Selasa, 01 November 2011

ADVOKASI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) PESADA MEDAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


BAB  I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1. Latar belakang masalah
Dewasa ini berbagai peristiwa yang terjadi cukup kiranya untuk menggambarkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya di jumpai di Novel, Sinetron, negeri seberang, atau negeri antah berantah, tetapi juga banyak terjadi di Indonesia.[1] Keberadaan perempuan sering di golongkan dalam Second Class Citizens (warga negara golongan dua), makin terpuruk dengan adanya berbagai peristiwa yang menciptakan banyak korban dari golongan perempuan baik fisik, psikologis, maupun ekonomi.[2]
Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menyadari bahwa nilai budaya dan nilai sosial yang berlaku di Indonesia saat ini telah memarijinalkan peranan perempuan di Indonesia dan secara khusus dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), telah mendiskriminasikan perempuan di Indonesia. Masalah perbedaan antara laki- laki dan perempuan di Indonesia, banyak di benturkan dengan masalah-masalah budaya dan agama, dengan menekan pada banyaknya perbedaan sudut pandang. Meniadakan diskriminasi membutuhkan kesetaraan gender(Gender Equality) atau pandangan bahwa perempuan dan laki- laki memiliki akses dan kesempatan yang sama di segala bidang kesetaraan gender lebih berarti negara melakukan tindakan untuk memberikan kesempatan dan hak yang sama bagi laki- laki dan perempuan.
Persamaan dalam pekerjaan dapat terhambat secara serius jika perempuan menjadi sasaran kekerasan yang berbasis gender. Pelecehan seksual di tempat kerja adalah perbuatan seksual yang tidak menyenangkan bagi perempuan dalam tingkah laku, seperti ajakan cumbuan, kontak fisik, bahkan sampai tuntutan seks. Tindakan seperti itu adalah suatu penghinaan dan menciptakan suasana kerja yang tidak sehat. Perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual menjadi takut untuk bekerja misalnya. Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan sebagaimana hasil Konfrensi Perempuan  Sedunia IV di Beijing 1995, istilah kekerasan terhadap perempuan(Violence Against Women), diartikan sebagai kekerasan yang dilakukan berdasarkan gender(gender based violence).[3]
Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di luar saja, tetapi juga sering terjadi di lingkungan terdekatnya. Ada tiga wilayah utama tempat terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yaitu: didalam keluarga(domestic violence), di lingkungan komunitas dan tempat umum serta tempat kerja, kekerasan berbasis gender yang terjadi di tiga wialyah ini disebut non domestik violence.[4]
Di Inggris kekerasan suami terhadap istri berawal dari Common Law Inggris(1896), yang memberikan kekuasan dengan cara menggunakan tongkat, yang disebut dengan”Rule Of Thumb”, yaitu suami boleh memukul istri dengan tongkat yang tidak lebih besar dari ibu jari.[5]
Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), ini awal dianggap sebagai masalah intern dalam rumah tangga. Namun dalam perkembangannya masalah ini tidak dapat dianggap lagi sebagai masalah privat, dan ini menjadi permasalahan umum yang dapat di bicarakan oleh siapa saja. Hal ini karena masyarakat sekarang telah semakin peka terhadap tindak kekerasan, ini terbukti dengan munculnya asosiasi dan gerakan perempuan, yang ingin  mengungkapkan tabir KDRT dan juga untuk menyampaikan permasalahan wanita yang teraniaya secara terbuka.
Wanita yang kerap kali menjadi obyek KDRT  yang di lakukan oleh suaminya, selama ini cenderung menutupi segala perlakuan kasar yang di terimanya baik secara psikis, seksual, maupun ekonomi”kebisuan”, ini semata terjadi karena rasa takut, tidak terlindungi oleh hukum dan undang- undang. Apalagi bila masalah sampai kepersidangan, hakim yang mengacu pada kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), memberi ancaman pidana dan denda yang ringan, sehingga tidak membuat ada beberapa hal yang menyebabkan kesulitan yang menyeret pelaku KDRT ke meja hijau. Hal ini tentu saja mendatangkan kekecewaan dan kerugian pada pihak wanita sebagai pihak yang di rugikan secara fisk dan mental.
Kini telah lahir undang-undang baru yang mengatur tentang KDRT, yaitu undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Lahirnya UU PKDRT ini adalah sebuah perjalanan panjang yang merupakan gagasan para aktivitas perempuan yang selama ini mendampingi korban KDRT. Para aktivis perempuan sudah memperjuangkan undang- undang ini sejak tahun 1997 yang ketika itu melalui berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam koalisi perempuan, mereka bertekad membidani lahirnya UU yang melindungi kaumnya dari kekerasan laki-laki[6]. Undang-undang ini  juga mendorong kaumnya yang menjadi saksi KDRT agar melaporkan kekerasan ini kepada pihak yang berwajib.
Undang-undang No.23 tahun 2004 ini di sahkan pada tanggal 22 September 2004 yang terdiri atas 10 Bab dan 56 Pasal itu mengadopsi berbagai kekerasan yang sering dialami wanita, juga secara terperinci mengatur tentang hak-hak korban KDRT, siapa saja yang di lindungi, sanksi hukum, perlindungan, bahkan kewajiban masyarakat dan pemerintah terhadap korban KDRT.
Dari gambaran isi UU PKDRT tersebut, wanita yang sering menjadi korban KDRT harus mengerti bahwa kini telah ada hukum yang menjamin hak- hak mereka, sehingga kekerasan yang terjadi pada wanita karena dominanya karakter maskulin para pria yang berakibat wanita terpinggirkan dan tidak dapat mengambil keputusan tidak lagi terjadi. Namun, tentu saja kehadiran undang- undang ini yang terkesan “membela” kaum wanita ini bukan di tujukan untuk meningkatkan terjadinya perceraian atau ancaman keselamatan diri.
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini bermakna bahwa hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem dapat berperan dengan baik dan benar di tengah- tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya di lengkapi dengan kewenangan dalam bidang penegakkan hukum.
Rumah aman (sinceritas) merupakan satu unit Program dari Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal di Sumatera Utara. Pesada di dirikan September 2004 lalu di Medan, namun pendampingannya juga ada di Kabupaten Dairi, Humbang Hasundutan, Pak-pak Barat dan Nias. Selain Rumah aman lainnya yang ada di Medan adalah rumah aman Cahaya Perempuan dan Dicenter Pusat Pelayanan Anak (Dic PUSPA).[7]
Di Medan ada 3 LSM yang aktif mendampingi perempuan KDRT yaitu LSM Perkumpulan Sado Ahmo(PESADA), yang mengoperasikan Rumah aman sinceritas, rumah aman cahaya perempuan dan LSM pusat kajian dan perlindungan anak (PKPA) Medan, yang mengoperasikan Drop in Center Informasi dan pengaduan anak (DiC PUSPA PKPA). DiC PUSPA PKPA, sendiri lebih focus untuk menangani kasus- kasus anak.
Dalam perkembangannya, rumah aman mampu memainkan perannya sebagai media untuk membantu permasalahan- permasalahan kekerasan yang di alami oleh perempuan. Lewat rumah aman, sosialisasi dan pendampinganpun di jalankan. Segala permasalahan korban di upayakan untuk di cari jalan keluar yang terbaik.
Jika ada dari korban yang ingin melanjutkan kasusnya ke Polisi dan Pengadilan, maka rumah aman memberikan pendampingan hukum. Jika bermasalah dengan kejiwaan dan kesehatan, rumah aman menyediakan bimbingan Psikiater dan Medis. Namun sejauh ini masih ada juga ditemui seorang istri mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan umumnya oleh para suami mereka. Untuk itu diharapkan dengan adanya rumah aman setiap suami tidak lagi melakukan KDRT.  Sehubungan dengan kemungkinan adanya KDRT yang dilakukan oleh suami kepada istri, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang advokasi yang telah dilakukan oleh LSM Pesada dan hambatan-hambatan advokasi tersebut.
2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut :
1)    Bagaimanakah Advokasi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pesatuan Sada Ahmo (PESADA), terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dalam proses Non Litigasi, ditinjau dari UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
2)    Apa hambatan-hambatan yang di hadapi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Pesatuan Sada Ahmo, dalam mendampingi korban kekerasan dalam rumah tangga, pada proses Non Litigasi?
3. Keaslian Penelitian

Menurut Pengetahuan penulis, penelitian ini belum pernah di teliti di LSM PESADA, oleh karena itu judul dan materi Skripsi ini merupakan ide dan tulisan asli penulis.

4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk :
1. Memperluas wawasan penulis tentang advokasi lembaga swadaya masyarakat pesada terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
2. Sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi paar akademis hukum, prakstisi hukum, penegak hukum, serta pemerintah.
B. Tujuan penelitian
Adapun Tujuan Penelitian ini adalah :
1.    Untuk mengetahui Advokasi yang di lakukan oleh LSM, PESADA, terhadap KDRT. Ditinjau dari UU PKDRT
2.    Untuk mengetahui hambatan- hambatan yang dihadapi oleh LSM, PESADA, dalam mendampingi KDRT dalam proses Non Litigasi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


A.  Tinjauan Umum Tentang Advokasi

1.    Pengertian advokasi
Kata “advokasi” sering didengar, bahkan secara tidak sadar masyarakat atau sekelompok masyarakat telah melakukan kegiatan advokasi baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang banyak. Kata dasar advokasi adalah Advokat yang berasal Bahasa Latin yaitu”Advokatus” artinya seorang ahli hukum atau memberikan bantuan hukum atau pertolongan dalam masalah hukum. Bantuan atau pertolongan ini bersifat memberikan nasihat berupa jasa, perkembangannya kemudian dapat di mintai oleh siapapun yang memerlukan, membutuhkannya untuk beracara dalam hukum[8]. Jika kata advokasi di terjemahkan dari Bahasa Inggris, maka advocacy, yang berarti mempertahankan  atau membela (to defend), yang juga “memajukan” atau mengemukakan(to promote), kata lain dari advokasi juga dapat di artikan melakukan suatu perubahan(to change), secara terorganisir dan sistematis.[9] Definisi yang baku mengenai pengertian advokasi belum ada, tetapi bila di amati dari pola tindakan atau gerakkan yang dilakukan, gerakan advokasi itu dapat di katakan berupa tindakan- tindakan pendampingan, penekanan, dan tindakan mempengaruhi.[10]
Pengertian advokasi juga dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, kegiatan tersebut bersifat kontiniu, terarah dan terkordinasi untuk merubah sesuatu kebijakan agar hak-hak dapat ditegakkan kearah yang lebih demokratis dengan struktur sosial yang lebih adil.[11]

2.    Bentuk- bentuk advokasi
Dari pengertian Advokasi tersebut dapat ditegaskan, bahwa tindakan atau kegiatan advokasi itu dapat berbentuk Litigasi dan Non Litigasi.
a.    Litigasi
Penanganan perkara melalui pengadilan (litigasi), yaitu proses perkara di lakukan sesuai dengan jalur hukum, Perlindungan hukum terhadap korban KDRT dapat di lakukan dalam bentuk advokasi secara litigasi pada tahap :
1.    Pemeriksaan Penyidik.
2.    Tingkat Penuntutan.
3.    Proses Peradilan.
4.    Lembaga Pemasyarakatan[12]

Ad.1 Pemeriksaan Penyidik.
Dalam Advokasi penanganan dan perlindungan hukum bagi korban KDRT, dapat di berikan melalui Penyidik yang tujuannya agar Penyidk tidak salah dalam memberikan bantuan hukum dan perlindungan hukum terhadap korban perlindungan rumah tangga. Menurut Pasal 1 butir (1) KUHAP Penyidik adalah pejabat Polisi  Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh Undang- undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Tugas penyidik yang berhubungan langsung dengan segi penegakan hak-hak korban KDRT dapat berupa penangkapan dan penahanan terhadap sipelaku korban KDRT.
Ad 2. Tingkat Penuntutan.
Advokasi berupa penanganan dan perlindungan hukum bagi korban KDRT dapat diberikan pada tahap penuntutan. Tujuannya agar Penuntut Umum tidak salah dalam memberikan tuntutan bagi terdakwa. Korban KDRT menurut Pasal 1 butir (7) KUHAP menyebutkan bahwa: “Penuntutan adalah menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana dengan jalan menyerahkan perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa”.
Penuntutan di lakukan oleh Penuntut umum sebagaimana diatur dalam KUHAP pasal 1 butir 6 (b), bahwa Penuntut umum adalah jaksa yang di beri wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, sedangkan jaksa adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 1 butir 6 (a) KUHAP).
Ad. 3. Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam Advokasi penanganan dan perlindungan hukum bagi korban KDRT, dapat diberikan melalui lembaga pemasyarakatan. Tujuannya agar lembaga pemasyarakatan memberikan pembinaan terhadap korban KDRT yang telah diputus oleh hakim berupa pemindanaan.
b.    Non litigasi
Non Litigasi yaitu penanganan perkara yang dilakukan di luar pengadilan. Perlindungan hukum terhadap KDRT dalam bentuk advokasi secara Non Litigasi , dapat dilakukan dengan melihat terlebih dahulu sasaran advokasi yaitu :
a)    KDRT.
b)    Pendampingan Hukum.
c)    Aparat Hukum.
d)    Masyarakat.
e)    Kebijakan Hukum[13]

Ad.1. KDRT
Dalam Advokasi penanganan dan perlindungan bagi para korban yang secara langsung diberikan kepada korban KDRT, berupa:
a)    Penyuluhan hukum pada tingkat perlindungan (Shelter), yang bertujuan agar korban KDRT mendapat bantuan hukum.
b)    Penerbitan produk buku saku.
c)    Melakukan seminar- seminar terbuka tentang KDRT.
Ad.2. Pendampingan KDRT
Dalam Advokasi penanganan dan perlindungan hukum bagi para korban KDRT dapat diberikan melalui pendampingan korban KDRT, yang nantinya akan bertugas untuk melindungi para korban yang diberikan pengetahuan tentang bagaimana cara pendampingan korban.

Ad.3. Aparat Hukum/Pemerintah.
Advokasi penanganan dan perlindungan hukum bagi korban dapat di berikan melalui aparat hukum atau pemerintah yang tujuannya agar aparat hukum atau pemerintah tidak salah dalam memberikan bantuan dan perlindungan hukum bagi korban KDRT berupa:
a)    Seminar yang bertujuan untuk membangun pemahaman positif tentang KDRT, sehingga aparat hukum atau pemerintah paham dan mengerti tentang korban KDRT, sehingga hak-hak KDRT dapat di lindungi.
b)    Membangun kordinasi yang tujuannya agar aparat hukum atau pemerintah dapat berkoordinasi dengan lembaga Advokasi atau lembaga bantuan hukum dan lembaga swadaya masyarakat di bidang perempuan dan anak, sehingga apabila ada korban KDRT yang mengalami KDRT yang dilakukan oleh suami, aparat hukum langsung dapat menghubungi lembaga bantuan hukum yang berhubungan dengan advokasi di bidang perempuan dan anak, sehingga korban mendapat pendampingan hukum dan tidak merasa tertekan akibat keadaan tersebut.
Ad. 4. Masyarakat.
Advokasi penanganan dan perlindungan hukum bagi korban KDRT dapat diberikan melalui masyarakat dengan memberikan bantuan dan perlindungan bagi para korban KDRT dengan cara :
a)    Melakukan kampanye stop KDRT yang bertujuan untuk mengurangi tindakan kekerasan yang di lakukan oleh suami ataupun masyarakat.
b)    Melakukan diskusi komunitas yang bertujuan membangun image positif dari masyarakat dalam penanganan KDRT yang bertujuan agar masyarakat sadar bahwa masalah KDRT merupakan tanggung jawab bersama.
Ad.5. Kebijakan Hukum.
Advokasi penanganan dan perlindungan hukum bagi korban KDRT dapat diberikan melalui kebijakan hukum dengan memberikan bantuan hukum dan perlindungan bagi korban KDRT, yang dapat di lakukan sebagai berikut :
a)    Melakukan Revisi Undang-undang, melakukan analisa terhadap kebijakan hukum tentang korban KDRT yang bertujuan agar kebijakan tersebut dapat melindungi kepentingan korban KDRT.
b)    Mendorong lahirnya suatu Peraturan Daerah (PERDA) tentang perlindungan korban KDRT, yang bertujuan agar kebijakan tersebut dapat melindungi dan menguntungan hak-hak korban KDRT dan kepentingan korban.

B.  Tinjauan Umum Tentang KDRT

Arti “Kekerasan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi 3.2002) adalah:
a.    Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain;
b.    Paksaan.
Berdasarkan penjelasan ini, kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang menyebabkan luka, cacat, sakit, atau penderitaan, pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu di perhatikan adalah berupa paksaan atau ketidak relaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai.
Kejahatan kekerasan atau Violent Crime menurut Nettler adalah sebagai peristiwa dimana orang secara illegal dan secara sengaja melukai secara fisik, atau mengancam untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, dimana bentuk-bentuk penganiayaan, perampokan, perkosaan, dan  pembunuhan merupakan contoh klasik dari kejahatan kekerasan yang serius.[14]
Menurut Mansour Faqih kata ”kekerasan” disini sebagai padanan dari kata”Violence” dalam Bahasa Inggris, meskipun keduanya memiliki konsep yang berbeda, kata ‘Vialence’ diartikan sebagai suatu serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Sedangkan kata kekerasan dalam bahasa Indonesia terhadap sesama manusia ini sumbernya maupun alasannya bermacam-macam, seperti politik, keyakinan, keagamaan, bahkan rasisme[15]
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) seperti perkelahian, atau tertutup (covert) seperti perilaku mengancam, dan baik yang bersifat menyerang (offensive), yaitu kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan tapi untuk mendapatkan sesuatu, dan yang bersifat bertahan (defensive) yaitu kekerasan yang dilakukan untuk mempertahankan diri yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.[16] Dimana perilaku mengancam lebih menonjol dari kekerasan terbuka dan kekerasan defesit menonjol dari kekerasan agresif.[17]
Kekerasan mengilustrasikan sifat aturan sosial, pelanggaran aturan, dan reaksi sosial terhadap pelanggaran aturan yang kompleks dan seringkali bertentangan. Pada dasarnya perbuatan kekerasaan dimaksudkan untuk memaksakan kehendak si pelaku yang bertentangan dengan keinginan orang lain, sehingga dapat dibedakan antara kekerasan yang sah dengan kekerasan yang tidak sah.
1.    Pengertian tentang KDRT menurut UU PKDRT
Dalam halnya kekerasaan terhadap perempuan, Harkristuti Harkrisnowo mengutip Schuler, mendefenisikan kekerasaan terhadap perempuan sebagai kekerasaan yang diarahkan terhadap perempuan hanya karena mereka perempuan (any violence act perpetrated on women because they are women).[18] Adapun kekerasaan terhadap perempuan secara khusus dapat digambarkan menjadi:
a.    Kekerasaan dalam area domestik/ hubungan intim. Berbagai bentuk kekerasaan yang terjadi dalam lingkungan keluarga, dimana pelakunya adalah orang yang memiliki kedekatan dengan korban
b.    Kekerasaan dalam area publik. Kekerasaan yang terjadi di luar hubungan keluarga atau hubungan personal lainnya, sehingga meliputi kekerasaan yang bersifat sangat luas, baik yang terjadi dalam lingkungan kerja (termasuk untuk kerja-kerja domestik seperti babby sister, pembantu rumah tangga), tempat umum, maupun bentuk-bentuk lain
c.    Kekerasaan yang dilakukan oleh/ dalam lingkungan negara. Kekerasaan secara fisik, seksual, dan/atau psikologis yang dilakukan, dibenarkan atau didiamkan terjadi oleh negara dimanapun terjadinya, misalnya pelanggaran hak asasi manusia dalam pertentangan antara kelompok.
Berkaitan dengan kekerasaan terhadap perempuan yang terancam dalam point a, yaitu kekerasan dalam rumah tangga yang pada umumnya merupakan kekerasaan yang berbasis gender dengan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan mendapatkan hak-hak kebebasan yang setara dengan laki-laki. Kekerasaan justru mengancam kaum perempuan yang secara langsung berkaitan dengan identitas seksualitasnya sebagai perempuan.
Menurut UU PKDRT pasal 1 ayat (1) kekerasan dalam rumah tangga adalah: “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasaan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Gelles mendefinisikan KDRT (family violence) sebagai “seseorang yang melakukan tindakan pemukulan, menampar, menyiksa, menganiaya, ataupun melempar benda-benda kepada orang lain” yang menjadi pokok persoalan yang menyangkut KDRT. Adapun Lisa Fredman menggunakan istilah KDRT ini pada bentuk kekerasaan yang berhubungan antara suami atau istri yang satu diantaranya bisa menjadi korban tetapi pada kenyataannya secara umum perempuan lebih cenderung menjadi korban (istri, anak, maupun pasangan).[19]

2.     Batasan-batasan KDRT menurut UU PKDRT
Tentang penghapusan KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Larangan melakukan KDRT meliputi sebagai berikut:
1.    Kekerasan Fisik yaitu: perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (pasal 6 UU PKDRT). Kekerasan fisik ini sering diikuti dengan kekerasan seksual. Baik berupa serangan kealat seksual maupun berupa persetubuhan paksa (perkosaan). Dalam UU ini disebutkan bahwa orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam rumah tangga seperti yang yang disebut dalam pasal 5. Akan dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, atau denda paling banyak lima belas juta rupiah (pasal 44 ayat (1) jika mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak tiga puluh juta rupiah (pasal 44 ayat (2), dan jika menyebabkan kematian dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, atau denda paling banyak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan akan dipidana penjara lama 4 (empat) bulan, atau denda paling banyak lima juta rupiah (pasal 45 ayat (4).
2.    Kekerasaan psikis, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7 UU PKDRT).
Kadar emosi seseorang sangat berbeda sehingga akibatnya yang timbul pada kekerasaan psikis sangat sulit diukur. Kekerasan psikis sebenarnya berdampak lebih menyakitkan dari pada kekerasan fisik. Namun ada juga yang berpendapat bahwa kekerasan fisik jauh lebih menyakitkan dari pada kekerasan psikis, karena sekalipun kekerasan psikis dapat merusak kehormatan seseorang, merusak keseimbangan jiwa, dan melukai harga diri seseorang, namun tidak dapat melukai organ tubuh dan menyebabkan kematian pada seseorang dan juga kekerasan mudah diukur dan dipelajari dari pada kekerasan psikis yang membuat seseorang merasa dilecehkan, sekalipun kekerasan psikis tidak bisa di kurangi kadarnya. Jika seseorang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangganya maka akan dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, atau denda paling banyak sembilan juta rupiah (pasal 45 ayat (1)), namun jika tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian, atau kegiatan sehari-hari akan dipidana penjara paling lama 4 (empat) bulan, atau denda paling banyak tiga juta rupiah (pasal 45 ayat (2))
3.    Kekerasan Seksual, menurut UU No.23 tahun 2004 yaitu :
a.    Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetapkan dalam lingkungan rumah tangga tersebut;
b.    Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
Orang yang melakukan perbuatan seksual seperti yang disebutkan dalam pasal 8 hurup (a) dipidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, atau denda paling banyak tiga puluh enam juta rupiah (pasal 46). Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 hurup b di pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, dan di pidana penjara paling lama selama 15 (lima belas) tahun, atau denda paling sedikit dua belas juta rupiah dan paling banyak tiga ratus rupiah (pasal 47). Dalam ketentuan ini kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain dengan tujuan komersial atau tujuan tertentu (penjelasan pasal 8 UU PKDRT). Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual Deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, dan merugikan pihak korban.
4.    Penelantaran rumah tangga, yaitu orang yang menelantarkan orang dalam ruang lingkup rumah tangganya padahal ia wajib memberi kehidupan , perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut (pasal 9 UU PKDRT). Dimana penelataran itu juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah tangga, sehingga korban melakukan penelantaran rumah tangga sebagaimana disebut dalam pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) di pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak lima belas juta rupiah (pasal 2 aya (9).
Dalam soal memberikan perlindungan, UU PKDRT ini tergolong Konprehensif, karena sebagian pasal dalam UU ini berupa delik umum, siapapun bisa mengadukan KDRT yang mereka lihat. Khususnya untuk kekerasan seksual untuk suami dan istri, UU menetapkan sebagai delik aduan, artinya hanya bisa diproses hukum jika ada pengaduan dari korban.
Dalam UU ini disebutkan orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam rumah tangga seperti yang disebutkan dalam pasal 5, akan dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, atau denda paling banyak lima belas juta rupiah (pasal 144 ayat (1), jika mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau denda paling banyak tiga puluh juta rupiah (pasal 44 ayat (2), dan jika menyebabkan kematian dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, atau denda paling banyak empat puluh lima juta rupiah (pasal 44 ayat(3).

4. Pelaku Tindak Pidana KDRT
Seorang pelaku tindak pidana KDRT sulit di identifikasi, tetapi pelaku adalah orang dekat yang dikenal oleh korban. Laki- laki yang di luar tampil sebagai sosok yang baik hati, di rumah dia adalah seorang yang sering melakukan tindakan kejam. Pelaku dapat berasal dari berbagai golongan, suku, ras, bangsa, agama, kelas sosial, dan usia, pelaku tindak KDRT bisa seorang suami, ayah, ibu, istri, anak, pembantu rumah tangga, baby sister, dan mereka yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Namun yang sering menjadi pelaku dalam kasus KDRT lazimnya adalah seorang laki- laki atau suami. Kekerasan terhadap istri mengungkapkan bahwa laki- laki yang melakukan hal tersebut dikarenakan :
1)    Kepercayaan diri dan kemampuan berkomunikasi rendah;
2)    Sulit mempercayai orang lain;
3)    Pecemburu;
4)    Selalu merasa tidak nyaman;
5)    Banyak diperlakukan kejam semasa kanak- kanak;
6)    Memperlihatkan perubahan kepribadian yang besar. Misalnya bersikap baik terhadap orang lain (terkadang terhadap korban), namun pada saat yang lain bersikap kejam dan ganas.[20]
Pelaku kekerasan selalu menolak bertanggungjawab bahkan mengkambinghitamkan korban sebagai pemicu keributan yang diakhiri dengan terjadinya kekerasan. Pelaku juga menyalahkan beratnya pekerjaan, pengaruh alkohol, menganggur, dan stress adalah penyebab mereka melakukan kekerasan. Kadang -kadang pelaku merasa menyesal karena menganiaya istrinya. Mereka bahkan menangis dan juga sering berjanji tidak akan mengulangi tindakan kejamnya lagi. Tetapi itu hanya sesaat, kemarahan yang meledak menyebabkan terjadinya lagi tindakan kekerasan, dan itu terus saja berulang-ulang, dan membentuk suatu lingkaran yang tidak pernah terputus sampai korban melaporkan perbuatan pelaku. Lazimnya pelaku kekerasan mempunyai status dan kekuasaan yang lebih besar dari segi ekonomi, kekuatan fisik maupun status sosial dalam keluar. Karena posisinya yang khusus itu pelaku kerap kali memaksa kehendaknya untuk diikuti oleh orang lain.Untuk mencapai keinginanya, pelaku akan menggunakan berbagai cara, bila perlu dengan cara kekerasan.
Berbagai bentuk dan tindakan yang dilakukan baik oleh anak-anak, remaja, dan orang dewasa, jika di telusuri, secara seksama maka akan ditemukan ada yang berakar dari proses pembelajaran dalam rumah tangga. Kebanyakan anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang penuh kekerasan akan menjadi pribadi yang kejam. Penelitian memperlihatkan bahwa 50% sampai 80% laki- laki yang rumah tangga yang ayah atau suaminya memukul ibu atau istrinya.[21] Ironisnya mereka menganggap bahwa hal itu adalah biasa saja.
Banyak orang beranggapan bahwa pelaku KDRT adalah orang yang tidak taat beragama. Namun dalam kenyataanya ada juga para tokoh agama yang melakukan tindakan kekerasan terhadap isrtinya. Disamping itu juga ditemukan bahwa diantara kasus penganiayaan istri, dalil agama digunakan sebagai landasan pembenaran terhadap tindakannya. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh faktor budaya patrinial yang meletakkan lelaki sebagai mahluk superior serta pemahaman keliru terhadap ajaran agama yang mengangap laki- laki boleh menguasai perempuan. Adanya nilai bahwa perempuan adalah mahluk lemah dan laki- laki adalah seorang pemimpin (kepala rumah tangga), adalah salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga. Kemudian tinggi dan kuatnya patriarkhi yang begitu mengakar dimasyarakat kita dengan mengangap bahwa laki- laki adalah mahluk yang memiliki hak Superior (paling hebat atau nomor satu).
Sedangkan perempuan merupakan mahluk Inferior dan Subordinat dari laki-laki (mahluk nomor dua). Selain pemahaman terhadap doktrin agama yang dipahami secara sepihak (hanya dari sudut pandang laki- laki), mengakibatkan kebijakan yang di ambilpun berdasarkan pada kepentingan laki- laki.
Kekerasan yang terjadi itu seperti sebagian besar merupakan tindakan sewenang- wenang dari pihak yang merasa dirinya superior terhadap orang yang dianggap berada di level lebih rendah. Superioritas orang tua terhadap anak. Superioritas yang diwujudkan dalam bentuk kekerasan kehidupan seseorang. Bisa jadi sebagai pelampiasan kekalahan di dunia luar, karena tidak mampu menjadi yang superior di dunia luar. Bisa jadi cara untuk menutupi ketidak mampuannya menjadi pemimpin yang layak menjadi panutan dan teladan. Atau lagi, memang orang yang mempunyai kelainan pada kejiwaannya.
Pada dasarnya manusia memang perlu pengakuan akan keberadaannya. Tapi sebagian manusia kebablasan dalam mengartikan naluri itu. Mereka mencari pengakuan bahwa dia lebih dari yang lain. Ketika mendapati dirinya tidak mempunyai kelebihan yang mampu dibanggakan, mereka melakukan pemaksaan untuk mendapatkan pengakuan itu dengan cara merendahkan orang lain. Memukul, menghina, menganiaya bisa menjadi cara untuk merendahkan orang lain, sehingga orang lain yang melakukannya akan merasa terangkat posisinya karena terbukti ia lebih kuat. Meski sebenarnya derajat ia malah jatuh menjadi mahluk barbar yang tidak berbudaya.
Harus diakui bahwa kebanyakan pelaku KDRT adalah kaum pria. Kaum pria memang di takdirkan lebih kuat dari pada wanita. Demi menjalankan tugas alamiahnya sebagai pelindung keluarga. Sejak kecil seorang anak laki-laki dituntut oleh lingkungan menjadi anak yang kuat secara fisik dan mental. Pergaulan dikalangan anak laki- laki berusaha menjadi superior terhadap yang lain. Anak laki- laki yang hidup bersama ayah atau orang tua yang pemukul cenderung akan meniru perilaku tersebut. Kebiasaan itu akan dilakukan ketika dewasa dan sudah berumah tangga, dari sinilah bibit- bibit kekerasan itu bisa muncul.
Tapi tentu saja tidak bisa dijadikan alasan untuk mengangap wajar kekerasan yang di lakukan kaum laki- laki. Sebagai kaum beradab yang mempunyai etika dan budaya, sudah seharusnya kekerasan malah menunjukan kalau ia gagal menjadi manusia yang beradab dan berbudaya. Lebih tidak punya rasa kemanusian lagi jika itu semua dilakukan terhadap keluarganya sendiri. Tentu saja tidak bisa digeneralisir bahwa semua pria suka kebablasan dalam menerapkan kesuperioritasnya.
Hal ini disebabkan karena pria secara alami, mempunyai sifat suka bersikeras, berselisih, dan berpeluang. Pada pria sifat pementingan diri sendiri memanifestasi diri sendiri dalam bentuk egosentrisme, namun tidak tertutup kemungkinan juga bahwa istri, anak, ayah, ibu, bahkan pembantu rumah tangga juga dapat menjadi seorang pelaku tindak KDRT.

5. Ruang lingkup tindak pidana KDRT
Beberapa ahli mengutarakan pengertian KDRT sebagai pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa yang menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya. Secara khusus Neil Alan dkk membatasi ruang lingkup kekerasan dalam keluarga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak), namun secara umum pola tindakan terhadap anak maupun istri sesungguhnya sama. Kekerasan terhadap istri didefinisikan sebagai tindakan yang menimbulkan kerugian fisik yang di kaitkan dengan perempuan sebagai pasangannya. Ketika kekerasan yang di lakukan terhadap istri itu dianggap problem sosial, defenisi kekerasan tersebut meluas kepada pengertian seksual, penyalahgunaan wewenang, perkosaan dalam rumah tangga, atau bahkan pornografi.
KDRT kadang di kaitkan dengan istilah kekerasaan terhadap pasangan (spause abuse), yang sesungguhnya kekerasaan ini dapat terjadi antara pasangan yang sudah menikah ataupun yang belum menikah (kekerasaan dalam pacaran). Adapun kekerasaan terhadap pasangan didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan pasangannya.[22] Tindakan kekerasan fisik dapat terjadi melalui tamparan atau dorongan untuk menggunakan senjata. Kekerasan pasangan ini mencakup kekerasan secara psikologis seperti intimidasi, ancaman, penghinaan dimuka umum, kata-kata yang dilakukan berulang-ulang.
Staus, Gelles, dan Steinment, mendefenisikan kekerasan terhadap pasangan sebagai tindakan baik suami maupun istri dapat melakukan penyiksaan satu sama lain, meskipun sebagian besar berpendapat bahwa laki-laki yang menjadi pelaku utama.[23]
Dalam pasal 2 ayat (1), UU PKDRT menyebutkan: lingkup rumah tangga dalam UU ini meliputi :
a.    Suami, istri dan anak
b.    Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana yang dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, dan atau
c.    Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Sedangkan dalam pasal 2 ayat (2), menyebutkan bahwa “orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada hurup © dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan”.

6. Korban Dalam KDRT
Dalam kaitnnya dengan korban maka terlebih dahulu harus dipahami apa yang dimaksud dengan korban. Berdasarkan pasal 1 ayat (3) UU PKDRT, yang dimaksud dengan korban yang mengalami kekerasaan dan atau ancaman kekerasaan dalam lingkup rumah tangga. Korban dapat juga diartikan dengan mereka yang menderita jasmani dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan dan hak asasi yang menderita.
Manheim memberi kategori tentang adanya mereka yang cenderung menjadi korban orang lain (latent vietim) yakni anak-anak, perempuan, dan pekerja yang cenderung menjadi korban, supir taksi, pelacur,dan sebagainya[24]
Korban KDRT menimpa siapa saja, ibu, bapak, istri, suami, anak-anak, bahkan pembantu rumah tangga, namun kebanyakan korban KDRT adalah istri yang sudah tentu pelakunya adalah suami. Suami menampar istri tentulah bukan berita yang mengejutkan bagi masyarakat, karena masyarakat menganggap hal itu adalah wajar dan kerap terjadi, dan korban berasal dari semua lapisan masyarakat tanpa kecuali.
Tetapi dalam mengenali korban harus juga dipertimbangkan siapa yang paling berinisiatif untuk melakukan tindakan kekerasaan, termasuk perbedaan dalam kekuatan fisik dan kemampuan bertikai antara suami dan istri, tingkat keseriusan untuk menggunakan kekuatan fisik, serta apakah kekerasaan tersebut digunakan untuk membela diri. Artinya tidak selamanya perempuan selalu berada dalam posisi sebagai korban namun haruslah dilihat latar belakang perbuatan maupun siapa yang paling berinisiatif melakukan perbuatan tersebut. Meskipin demikian, Jane Robert Chapman, pendiri center for women policy studies mengungkapkan bahwa dari 90 negara yang diteliti  selalu ditemukan tindak kekerasaan dalam keluarga (family violence), dan dalam perilaku tersebut yang paling sering terjadi adalah kekerasan terhadap perempuan sebagai korban.[25]
Penganiayaan istri tidak terbatas hanya pada penganiayaan fisik seperti menampar, menendang, bahkan sampai membunuh. Tapi juga terdapat bentuk-bentuk penganiayan secara mental yang bersifat kejiwaan seperti ancaman, penanaman rasa takut melalui intimidasi, memaki, menghina, mengecilkan arti istri, sampai membatasi ruang geraknya . perlakuan yang dialami para korban itu mengakibatkan timbulnya berbagai macam penderitaan seperti :
1.    jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut dan lain-lain
2.    berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku
3.    kemampuan untuk menyelesaikan masalah rendah

4.    kemungkinan keguguran dua kali lipat lebih tinggi bagi korban yang hamil
5.    bagi yang menyusui, Air Susu Ibu (ASI) seringkali berhenti akibat tekanan jiwa
6.    lebih kemungkinan bertindak kejam terhadap anak karena tidak dapat menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak menemukan jalan keluar

7. Faktor- faktor KDRT
Berbicara mengenai faktor-faktor KDRT dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sering terjadi antara lain:
a.    Kekerasan fisik , psikis, ekonomi, dan sosial
Kekerasan fisik antara lain dipukul,ditampar, ditendang, dan lain- lain. Adapun kekerasan psikis meliputi diancam,dihina, dicaci, ditaku- takuti dan dibentak.Ketika istri mengalami kekerasan fisik  seperti ditampar atau dipukul, disaat bersamaan istri senantiasa diancam dan dihina, tidak jarang pula, setelah itu suami selingkuh dengan perempuan.
b.    Kekerasan ganda yaitu kekerasan fisik yang dilakukan suaminya berakibat pada gangguan kesehatan reproduksi, juga psikis yang berakibat kemetabolisme pencernaan (misalnya haid istri jadi tidak teratur)
c.    Komunikasi yang tidak baik antara suami dan istri dalam keluarga
Ideologi dan kultur itu juga muncul karena transformasi pengetahuan yang di peloreh dari masa lalu. Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh berdebat barang sepatah kata pun. Kemudian, ketika ada informasi baru, misalnya dari televisi atau dari kampus, tentang pola budaya yang lain, misalnya yang menegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama, masyarakat kita sulit menerima. Jadi persoalan kultur semacam itu ada dibenak manusia dan direfleksikan dalam bentuk perilaku. Akibatnya, bisa kita lihat, istri sedikit saja berdebat dengan suami, mendapat aniaya. Anak berani tidak menurut, kena pukul oleh orangtua mereka.
d.    Ideologi dan kultur budaya masyarakat setempat
Masalah utama yang di hadapi perempuan, khususnya dikota Medan, saat ini adalah masih melekatnya nilai-nilai budaya yang memposisikan perempuan lebih rendah dari laki- laki. Dan perempuan cenderung diam, tidak menyadari akan hak-haknya sebagai seorang manusia, sehingga ketika perempuan mendapat perlakuan tidak adil oleh laki- laki, itu dianggap hal yang wajar.[26]
Dalam keluarga misalnya, adat Batak yang menganut sistem patrialki di masa sistem otoritas yang mendasarkan kekuasaan laki- laki, menjadikan si laki- laki sebagai urutan pertama. Ketika pembagian harta warisan, anak laki- laki (terutama anak sulung) adalah prioritas, sedangkan anak perempuan dinomor duakan. Si perempuan akan mendapat harta warisan jika memang saudara laki- lakinya berbaik hati kepadanya.
Budaya patrinial ini juga terjadi dalam sistem kekerabatan suku Batak. Sistem ini juga pada akhirnya membuat posisi perempuan semakin lemah. Misalnya laki-laki bernama Yosefh Situmorang menikah dengan perempuan bernama M Simatupang, maka ketika anaknya lahir otomatis langsung bermarga Situmorang. Marga si ibu menjadi hilang. Jadi budaya yang dianut suku batak ini setidaknya menguatkan terus terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Apalagi dengan adanya marga dibelakang  semakin menguatkan posisi laki-laki baik di keluarga, adat istiadat maupun di masyarakat sosial. Di satu sisi, marga memang bagus karena urutan atau garis kekerabatan menjadi jelas, tetapi di satu sisi marga menghilangkan pihak perempuan. Perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap.[27]



[1]) Aroma Elmina Martha, Perempuan, Kekerasan dan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2003. hal. 23
[2])  Ibid hal 24
[3]) Ibid, hal. 25
[4]) Ibid, hal. 26
[5]) Ibid, hal.37
[6]) Ibid, hal. 39
[7]) Truly Okto Hasudungan Purba, Perempuan, Orientasi Seks dan HIV/AIDS.Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penelitian. Yogyakarta.2007, hal.594
[8]) Haspan Yusuf Ritonga, Perlindungan Terhadap Kekerasan Perempuan Dan Anak yang Berkomplik dengan Hukum. Pustaka Indonesia. 2004 , hal. 5
[9]) Yudha pandu, Klien dan Penasehat Hukum Dalam Presfektif Masa Kini Abadi. Jakarta. 2003, hal.2
[10]) Jhon. M.Echolis dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. PT.Gramedia, Jakarta.2003, hal 14,107,154,170,451
[11]) Ibid.
[12]) Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Perlindungan Anak, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. 2000, hal. 62
[13]) Haspan Yusuf Ritonga,dkk. Op.Cit. hal.17
[14]) Aroma L.Mina Martha, Op.Cit  21
[15]) Abdul Wahid dan Irfan Muhamad, Perlindungan Tterhadap korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Asasi Perempuan),  Refika Aditama, Jakarta, 2001.hal.32
[16]) Ibid, hal. 34
[17]) Ibid
[18]) Ibid, hal.23
[19]) Ibid. hal.32
[20]) Farha Ciciek, Iktihar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Belajar dari Kehidupan Rasullah SAW), Lembaga Kajian Agama dan Jender,1999, hal.39
[21]) Ibid, hal 23
[22]) Aroma Elmina Martha, Op.Cit, hal.33
[23]) Ibid. hal.45
[24]) Sahetapy (ed) Vitimologi, Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987. hal.117
[25]) Ibid.
[26]) Truly Okto Hasudungan Purba, Orientasi Seks dan HIV/AIDS. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penelitian Yogyakarta. 2007, hal. 599
[27]) Ibid, hal. 600

2 komentar:

  1. aku sedang mencari ke adilan,aku sedang membutuh kan bantuan hukum,aku orang awam akan hukum tidak terlalu banyak tahu mengenai hukum,tapi yang jelas keluarga aku,sering mendapat kan tindak kekerasan baik secara sikis maupun secara fisikis,dan sering mendapat kan diskriminasi dari ayah kandung sendiri,mohon bimbingan nya dari bp/ibu yang mengetahui pasal2 pelanggaran tentang kdrt,

    BalasHapus