT.
b) Mendorong
lahirnya suatu Peraturan Daerah (PERDA) tentang perlindungan korban KDRT, yang
bertujuan agar kebijakan tersebut dapat melindungi dan menguntungan hak-hak
korban KDRT dan kepentingan korban.
B. Tinjauan Umum Tentang KDRT
Arti “Kekerasan”
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi 3.2002) adalah:
a. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang orang lain;
b. Paksaan.
Berdasarkan
penjelasan ini, kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik
yang menyebabkan luka, cacat, sakit, atau penderitaan, pada orang lain. Salah
satu unsur yang perlu di perhatikan adalah berupa paksaan atau ketidak relaan
atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai.
Kejahatan kekerasan atau Violent Crime menurut
Nettler adalah sebagai peristiwa dimana orang secara illegal dan secara sengaja
melukai secara fisik, atau mengancam untuk melakukan tindakan kekerasan kepada
orang lain, dimana bentuk-bentuk penganiayaan, perampokan, perkosaan, dan pembunuhan merupakan contoh klasik dari
kejahatan kekerasan yang serius.[14]
Menurut Mansour Faqih kata ”kekerasan” disini
sebagai padanan dari kata”Violence” dalam Bahasa Inggris, meskipun
keduanya memiliki konsep yang berbeda, kata ‘Vialence’ diartikan sebagai
suatu serangan atau invasi (assault)
terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Sedangkan kata
kekerasan dalam bahasa Indonesia terhadap sesama manusia ini sumbernya maupun
alasannya bermacam-macam, seperti politik, keyakinan, keagamaan, bahkan rasisme[15]
Istilah
kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) seperti perkelahian, atau
tertutup (covert) seperti perilaku
mengancam, dan baik yang bersifat menyerang (offensive), yaitu kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan
tapi untuk mendapatkan sesuatu, dan yang bersifat bertahan (defensive) yaitu kekerasan yang
dilakukan untuk mempertahankan diri yang disertai penggunaan kekuatan kepada
orang lain.[16] Dimana
perilaku mengancam lebih menonjol dari kekerasan terbuka dan kekerasan defesit
menonjol dari kekerasan agresif.[17]
Kekerasan
mengilustrasikan sifat aturan sosial, pelanggaran aturan, dan reaksi sosial
terhadap pelanggaran aturan yang kompleks dan seringkali bertentangan. Pada
dasarnya perbuatan kekerasaan dimaksudkan untuk memaksakan kehendak si pelaku
yang bertentangan dengan keinginan orang lain, sehingga dapat dibedakan antara
kekerasan yang sah dengan kekerasan yang tidak sah.
1. Pengertian tentang KDRT menurut UU PKDRT
Dalam
halnya kekerasaan terhadap perempuan, Harkristuti Harkrisnowo mengutip Schuler,
mendefenisikan kekerasaan terhadap perempuan sebagai kekerasaan yang diarahkan
terhadap perempuan hanya karena mereka perempuan (any violence act perpetrated on women because they are women).[18]
Adapun kekerasaan terhadap perempuan secara khusus dapat digambarkan menjadi:
a. Kekerasaan dalam area domestik/ hubungan intim. Berbagai
bentuk kekerasaan yang terjadi dalam lingkungan keluarga, dimana pelakunya
adalah orang yang memiliki kedekatan dengan korban
b. Kekerasaan dalam area publik. Kekerasaan yang terjadi di
luar hubungan keluarga atau hubungan personal lainnya, sehingga meliputi
kekerasaan yang bersifat sangat luas, baik yang terjadi dalam lingkungan kerja
(termasuk untuk kerja-kerja domestik seperti babby sister, pembantu rumah
tangga), tempat umum, maupun bentuk-bentuk lain
c. Kekerasaan yang dilakukan oleh/ dalam lingkungan negara.
Kekerasaan secara fisik, seksual, dan/atau psikologis yang dilakukan,
dibenarkan atau didiamkan terjadi oleh negara dimanapun terjadinya, misalnya
pelanggaran hak asasi manusia dalam pertentangan antara kelompok.
Berkaitan
dengan kekerasaan terhadap perempuan yang terancam dalam point a, yaitu
kekerasan dalam rumah tangga yang pada umumnya merupakan kekerasaan yang
berbasis gender dengan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan
mendapatkan hak-hak kebebasan yang setara dengan laki-laki. Kekerasaan justru
mengancam kaum perempuan yang secara langsung berkaitan dengan identitas
seksualitasnya sebagai perempuan.
Menurut
UU PKDRT pasal 1 ayat (1) kekerasan dalam rumah tangga adalah: “setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasaan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga”.
Gelles
mendefinisikan KDRT (family violence) sebagai “seseorang yang melakukan tindakan pemukulan,
menampar, menyiksa, menganiaya, ataupun melempar benda-benda kepada orang lain”
yang menjadi pokok persoalan yang menyangkut KDRT. Adapun Lisa Fredman
menggunakan istilah KDRT ini pada bentuk kekerasaan yang berhubungan antara
suami atau istri yang satu diantaranya bisa menjadi korban tetapi pada kenyataannya
secara umum perempuan lebih cenderung menjadi korban (istri, anak, maupun
pasangan).[19]
2. Batasan-batasan KDRT menurut UU PKDRT
Tentang penghapusan KDRT adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Larangan melakukan KDRT meliputi sebagai berikut:
1. Kekerasan Fisik yaitu: perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat (pasal 6 UU PKDRT). Kekerasan
fisik ini sering diikuti dengan kekerasan seksual. Baik berupa serangan kealat
seksual maupun berupa persetubuhan paksa (perkosaan). Dalam UU ini disebutkan
bahwa orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam rumah tangga seperti
yang yang disebut dalam pasal 5. Akan dipidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun, atau denda paling banyak lima belas juta rupiah (pasal 44 ayat (1) jika
mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat dipidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak tiga puluh juta rupiah (pasal 44
ayat (2), dan jika menyebabkan kematian dipidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun, atau denda paling banyak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan akan dipidana penjara lama 4 (empat) bulan, atau denda paling
banyak lima juta rupiah (pasal 45 ayat (4).
2. Kekerasaan
psikis, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang (pasal 7 UU PKDRT).
Kadar
emosi seseorang sangat berbeda sehingga akibatnya yang timbul pada kekerasaan
psikis sangat sulit diukur. Kekerasan psikis sebenarnya berdampak lebih
menyakitkan dari pada kekerasan fisik. Namun ada juga yang berpendapat bahwa
kekerasan fisik jauh lebih menyakitkan dari pada kekerasan psikis, karena
sekalipun kekerasan psikis dapat merusak kehormatan seseorang, merusak
keseimbangan jiwa, dan melukai harga diri seseorang, namun tidak dapat melukai
organ tubuh dan menyebabkan kematian pada seseorang dan juga kekerasan mudah
diukur dan dipelajari dari pada kekerasan psikis yang membuat seseorang merasa dilecehkan,
sekalipun kekerasan psikis tidak bisa di kurangi kadarnya. Jika seseorang
melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangganya maka akan
dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, atau denda paling banyak sembilan
juta rupiah (pasal 45 ayat (1)), namun jika tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian, atau
kegiatan sehari-hari akan dipidana penjara paling lama 4 (empat) bulan, atau
denda paling banyak tiga juta rupiah (pasal 45 ayat (2))
3. Kekerasan Seksual, menurut UU No.23 tahun 2004 yaitu :
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
yang menetapkan dalam lingkungan rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang
lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
Orang
yang melakukan perbuatan seksual seperti yang disebutkan dalam pasal 8 hurup
(a) dipidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, atau denda paling banyak
tiga puluh enam juta rupiah (pasal 46). Setiap orang yang memaksa orang yang
menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 hurup b di pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, dan di
pidana penjara paling lama selama 15 (lima belas) tahun, atau denda paling
sedikit dua belas juta rupiah dan paling banyak tiga ratus rupiah (pasal 47).
Dalam ketentuan ini kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain dengan tujuan komersial atau
tujuan tertentu (penjelasan pasal 8 UU PKDRT). Kekerasan seksual itu merupakan
istilah yang menunjuk pada perilaku seksual Deviatif atau hubungan seksual yang
menyimpang, dan merugikan pihak korban.
4. Penelantaran
rumah tangga, yaitu orang yang menelantarkan orang dalam ruang lingkup rumah
tangganya padahal ia wajib memberi kehidupan , perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut (pasal 9 UU PKDRT). Dimana penelataran itu juga berlaku
bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah
tangga, sehingga korban melakukan penelantaran rumah tangga sebagaimana disebut
dalam pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) di pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak lima belas juta rupiah (pasal 2 aya (9).
Dalam
soal memberikan perlindungan, UU PKDRT ini tergolong Konprehensif, karena
sebagian pasal dalam UU ini berupa delik umum, siapapun bisa mengadukan KDRT
yang mereka lihat. Khususnya untuk kekerasan seksual untuk suami dan istri, UU
menetapkan sebagai delik aduan, artinya hanya bisa diproses hukum jika ada
pengaduan dari korban.
Dalam
UU ini disebutkan orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam rumah
tangga seperti yang disebutkan dalam pasal 5, akan dipidana penjara paling lama
5 (lima) tahun, atau denda paling banyak lima belas juta rupiah (pasal 144 ayat
(1), jika mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat dipidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau denda paling banyak tiga puluh juta rupiah
(pasal 44 ayat (2), dan jika menyebabkan kematian dipidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun, atau denda paling banyak empat puluh lima juta rupiah
(pasal 44 ayat(3).
4. Pelaku Tindak Pidana KDRT
Seorang
pelaku tindak pidana KDRT sulit di identifikasi, tetapi pelaku adalah orang
dekat yang dikenal oleh korban. Laki- laki yang di luar tampil sebagai sosok
yang baik hati, di rumah dia adalah seorang yang sering melakukan tindakan
kejam. Pelaku dapat berasal dari berbagai golongan, suku, ras, bangsa, agama,
kelas sosial, dan usia, pelaku tindak KDRT bisa seorang suami, ayah, ibu,
istri, anak, pembantu rumah tangga, baby sister, dan mereka yang berada dalam
lingkup rumah tangga tersebut. Namun yang sering menjadi pelaku dalam kasus KDRT
lazimnya adalah seorang laki- laki atau suami. Kekerasan terhadap istri mengungkapkan bahwa laki- laki
yang melakukan hal tersebut dikarenakan :
1) Kepercayaan diri dan kemampuan berkomunikasi rendah;
2) Sulit
mempercayai orang lain;
3) Pecemburu;
4) Selalu
merasa tidak nyaman;
5) Banyak diperlakukan kejam semasa kanak- kanak;
6) Memperlihatkan perubahan kepribadian yang besar. Misalnya
bersikap baik terhadap orang lain (terkadang terhadap korban), namun pada saat
yang lain bersikap kejam dan ganas.[20]
Pelaku
kekerasan selalu menolak bertanggungjawab bahkan mengkambinghitamkan korban
sebagai pemicu keributan yang diakhiri dengan terjadinya kekerasan. Pelaku juga
menyalahkan beratnya pekerjaan, pengaruh alkohol, menganggur, dan stress adalah
penyebab mereka melakukan kekerasan. Kadang -kadang pelaku merasa menyesal
karena menganiaya istrinya. Mereka bahkan menangis dan juga sering berjanji
tidak akan mengulangi tindakan kejamnya lagi. Tetapi itu hanya sesaat,
kemarahan yang meledak menyebabkan terjadinya lagi tindakan kekerasan, dan itu
terus saja berulang-ulang, dan membentuk suatu lingkaran yang tidak pernah
terputus sampai korban melaporkan perbuatan pelaku. Lazimnya pelaku kekerasan
mempunyai status dan kekuasaan yang lebih besar dari segi ekonomi, kekuatan
fisik maupun status sosial dalam keluar. Karena posisinya yang khusus itu
pelaku kerap kali memaksa kehendaknya untuk diikuti oleh orang lain.Untuk
mencapai keinginanya, pelaku akan menggunakan berbagai cara, bila perlu dengan
cara kekerasan.
Berbagai
bentuk dan tindakan yang dilakukan baik oleh anak-anak, remaja, dan orang
dewasa, jika di telusuri, secara seksama maka akan ditemukan ada yang berakar
dari proses pembelajaran dalam rumah tangga. Kebanyakan anak-anak yang tumbuh
dalam keluarga yang penuh kekerasan akan menjadi pribadi yang kejam. Penelitian
memperlihatkan bahwa 50% sampai 80% laki- laki yang rumah tangga yang ayah atau
suaminya memukul ibu atau istrinya.[21]
Ironisnya mereka menganggap bahwa hal itu adalah biasa saja.
Banyak
orang beranggapan bahwa pelaku KDRT adalah orang yang tidak taat beragama.
Namun dalam kenyataanya ada juga para tokoh agama yang melakukan tindakan
kekerasan terhadap isrtinya. Disamping itu juga ditemukan bahwa diantara kasus
penganiayaan istri, dalil agama digunakan sebagai landasan pembenaran terhadap
tindakannya. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh faktor budaya patrinial yang
meletakkan lelaki sebagai mahluk superior serta pemahaman keliru terhadap
ajaran agama yang mengangap laki- laki boleh menguasai perempuan. Adanya nilai
bahwa perempuan adalah mahluk lemah dan laki- laki adalah seorang pemimpin
(kepala rumah tangga), adalah salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya
tindak kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga. Kemudian tinggi dan
kuatnya patriarkhi yang begitu mengakar dimasyarakat kita dengan mengangap
bahwa laki- laki adalah mahluk yang memiliki hak Superior (paling hebat atau nomor satu).
Sedangkan perempuan merupakan mahluk Inferior dan
Subordinat dari laki-laki (mahluk nomor dua). Selain pemahaman terhadap doktrin
agama yang dipahami secara sepihak (hanya dari sudut pandang laki- laki),
mengakibatkan kebijakan yang di ambilpun berdasarkan pada kepentingan laki-
laki.
Kekerasan yang terjadi itu seperti sebagian besar
merupakan tindakan sewenang- wenang dari pihak yang merasa dirinya superior
terhadap orang yang dianggap berada di level lebih rendah. Superioritas orang
tua terhadap anak. Superioritas yang diwujudkan dalam bentuk kekerasan
kehidupan seseorang. Bisa jadi sebagai pelampiasan kekalahan di dunia luar, karena
tidak mampu menjadi yang superior di dunia luar. Bisa jadi cara untuk menutupi
ketidak mampuannya menjadi pemimpin yang layak menjadi panutan dan teladan.
Atau lagi, memang orang yang mempunyai kelainan pada kejiwaannya.
Pada dasarnya manusia memang perlu pengakuan akan
keberadaannya. Tapi sebagian manusia kebablasan dalam mengartikan naluri itu.
Mereka mencari pengakuan bahwa dia lebih dari yang lain. Ketika mendapati
dirinya tidak mempunyai kelebihan yang mampu dibanggakan, mereka melakukan
pemaksaan untuk mendapatkan pengakuan itu dengan cara merendahkan orang lain.
Memukul, menghina, menganiaya bisa menjadi cara untuk merendahkan orang lain,
sehingga orang lain yang melakukannya akan merasa terangkat posisinya karena
terbukti ia lebih kuat. Meski sebenarnya derajat ia malah jatuh menjadi mahluk
barbar yang tidak berbudaya.
Harus diakui bahwa kebanyakan pelaku KDRT adalah kaum
pria. Kaum pria memang di takdirkan lebih kuat dari pada wanita. Demi
menjalankan tugas alamiahnya sebagai pelindung keluarga. Sejak kecil seorang
anak laki-laki dituntut oleh lingkungan menjadi anak yang kuat secara fisik dan
mental. Pergaulan dikalangan anak laki- laki berusaha menjadi superior terhadap
yang lain. Anak laki- laki yang hidup bersama ayah atau orang tua yang pemukul
cenderung akan meniru perilaku tersebut. Kebiasaan itu akan dilakukan ketika
dewasa dan sudah berumah tangga, dari sinilah bibit- bibit kekerasan itu bisa
muncul.
Tapi tentu saja tidak bisa dijadikan alasan untuk
mengangap wajar kekerasan yang di lakukan kaum laki- laki. Sebagai kaum beradab
yang mempunyai etika dan budaya, sudah seharusnya kekerasan malah menunjukan
kalau ia gagal menjadi manusia yang beradab dan berbudaya. Lebih tidak punya
rasa kemanusian lagi jika itu semua dilakukan terhadap keluarganya sendiri.
Tentu saja tidak bisa digeneralisir bahwa semua pria suka kebablasan dalam
menerapkan kesuperioritasnya.
Hal ini disebabkan karena pria secara alami, mempunyai
sifat suka bersikeras, berselisih, dan berpeluang. Pada pria sifat pementingan
diri sendiri memanifestasi diri sendiri dalam bentuk egosentrisme, namun tidak
tertutup kemungkinan juga bahwa istri, anak, ayah, ibu, bahkan pembantu rumah
tangga juga dapat menjadi seorang pelaku tindak KDRT.
5. Ruang lingkup tindak pidana KDRT
Beberapa ahli mengutarakan pengertian KDRT sebagai pola
perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa yang menciptakan ancaman atau
mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya.
Secara khusus Neil Alan dkk membatasi ruang lingkup kekerasan dalam keluarga
kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak), namun secara umum pola
tindakan terhadap anak maupun istri sesungguhnya sama. Kekerasan terhadap istri
didefinisikan sebagai tindakan yang menimbulkan kerugian fisik yang di kaitkan
dengan perempuan sebagai pasangannya. Ketika kekerasan yang di lakukan terhadap
istri itu dianggap problem sosial, defenisi kekerasan tersebut meluas kepada
pengertian seksual, penyalahgunaan wewenang, perkosaan dalam rumah tangga, atau
bahkan pornografi.
KDRT kadang di kaitkan dengan istilah kekerasaan terhadap
pasangan (spause abuse), yang
sesungguhnya kekerasaan ini dapat terjadi antara pasangan yang sudah menikah
ataupun yang belum menikah (kekerasaan dalam pacaran). Adapun kekerasaan terhadap pasangan didefinisikan sebagai
penggunaan kekerasan pasangannya.[22] Tindakan kekerasan fisik dapat terjadi melalui tamparan
atau dorongan untuk menggunakan senjata. Kekerasan pasangan ini mencakup
kekerasan secara psikologis seperti intimidasi, ancaman, penghinaan dimuka
umum, kata-kata yang dilakukan berulang-ulang.
Staus, Gelles, dan Steinment, mendefenisikan kekerasan
terhadap pasangan sebagai tindakan baik suami maupun istri dapat melakukan
penyiksaan satu sama lain, meskipun sebagian besar berpendapat bahwa laki-laki
yang menjadi pelaku utama.[23]
Dalam pasal 2 ayat (1), UU PKDRT menyebutkan: lingkup
rumah tangga dalam UU ini meliputi :
a. Suami,
istri dan anak
b. Orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana yang dimaksud pada
huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, dan atau
c. Orang
yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga dan menetap
dalam rumah tangga tersebut.
Sedangkan
dalam pasal 2 ayat (2), menyebutkan bahwa “orang yang bekerja sebagaimana
dimaksud pada hurup © dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu
selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan”.
6. Korban Dalam KDRT
Dalam
kaitnnya dengan korban maka terlebih dahulu harus dipahami apa yang dimaksud
dengan korban. Berdasarkan pasal 1 ayat (3) UU PKDRT, yang dimaksud dengan
korban yang mengalami kekerasaan dan atau ancaman kekerasaan dalam lingkup
rumah tangga. Korban dapat juga diartikan dengan mereka yang menderita jasmani
dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan dan hak asasi yang menderita.
Manheim
memberi kategori tentang adanya mereka yang cenderung menjadi korban orang lain
(latent vietim) yakni anak-anak,
perempuan, dan pekerja yang cenderung menjadi korban, supir taksi, pelacur,dan
sebagainya[24]
Korban
KDRT menimpa siapa saja, ibu, bapak, istri, suami, anak-anak, bahkan pembantu
rumah tangga, namun kebanyakan korban KDRT adalah istri yang sudah tentu
pelakunya adalah suami. Suami menampar istri tentulah bukan berita yang
mengejutkan bagi masyarakat, karena masyarakat menganggap hal itu adalah wajar
dan kerap terjadi, dan korban berasal dari semua lapisan masyarakat tanpa
kecuali.
Tetapi
dalam mengenali korban harus juga dipertimbangkan siapa yang paling
berinisiatif untuk melakukan tindakan kekerasaan, termasuk perbedaan dalam
kekuatan fisik dan kemampuan bertikai antara suami dan istri, tingkat
keseriusan untuk menggunakan kekuatan fisik, serta apakah kekerasaan tersebut
digunakan untuk membela diri. Artinya tidak selamanya perempuan selalu berada
dalam posisi sebagai korban namun haruslah dilihat latar belakang perbuatan
maupun siapa yang paling berinisiatif melakukan perbuatan tersebut. Meskipin
demikian, Jane Robert Chapman, pendiri center for women policy studies
mengungkapkan bahwa dari 90 negara yang diteliti selalu ditemukan tindak kekerasaan dalam
keluarga (family violence), dan dalam
perilaku tersebut yang paling sering terjadi adalah kekerasan terhadap
perempuan sebagai korban.[25]
Penganiayaan
istri tidak terbatas hanya pada penganiayaan fisik seperti menampar, menendang,
bahkan sampai membunuh. Tapi juga terdapat bentuk-bentuk penganiayan secara
mental yang bersifat kejiwaan seperti ancaman, penanaman rasa takut melalui
intimidasi, memaki, menghina, mengecilkan arti istri, sampai membatasi ruang
geraknya . perlakuan yang dialami para korban itu mengakibatkan timbulnya
berbagai macam penderitaan seperti :
1. jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma,
sakit perut dan lain-lain
2. berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku
3. kemampuan
untuk menyelesaikan masalah rendah
4. kemungkinan
keguguran dua kali lipat lebih tinggi bagi korban yang hamil
5. bagi
yang menyusui, Air Susu Ibu (ASI) seringkali berhenti akibat tekanan jiwa
6. lebih
kemungkinan bertindak kejam terhadap anak karena tidak dapat menguasai diri
akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak menemukan jalan keluar
7. Faktor- faktor KDRT
Berbicara mengenai faktor-faktor KDRT dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang sering terjadi antara lain:
a.
Kekerasan fisik , psikis, ekonomi, dan sosial
Kekerasan fisik antara lain dipukul,ditampar, ditendang, dan lain- lain.
Adapun kekerasan psikis meliputi diancam,dihina, dicaci, ditaku- takuti dan
dibentak.Ketika istri mengalami kekerasan fisik
seperti ditampar atau dipukul, disaat bersamaan istri senantiasa diancam
dan dihina, tidak jarang pula, setelah itu suami selingkuh dengan perempuan.
b.
Kekerasan ganda yaitu kekerasan fisik yang dilakukan
suaminya berakibat pada gangguan kesehatan reproduksi, juga psikis yang
berakibat kemetabolisme pencernaan (misalnya haid istri jadi tidak teratur)
c.
Komunikasi yang tidak baik antara suami dan istri
dalam keluarga
Ideologi dan kultur
itu juga muncul karena transformasi pengetahuan yang di peloreh dari masa lalu.
Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh berdebat barang
sepatah kata pun. Kemudian, ketika ada informasi baru,
misalnya dari televisi atau dari kampus, tentang pola budaya yang lain,
misalnya yang menegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama, masyarakat
kita sulit menerima. Jadi persoalan kultur semacam itu ada dibenak manusia dan
direfleksikan dalam bentuk perilaku. Akibatnya, bisa kita lihat, istri sedikit
saja berdebat dengan suami, mendapat aniaya. Anak berani tidak menurut, kena
pukul oleh orangtua mereka.
d.
Ideologi dan kultur budaya masyarakat setempat
Masalah utama yang di hadapi perempuan,
khususnya dikota Medan,
saat ini adalah masih melekatnya nilai-nilai budaya yang memposisikan perempuan
lebih rendah dari laki- laki. Dan perempuan cenderung diam, tidak menyadari
akan hak-haknya sebagai seorang manusia, sehingga ketika perempuan mendapat
perlakuan tidak adil oleh laki- laki, itu dianggap hal yang wajar.[26]
Dalam
keluarga misalnya, adat Batak yang menganut sistem patrialki di masa sistem
otoritas yang mendasarkan kekuasaan laki- laki, menjadikan si laki- laki
sebagai urutan pertama. Ketika pembagian harta warisan, anak laki- laki
(terutama anak sulung) adalah prioritas, sedangkan anak perempuan dinomor
duakan. Si perempuan akan mendapat harta warisan jika memang saudara laki-
lakinya berbaik hati kepadanya.
Budaya
patrinial ini juga terjadi dalam sistem kekerabatan suku Batak. Sistem ini juga pada akhirnya membuat posisi perempuan
semakin lemah. Misalnya laki-laki bernama Yosefh Situmorang menikah dengan
perempuan bernama M Simatupang, maka ketika anaknya lahir otomatis langsung
bermarga Situmorang. Marga si ibu menjadi hilang. Jadi budaya yang dianut suku
batak ini setidaknya menguatkan terus terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Apalagi dengan adanya marga dibelakang
semakin menguatkan posisi laki-laki baik di keluarga, adat istiadat
maupun di masyarakat sosial. Di satu sisi, marga memang bagus karena urutan
atau garis kekerabatan menjadi jelas, tetapi di satu sisi marga menghilangkan
pihak perempuan. Perempuan hanya dianggap sebagai
pelengkap.[27]
[7]) Truly Okto Hasudungan Purba, Perempuan, Orientasi Seks dan HIV/AIDS.Lembaga Penelitian Pendidikan
dan Penelitian. Yogyakarta.2007, hal.594
[8]) Haspan Yusuf Ritonga, Perlindungan Terhadap Kekerasan Perempuan Dan Anak yang Berkomplik
dengan Hukum. Pustaka Indonesia.
2004 , hal. 5
[10]) Jhon. M.Echolis dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. PT.Gramedia, Jakarta.2003, hal
14,107,154,170,451
[12]) Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Perlindungan Anak, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
2000, hal. 62
[15]) Abdul Wahid dan Irfan Muhamad, Perlindungan Tterhadap korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Asasi Perempuan), Refika Aditama, Jakarta, 2001.hal.32
[20]) Farha Ciciek, Iktihar
Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Belajar dari Kehidupan Rasullah SAW),
Lembaga Kajian Agama dan Jender,1999, hal.39
[26])
Truly Okto Hasudungan Purba, Orientasi
Seks dan HIV/AIDS. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penelitian Yogyakarta.
2007, hal. 599
aku sedang mencari ke adilan,aku sedang membutuh kan bantuan hukum,aku orang awam akan hukum tidak terlalu banyak tahu mengenai hukum,tapi yang jelas keluarga aku,sering mendapat kan tindak kekerasan baik secara sikis maupun secara fisikis,dan sering mendapat kan diskriminasi dari ayah kandung sendiri,mohon bimbingan nya dari bp/ibu yang mengetahui pasal2 pelanggaran tentang kdrt,
BalasHapusNonton Bokep Download Bokep
BalasHapusHanya di SIKONTIL.BEST
FORUM TANTE GIRANG
DOWNLOAD VIDEO BOKEP TERBARU
SKANDAL ARTIS INDONESIA
NONTON FILM BOKEP INDO
NONTON FILM BOKEP BARAT
NONTON FILM BOKEP JEPANG
NONTON FILM BOKEP KOREA
NONTON FILM SEMI TERBARU