BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 alinea keempat dirumuskan tujuan bangsa Indonesia yaitu “Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial….dst”. Mencapai masyarakat yang adil dan
makmur ini tidak begitu saja dapat dicapai, ada banyak hambatan yang dapat
mengganggu lancarnya pembangunan. Salah satu hambatan tersebut adalah adanya
gangguan terhadap masyarakat berupa pelanggaran-pelanggaran hukum, untuk itu
diperlukan penegakan hukum.
Penegakan
hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan
ketenteraman dalam masyarakat, baik sebagai usaha pencegahan maupun
pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum.[1] Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP telah jelas
ditentukan tujuan dari penegakan hukum pidana adalah untuk mencari kebenaran
materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana yang diatur secara jujur dan
tepat.
Dalam
rangka penegakan hukum, apabila terjadi suatu peristiwa yang diduga atau patut
diduga merupakan tindak pidana, maka aparat hukum wajib melakukan berbagai
tindakan sesuai dengan kewenangan masing-masing sebagaimana yang ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan yang dimaksud adalah
melakukan penyelidikan oleh penyelidik dan kemudian diteruskan dengan
penyidikan sebagai suatu tindakan untuk mencari dan mengumpulkan bukti supaya
tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta dapat menemukan dan
menentukan pelakunya.
Upaya
untuk menemukan dan menentukan pelaku dalam suatu peristiwa pidana sangat
penting untuk menentukan siapa yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana
atas peristiwa pidana tersebut. Mengenai pertanggungjawaban pidana, E. Y.
Kanter dan S. R. Sianturi mengemukakan pendapatnya bahwa :
Pertanggungjawaban
(pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak
pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam dalam
undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang
(diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas
tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum
(dan tiada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu.[2]
Penyidikan sebagai upaya untuk
menemukan dan menentukan pelaku dalam suatu peristiwa pidana dilaksanakan oleh
Kepolisian Republik Indonesia
(selanjutnya disebut Polri). Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Polri menduduki posisi
sebagai aparat penegak hukum, sesuai dengan prinsip diferensiasi fungsional
yang digariskan KUHAP. Kepada Polri diberikan peran berupa kekuasaan umum
menangani kriminal (general policing
authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara Indonesia.[3]
Mengenai peran Polri berupa kekuasaan
umum menangani kriminal (general policing
authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara Indonesia, M. Yahya Harahap
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
Dalam melaksanakan
kewenangan tersebut, Polri berperan melakukan kontrol kriminal (crime control) dalam bentuk: investigasi-penangkapan-penahanan-penggeledahan-penyitaan.
Sesuai dengan otoritas kepolisian itu, semestinya Polri harus mengembangkan
peran pelayanan (civil service). Diantara
fungsi pelayanan polisi yang harus dikembangkan pada saat sekarang, antara
lain: mengatur lalu lintas, mengontrol keributan, memberi pertolongan darurat (emergency medical care) dan pengaturan
jam malam.[4]
Dalam melaksanakan fungsi penyidikan,
Polri harus taat dan tunduk kepada prinsip the
right of due process. Setiap tersangka berhak disidik di atas landasan
sesuai dengan hukum acara, tidak boleh secara unduc process.[5]
Hak due process dalam melaksanakan
tindakan penegakan hukum bersumber dari cita-cita negara hukum yang menjunjung
tinggi supremasi hukum (the law is
supreme), yang menegaskan “kita diperintah oleh hukum” dan bukan “oleh
orang” (government of law and not of men).
Bertitik tolak dari asas ini, Polri dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan
penyidikan harus berpatokan dan berpedoman pada ketentuan khusus yang diatur
dalam KUHAP.
Polri sebagai ujung tombak penegak
hukum di lapangan tidak mungkin diharapkan dapat melakukan patroli secara terus
menerus sehingga setiap kali tindak
pidana terjadi mereka dapat langsung mengetahuinya. Polri sering mengeluhkan bahwa
jumlah rasio polisi di Indonesia
dengan jumlah penduduk sangat tidak seimbang. Hal ini mengakibatkan pelayanan
yang dapat diberikan oleh Polri kepada masyarakat menjadi tidak atau kurang
maksimal. Oleh karena itu Polri selalu meminta agar masyarakat selalu membantu
Polri untuk menjaga dan menciptakan ketertiban dan ketenteraman umum.
Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya
disebut UU Polri):
Keamanan dan ketertiban masyarakat
adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat
terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan
nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum
serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta
mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan
menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan
lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Pada
prinsipnya, jika terjadi suatu peristiwa pidana maka Polri sebagai ujung tombak
dalam penegakan hukum dapat segera mengambil tindakan. Akan tetapi dari banyak
peristiwa pidana itu ada beberapa jenis yang hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang dirugikan akibat terjadinya
peristiwa pidana tersebut. Peristiwa pidana tersebut biasanya disebut delik
aduan.
Menurut
R. Soesilo:
Alasan dari adanya delik aduan ini
adalah bahwa dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih
menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu daripada keuntungan bagi
pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan. Adanya delik aduan ini tidak
mengurangi prinsip oppurtuniteit
dalam hukum penuntutan pidana dari negara kita, bahwa penuntut umum (Kejaksaan)
senantiasa mempunyai kekuasaan untuk menyimpan
(mendeponir) perkara bagi
kepentingan umum.[6]
KUHP telah mengatur secara tegas
mengenai jenis-jenis tindak pidana yang termasuk dalam tindak pidana (delik)
aduan. Salah tindak pidana yang termasuk delik aduan adalah perzinahan.
Perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP pada Bab ke-XIV dari Buku II KUHP
tentang Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kesusilaan (misdrijven tegen de Zeden).[7]
Lebih lanjut P.A.F. Lamintang
menyatakan bahwa:
Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur
dalam bab ini dengan sengaja dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan
maksud untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang dipandang perlu
untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila (ontuchte handelingen) dan terhadap
perilaku-perilaku baik dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa
susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan-kepatutan
di bidang kehidupan seksual baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat
setempat dimana perbuatan itu dilakukan maupun ditinjau dari segi kebiasaan
masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.[8]
Dalam hal terjadinya suatu delik
aduan, sumber informasi yang diterima oleh Polri adalah pengaduan. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa pengaduan merupakan dasar untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu delik aduan. Hal ini membuat
terjadinya perbedaan dalam penanganan peristiwa yang termasuk delik aduan
dengan peristiwa pidana yang merupakan delik biasa.
B.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah dalam penelitian ini,
yang menjadi permasalahan adalah:
1.
Bagaimana
pelaksanaan penyidikan delik aduan perzinahan oleh penyidik Polri di Kepolisian
Kota Besar Medan dan Sekitarnya?
2.
Kendala-kendala
apa yang dihadapi oleh penyidik Polri dalam melaksanakan penyidikan terhadap
delik aduan perzinahan di Kepolisian Kota Besar Medan dan Sekitarnya?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui
pelaksanaan penyidikan terhadap delik aduan perzinahan oleh penyidik Polri di
Kepolisian Kota Besar Kota Medan dan Sekitarnya.
2.
Mengetahui
kendala-kendala yang dihadapi oleh penyidik Polri dalam melaksanakan penyidikan
terhadap delik aduan perzinahan di Kepolisian Kota Besar Medan dan Sekitarnya.
D.
Kegunaaan Penelitian
Ada 2 (dua) manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Uraian
tentang kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Secara Teoritis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi terutama
mahasiswa Fakultas Hukum untuk menambah wawasan di bidang Hukum Acara Pidana
khususnya mengenai pelaksanaan penyidikan terhadap delik aduan perzinahan yang
dilaksanakan oleh penyidik Polri di Kepolisian Besar Kota Medan dan Sekitarnya.
2.
Secara Praktis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pejabat penyidik Polri dan juga
masyarakat umum untuk lebih memahami mengenai penyidikan terhadap delik aduan
perzinahan yang dilaksanakan oleh penyidik Polri di Kepolisian Besar Kota Medan
dan Sekitarnya.
E.
Keaslian Penelitian
Menurut pengetahuan penulis, penelitian mengenai
pelaksanaan penyidikan terhadap delik aduan perzinahan oleh penyidik Polri di
Kepolisian Kota Besar Kota
Medan Dan
Sekitarnya, belum pernah ada.

TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan Umum Tentang Penyidikan
A.
1. Pengertian Penyidik dan Penyidikan
Pasal 1 butir 2 KUHAP menentukan bahwa:”Penyidik adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia
atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Mengenai pengertian penyidikan dapat
diketahui dari isi Pasal 1 butir 2 KUHAP yang menetukan bahwa: “Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya”.
|
Menurut
M. Yahya Harahap:
Pada tindakan penyelidikan penekanan
diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang
dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat
tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya
tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan
dan menentukan pelakunya. Dari penjelasan dimaksud hampir tidak ada perbedaan
makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja.[9]
Antara penyelidikan dan
penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling
berkaitan dan isi-mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa
pidana. Namun demikian, ditinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara
kedua tindakan tersebut:
a.
Dari
segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari “semua anggota” Polri,
dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik,
b.
Wewenang
sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data
atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal
telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan
tindakan yang disebut Pasal 5 ayat (1) huruf b (penangkapan, larangan
meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya).
Memperhatikan ketentuan
Pasal 7 ayat (1), apalagi jika dihubungkan dengan beberapa bab KUHAP, seperti
Bab V (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat) serta Bab XIV
(penyidikan), ruang lingkup wewenang dan kewajiban penyidik adalah amat luas
jika dibanding dengan penyelidikan. Akan tetapi, cara penguraiannya dalam KUHAP
agak berserakan dalam beberapa bab. Wewenang dan kewajiban penyidik serta ruang
lingkup fungsi penyidikan secara sempurna, tidak dapat melihatnya, hanya pada
Bab XIV saja, tetapi harus melihat dan mengumpulkannya dari bab dan pasal-pasal
lain di luar kedua bab yang disebutkan.
Mengenai siapa saja yang disebut
sebagai penyidik ditentukan dalam Pasal 6 KUHAP sebagai berikut:
(1)
Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia
b.
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Berdasarkan ketentuan
Pasal 6 KUHAP diketahui bahwa yang disebut penyidik adalah orang yang melakukan
penyidikan yang terdiri dari para pejabat seperti yang dijelaskan pada Pasal 1
butir 1 KUHAP. Kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam pasal 6 KUHAP. Akan
tetapi, di samping apa yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6 KUHAP,
terdapat lagi Pasal 10 KUHAP yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di
samping penyidik.
Dalam Pasal 6 KUHAP
ditentukan instansi dan kepangkatan seorang pejabat penyidik. Bertitik tolak
dari ketentuan Pasal 6 KUHAP, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik
adalah sebagai berikut:
1. Pejabat Penyidik Polri
a.
Pejabat penyidik penuh
b.
Pejabat penyidik pembantu
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Ad.
1 Pejabat Penyidik Polri
Menurut ketentuan Pasal 6
ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan
penyidikan ialah “pejabat Polisi Negara”. Memang dari segi differensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab
fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Agar seorang pejabat kepolisian
dapat diberi jabatan sebagai penyidik, harus memenuhi “syarat kepangkatan”
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 6
ayat (2) KUHAP, kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan
penuntut umum dan hakim peradilan umum. Dari bunyi penjelasan ini, KUHAP
sendiri belum mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6. Syarat
kepangkatan tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Untuk
itu, penjelasan Pasal 6 KUHAP telah memberi petunjuk supaya dalam menetapkan
kepangkatan penuntut umum dan hakim Pengadilan Negeri.
Peraturan Pemerintah yang
mengatur masalah kepangkatan pajabat penyidik sebagaimana yang dikehendaki
ketentuan Pasal 6 KUHAP sudah ada dan telah ditetapkan pada 1 Agustus 1983,
berupa Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP
(selanjutnya disebut PP No. 27 Tahun 1983). Syarat kepangkatan pejabat penyidik
diatur dalam Bab II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab
II PP No. 27 Tahun 1983 mengenai syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat
penyidik kepolisian, dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pejabat Penyidik Penuh
Pejabat polisi yang dapat
diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat kepangkatan
dan pengangkatan, yaitu:
a.
sekurang-kurangnya
berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi (berdasarkan SK Kapolri Nomor Pol:
SKBO/01/I/2001 diubah menjadi Ajun Inspektur Dua (Aipda));
b.
atau
yang berpangkat bintara di bawah Ajun Inspektur Dua apabila dalam suatu sektor
kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Ajun Inspektur Dua;
c.
ditunjuk
dan diangkat oleh Kepala Kepolisian
RI.
Dari bunyi ketentuan Pasal
2 ayat (2) PP No.27 Tahun 1983, sekalipun pada prinsipnya syarat kepangkatan
pejabat penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Ajun Inspektur Dua, namun mengingat kurangnya
tenaga personel yang belum memadai terutama di daerah-daerah atau di kantor
sektor kepolisian yang “berpangkat bintara”. Kepangkatan yang serupa ini memang
tidak serasi jika ditinjau dari sudut keseimbangan kepangkatan penuntut umum
maupun hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan
pengetahuan hukum seorang bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan dari segi
kemampuan dan pengalaman. Itu sebabnya dijumpai penyidikan yang tidak memadai
dan tidak terarah.
b. Penyidik Pembantu
Pejabat polisi yang dapat diangkat
sebagai “penyidik pembantu” diatur dalam Pasal 3 PP no.27 Tahun 1983. Menurut
ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik
pembantu:
a.
sekurang-kurangnya
berpangkat Sersan Dua Polisi (sekarang Brigadir Polisi Dua (Bripda));
b.
atau
pegawai negeri sipil dalam lingkungan kepolisian Negara dengan syarat
sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a);
c.
diangkat
oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan
masing-masing.
Khusus pengangkatan pegawai
negeri sipil di lingkungan kepolisian menjadi pejabat penyidik pembantu, yang
bersangkutan harus mempunyai keahlian atau kekhususan dalam bidang tertentu.
Tanpa syarat tersebut, tidak ada alasan atau urgensi untuk mengangkat mereka
menjadi pejabat penyidik pembantu. Syarat kepangkatan penyidik pembantu, lebih
rendah dari pangkat jabatan penyidik. Berdasar hierarki dan organisatoris,
penyidik pembantu diperbantukan kepada pejabat penyidik, oleh karena itu
kepangkatan mereka harus lebih rendah dari penyidik.
Penyidik pembantu bukan
mesti terdiri dari anggota Polri, tetapi bisa diangkat dari kalangan pegawai
negeri sipil Polri sesuai dengan keahlian khusus yang mereka miliki dalam
bidang tertentu. Kalau pegawai negeri sipil Polri yang demikian tidak bisa diangkat
menjadi penyidik pembantu, mungkin akan menimbulkan masalah hambatan dalam
pelaksanaan penyidikan. Sebab di kalangan anggota Polri, yang memiliki syarat
utama kepangkatan dan keahlian tertentu mungkin masih sangat langka. Hal inilah
yang menjadi motivasi bahwa penyidik pembantu dapat diangkat dari kalangan
pegawai negeri sipil.
Kehadiran penyidik
pembantu seolah-olah menjadi dualistis dalam tubuh aparat penyidik. Menurut M.
Yahya Harahap:
Memang menurut logika, dengan adanya pejabat
penyidik, tidak perlu dibentuk suatu eselon yang bernama penyidik pembantu.
Sebab secara rasio, dengan adanya jabatan penyidik berdasar syarat kepangkatan tertentu,
semua anggota Polri yang berada di bawah jajaran pejabat penyidik adalah
pembantu bagi pejabat penyidik. Sebab berdasarkan ketentuan Pasal 11 KUHAP,
penyidik pembantu mempunyai wewenang yang sama dengan pejabat penyidik, kecuali
sepanjang penahanan, wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Jadi, boleh dikatakan hampir sama wewenangnya sebagaimana yang diperinci pada
Pasal 7 ayat (1) KUHAP.[10]
Mengenai latar belakang
urgensi pengangkatan pejabat penyidik pembantu, M. Yahya Harahap berpendapat
sebagai berikut:
Disebabkan terbatasnya tenaga Polri
yang berpangkat tertentu sebagai pejabat penyidik. Terutama daerah-daerah
sektor kepolisian di daerah terpencil, masih banyak yang dipangku pejabat kepolisian
yang berpangkat bintara.Oleh karena itu, seandainya syarat kepangkatan pejabat
penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Ajun Inspektur Dua Polri, sedangkan yang
berpangkat demikian belum mencukupi kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan
banyaknya jumlah Sektor Kepolisian, hal seperti ini akan menimbulkan hambatan
bagi palaksanaan fungsi penyidikan di daerah-daerah, sehingga besar
kemungkinan, pelaksanaan fungsi penyidikan tidak berjalan di daerah-daerah.[11]
Ad.
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang
sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada
ketentuan undang-undang khususyang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang
penyidikan pada salah satu pasal.
Jadi,
di samping pejabat penyidik Polri, undang-undang pidana khusus tersebut memberi
wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil yang bersangkutan untuk melakukan
penyidikan. Akan tetapi harus diingat, wewenang penyidikan yang dimiliki yang
dimiliki oleh pejabat pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang
menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus
tersebut.
A.
2. Wewenang Penyidik
Dalam melaksanaan tugasnya dalam penyidikan, seorang penyidik Polri memiliki wewenang yang telah
ditentukan dalam Pasal 7 KUHAP, yaitu sebagai berikut:
(1) Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya
mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di
tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan
memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret orang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
(2) Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai
dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2), penyidik
wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Kewenangan
yang diatur dalam Pasal 6 KUHAP adalah kewenangan dari penyidik Polri.
Kewenangan penyidik pembantu serupa dengan kewenangan penyidik Polri, kecuali
dalam hal penahanan. Mengenai kewenangan penyidik pembantu telah ditentukan
dalam Pasal 11 KUHAP, yaitu: ‘Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti
tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib
diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik”. Hal ini berarti bahwa
untuk melakukan penahanan, seorang penyidik pembantu harus memperoleh
pelimpahan wewenang dari penyidik.
A.
3. Tata Cara Penyidikan
Apabila
penyidik menerima laporan dari penyelidik atau korban maka penyidik wajib
dengan segera melakukan penyidikan terhadap tersangka. Sebelum melakukan
pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik wajib memberitahukan kepada tersangka.
Jika penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil maka mereka diberi
petunjuk dan bantuan oleh penyidik Polri. Berkas Acara Penyidikan (BAP)
disampaikan oleh penyidik pegawai negeri sipil yang bersangkutan kepada
penuntut umum melalui penyidik Polri.
Pasal 106 KUHAP menentukan bahwa
penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya
suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera
melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Lebih lanjut Pasal 108 KUHAP
menentukan:
(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan
dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk
mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik
lisan maupun tertulis.
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau
terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal
tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka
melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang
merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau
penyidik.
(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara
tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.
(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara
lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu
dan penyidik.
(6) Setelah menerima laporan atau pengaduan,
penyelidik atau penyidik harus memberikan surat
tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepad yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 106 dan
Pasal 108 KUHAP, diketahui bahwa pada dasarnya informasi atau data mengenai
suatu tindak pidana dapat bersumber dari:
1.
Laporan;
Dalam
Pasal 1 butir 24 KUHAP ditentukan bahwa “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan
oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada
pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya
peristiwa pidana”. Apabila diperhatikan lebih seksama, maka pelaporan hanya
bersifat pemberitahuan; yaitu pemberitahuan dari pelapor kepada pejabat yang
berwenang (penyelidik/penyidik). Apakah penyelidik atau penyidik akan
menindaklanjuti laporan itu atau tidak, sudah berada di luar kekuasaan si
pelapor. Pelaporan itu merupakan hak atau kewajiban bagi setiap anggota
masyarakat.
2.
Pengaduan;
Dalam Pasal 1 butir 25
KUHAP ditentukan bahwa: “Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan
oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak
menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikannya”. Berbeda dengan laporan, dalam pengaduan selain pemberitahuan
juga ada permintaan agar kepada orang yang diadukan itu diambil tindakan hukum
oleh aparat penegak hukum (penyelidik/penyidik). Pihak yang mengadu juga dibatasi,
yaitu pihak yang berkepentingan. Berarti tidak semua orang/anggota masyarakat
boleh melakukan pengaduan terhadap suatu peristiwa pidana.
3.
Tertangkap
Tangan
Dalam Pasal 1 butir 19
ditentukan bahwa:
Tertangkap tangan adalah tertangkapnya
seorang pada waktu melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan
atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang
melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga
keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan
bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak
pidana itu.
Suatu tindak pidana perlu
diketahui tertangkap tangan atau tidak. Hal ini berhubungan dengan masalah
kewenangan dan prosedur untuk melakukan upaya paksa (penangkapan) terhadap
pelaku. Apabila seseorang tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana maka
hak untuk menangkap ada pada setiap orang serta penangkapan dapat dilakukan
tanpa surat
perintah penangkapan. Apabila pelaku tindak pidana tidak tertangkap tangan maka
kewenangan menangkap hanya ada pada penyelidik/penyidik dan harus berdasarkan surat perintah
penangkapan.
4.
Informasi
lainnya;
Informasi lainnya dapat
berupa berita-berita yang dimuat di media massa
dan media elektronik. Adakalanya suatu berita tentang terjadinya suatu tindak
pidana atau suatu perbuatan yang diduga sebagai tindak pidana telah terjadi di
suatu tempat atau instansi. Berita atau informasi itu dapat dijadikan sebagai
dasar penyelidikan. Apabila ditemukan indikasi bahwa isi berita/ informasi
tersebut betul maka akan dilanjutkan dengan penyidikan.
Pasal 110 KUHAP menentukan :
(1) Dalam hal penyidik telah selesai
melakukan penyidikan, maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu
kepada jaksa penuntut umum.
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat
bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum
segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk
dilengkapi.
(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil
penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan
tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
(4)
Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas)
hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum
batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari
penuntut umum kepada penyidik.
Berdasarkan ketentuan Pasal 110 KUHAP
diketahui bahwa apabila penyidikan telah selesai dilakukan, penyidik wajib
menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut umum. Pasal 14 b
KUHAP menentukan bahwa penuntut umum mempunyai wewenang untuk mengadakan
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) serta memberikan petunjuk dalam
rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
Setelah menerima penyerahan berkas
perkara tersebut, jaksa penuntut umum akan meneliti dan memeriksa kebenaran
dari berkas perkara tersebut. Dalam penjelasan Pasal 138 KUHAP ditentukan bahwa
yang dimaksud dengan “meneliti” adalah tindakan penuntut umum dalam
mempersiapkan penuntutan dengan memeriksa orang dan atau benda yang tersebut
dalam hasil penyidikan telah sesuai atau tidak untuk memenuhi syarat pembuktian
yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik.
Dalam hal berkas perkara penyidikan
telah diterima oleh jaksa penuntut umum, tanggung jawab atas tersangka akan
beralih dari penyidik kepada penuntut umum.
B.
Tinjauan Umum Tentang Delik Aduan
B.
1. Pengertian Delik Aduan
Hukum
pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hal ini berarti bahwa kepentingan
umum lebih diutamakan. Oleh karena itu penuntutan suatu delik pada dasarnya
dibebankan kepada penguasa karena jabatannya, tidak bergantung kepada orang
yang menderita sebagai akibat dari suatu delik, bahkan juga andaikan ada
keberatan dari penderita tidak merupakan penghalang bagi usaha penuntutan.
Delik aduan (klacht delict) pada hakikatnya juga mengandung unsur-unsur yang
lazim dimiliki oleh setiap delik. Pada lazimnya, setiap delik terjadi
menghendaki adanya penuntutan dari Penuntut Umum tanpa ada permintaan yang
tegas dari orang yang menjadi korban atau mereka yang dirugikan. Delik aduan
mempunyai ciri khusus dan kekhususan itu terletak pada penuntutannya.[12]
Penuntutan suatu delik aduan hanya
dapat diterima apabila telah masuk pengaduan dari penderita atau seseorang yang
berhak mengadu. Mengenai penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan, E. Y
Kanter dan S. R. Sianturi berpendapat:
Penyimpangan penuntutan terhadap delik
aduan adalah karena kepentingan pribadi dari yang dirugikan/penderita/yang
berhak mengadu dipandang perlu mengutamakan perlindungannya. Dalam hal ini,
yang dijadikan alasan untuk menjadikan suatu delik menjadi delik aduan ialah
bahwa dalam hal-hal tertentu, kepentingan seseorang yang mengadu akan lebih
dirugikan apabila perkara itu disidangkan dibandingkan dengan kepentingan umum
jika perkar itu tidak dituntut karena jabatan.[13]
Menurut R. Soesilo:
Alasan dari adanya delik aduan ini
adalah bahwa dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih
menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu daripada keuntungan bagi
pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan. Adanya delik aduan ini tidak
mengurangi prinsip oppurtuniteit
dalam hukum penuntutan pidana dari negara kita, bahwa penuntut umum (Kejaksaan)
senantiasa mempunyai kekuasaan untuk menyimpan
(mendeponir) perkara bagi
kepentingan umum.[14]
B.
2. Jenis-Jenis Delik Aduan
Delik aduan tidak secara tersendiri
diatur dalam suatu bab KUHP atau perundang-undangan hukum pidana lainnya. Delik
aduan hanya ada pada kejahatan, tidak ada yang berupa pelanggaran. Pada umumnya
delik aduan dibagi atas dua yaitu delik aduan sebenarnya (absolute kalcht delict) dan delik aduan nisbi (relatieve klachtdelict).[15]
R. Soesilo membedakan delik aduan atas delik aduan absolut dan delik aduan
relatif.[16]
Delik aduan absolut adalah delik
(peristiwa pidana ) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan.
Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya.[17]
Dalam delik aduan absolut semua orang yang melakukan tindak pidana itu harus
diadukan untuk dituntut.
Delik aduan relatif adalah delik-delik
(peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika
dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi
delik aduan.[18] Dalam
hal ini maka pengaduan diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya akan tetapi
untuk menuntut orang-orang yang bersalah dalam peristiwa itu.
Menurut E. Y. Kanter dan S. R.
Sianturi:
Delik aduan yang sebenarnya (absolute klacht delict) adalah
delik-delik yang ditentukan baru dapat dituntut apabila ada pengaduan sedangkan
delik aduan nisbi (relatieve klachtdelict)
adalah delik yang dapat dituntut karena
jabatan, akan tetapi apabila delik-delik tertentu itu terjadi dalam hubungan
suami isteri “yang dalam penjagaan perceraian” atau sudah bercerai, atau dalam
hubungan keluarga dekat (sedarah atau semenda dalam garis lurus atau dalam
garis menyimpang sampai dua derajat), ia merupakan delik aduan.[19]
Jenis-jenis
delik aduan absolut adalah:
1. Penghinaan , Pasal 319 (310 sampai dengan 318
minus 316), 320 dan 321 KUHP;
2.
Perzinahan, Pasal 284 ayat (2) KUHP;
3.
Delik Kesusilaan, Pasal 293 ayat (2) dan Pasal 287 KUHP;
4. Delik
Pembukaan Rahasia, Pasal 322 ayat (2) dan Pasal 323 ayat (2) KUHP;
5.
Kawin lari, Pasal 332 ayat (2) KUHP;
6.
Pengancaman, Pasal 369 ayat (2) KUHP;
7.
Delik Penerbitan/percetakan tertentu, Pasal 485 KUHP;
Jenis-jenis
delik aduan relatif adalah:
1.
Pencurian Dalam Kalangan Keluarga, Pasal 367 KUHP;
2.
Pemerasan dan pengancaman, Pasal 370 KUHP;
3.
Penggelapan, Pasal 376 KUHP;
4.
Penipuan, Pasal 391 KUHP;
5.
Perusakan Barang, Pasal 411 KUHP.
B.
3. Hak Mengadu dan Menarik Pengaduan.
Dalam Bab VII Buku I KUHP tidak disebutkan siapa saja
yang mempunyai hak orijiner untuk
mengadukan seseorang yang telah melakukan suatu delik aduan.
Pasal
72 KUHP menentukan:
(1) Jika
kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang yang
umurnya belum cukup enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau kepada orang
yang di bawah penilikan (curatele)
orang lain bukan dari sebab keborosan maka selama dalam keadaan-keadaan itu
yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara sipil
(2) Jika
tidak ada wakil atau dia sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan boleh
dilakukan atas pengaduan wali yang mengawas-awas atau penilik (curator) atau majelis yang menjalankan
kewajiban wali pengawas-awas atau penilik itu, atas pengaduan isteri, seorang
kaum keluarga dalam turunan yang lurus atau kalau ini tak ada atas pengaduan
kaum keluarga dalam turunan yang menyimpang sampai derajat ketiga.
Pasal
72 KUHP menentukan siapa saja yang berhak maju sebagai pengadu atau yang berhak
menggantikan pengadu yang orijiner.[20]Dalam
hal seseorang yang terkena delik aduan belum enam belas tahun dan belum cukup
umur atau seseorang yang di bawah pengampuan bukan karena keborosan, yang
berhak mengajukan pengaduan adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata.
Apabila
justru wakil yang sah tersebut yang melakukan delik aduan dan hendak diadukan,
maka yang berhak maju sebagai pengadu adalah wali pengawas atau pengampu
pengawas. Dalam hal yang terkena delik aduan adalah orang yang di bawah
pengampuan bukan karena keborosan juga dimungkinkan dan dipandang sah apabila
pengaduan dilakukan oleh isteri penderita atau seorang keluarga sedarah dalam
garis menyimpang sampai derajat ketiga.
Pasal
73 KUHP menentukan:
Jika kejahatan itu dilakukan kepada
seseorang yang meninggal dalam tempo yang ditetapkan dalam pasal yang berikut
maka dengan tak usah menambah tempo itu, dapat penuntutan dilakukan atas
pengaduan ibu bapaknya, atau suami (isterinya) yang masih hidup, kecuali kalau
nyata, bahwa yang meninggal itu tidak menghendaki penuntutan.
Dari ketentuan Pasal 73 dapat
diketahui bahwa apabila penderita (yang
terkena delik aduan) meninggal dalam tenggang waktu pengaduan, maka tanpa
memperpanjang tenggang waktu tersebut yang berhak menggantikan sebagai pengadu
adalah orang tuanya, anaknya atau suaminya/isterinya yang masih hidup kecuali
jika ternyata bahwa almarhum semasih hidupnya tidak menghendaki penuntutan.
Dalam
pasal 293, 319, 322, 335, 369, 485 KUHP dan pasal-pasal tentang delik aduan
relatif, yang ditentukan sebagai yang berhak mengadu adalah orang yang terkena
delik itu sendiri. Untuk perzinahan (Pasal 284 KUHP), yang berhak mengadu
adalah suami atau isteri yang merasa tercemar. Untuk kejahatan lari kawin
(Pasal 332 KUHP), yang berhak mengadu adalah wanita yang dibawa lari itu
sendiri baik ia sudah cukup umur maupun belum. Untuk persetubuhan dengan
seorang wanita yang belum berumur 15 tahun di luar perkawinan (Pasal 287 KUHP)
tidak ditentukan siapa yang berhak mengadu. Karenanya harus dikembalikan kepada
ketentuan umum yaitu Pasal 72 KUHP.
Pasal
74 KUHP menentukan:
(1) Pengaduan hanya boleh dimasukkan dalam tempo
enam bulan sesudah orang yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang
dilakukan itu, kalau ia berdiam di Negara Indonesia
ini atau dalam tempo sembilan bulan sesudah ia mengetahui itu kalau berdiam di
luar Negara Indonesia.
(2) Kalau pada ketika orang yang dikenai
kejahatan mendapat hak untuk mengadu belum habis tempo yang tersebut dalam ayat
(1), maka sejak ketika itu ia masih berhak mengadu selama ketinggalan tempo
yang disebut di atas.
Dari
ketentuan Pasal 74 KUHP dapat diketahui bahwa ada tenggang waktu dalam bagi
yang berhak mengadu untuk mengajukan pengaduan. Awal penghitungan tenggang
waktu itu adalah sejak yang berhak mengadu mengetahui adanya delik tersebut.[21]Penghitungan
tenggang waktu itu tidak dimulai sejak delik itu dimulai atau tidak juga sejak
tindakan itu dapat dijatuhkan pidana.
Mengenai
tenggang waktu untuk mengajukan pengaduan, R. Soesilo mengemukakan bahwa:
Tempoh pengaduan itu dimulai pada saat
bila orang yang berhak mengadu mendengar atau mengetahui (bukan saat terjadinya
peristiwa) peristiwa yang dilakukan , jadi bukan sehari sesudahnya itu seperti
halnya dengan dimulainya tempoh gugurnya hak penuntutan perkara karena
kadaluarsa. Jika pengaduan itu dengan lisan, yang berlaku bagi saat pemasukan
pengaduan adalah saat pemberitahuan dengan lisan itu diajukan.[22]
Tenggang waktu pengaduan terdapat
pengecualian pada Pasal 293 ayat (3) yaitu 9 (sembilan) bulan bila ia bertempat
tinggal di Indonesia atau 12
(dua belas) bulan bila ia berada di luar Indonesia. Pengecualian itu sengaja
dibuat dengan perhitungan kemungkinan kehamilan dari wanita yang bersangkutan.[23]
Dalam ketentuan-ketentuan mengenai
pengaduan tidak ada ditentukan mengenai bentuk pengaduan. Oleh karena itu,
pengaduan dapat berbentuk tulisan maupun lisan. Sekalipun seseorang yang berhak
mengadu sudah mengajukan pengaduan, kepadanya masih diberikan hak untuk menarik
kembali pengaduan tersebut. Tenggang waktu untuk mencabut pengaduan adalah 3
(tiga) bulan terhitung mulai sejak pengaduan di ajukan. Akan tetapi sekali ia
menarik pengaduannya, haknya untuk mengadu kembali telah hilang.
B.
4. Pengaturan Delik Aduan Dalam KUHP
KUHP tidak mengatur delik aduan dalam satu bab tertentu.
Pengaturan delik aduan tersebar dalam pasal-pasal dalam Buku II KUHP tentang
Kejahatan. Pasal-pasal tersebut terdiri atas pasal yang mengatur delik aduan
absolut dan delik aduan relatif.
Pasal-pasal
yang mengatur tentang delik aduan absolut adalah:
1. Pasal 284 ayat (3) KUHP ditentukan bahwa
Pasal 72, 73 dan 75 KUHP tidak berlaku walaupun pasal tersebut berisi tentang
pengajuan pengaduan melalui pihak ketiga sebagai wakil.
2. Pasal 287 KUHP mengancam dengan hukum
selama-lamanya 9 tahun bagi siapa yang bersetubuh dengan perempuan yang bukan
istrinya sedang diketahui atau patut disangkanya bahwa umur perempuan itu belum
cukup 15 tahun. Penuntutannya hanya dapat dilakukan bilamana ada pengaduan,
kecuali bilamana diketahui umur perempuan itu belum mencapai umur 12 tahun.
3. Pasal 293 KUHP penuntutannya hanya dapat
dilakukan atas pengaduan dari pribadi yang menjadi korban dari perbuatan cabul.
4. Pasal 310 KUHP sampai dengan Pasal 321 KUHP
merupakan kumpulan pasal tentang penghinaan dengan variasi-variasi tertentu.
Kesemuanya adalah delik aduan kecuali Pasal 316 KUHP tidak memerlukan pengaduan
dari pihak yang dirugikan.
5. Pasal 311 KUHP tentang kejahatan memfitnah (laster).
6. Pasal 315 KUHP tentang kejahatan penghinaan
ringan (eenvoudige belediging).
7. Pasal 317 KUHP tentang kejahatan mengadu
secara fitnah (lasterlijke aanklacht),
Pasal 318 KUHP tentang kejahatan tuduhan memfitnah (lasterijke verdachtmaking). Jenis-jenis kejahatan tersebut yang
terdiri atas Pasal 310 KUHP sampai dengan Pasal 318 KUHP menegaskan bahwa untuk
diadakannya penuntutan atas delik penghinaan tersebut diisyaratkan adanya
pengaduan kecuali hal yang tersebut pada Pasal 316 KUHP, dimana delik ini bukan
merupakan delik aduan.
8. Pasal 320 KUHP tentang kejahatan menista
terhadap orang yang telah meninggal, Pasal 321 KUHP tentang kejahatan
menyiarkan dengan menista pada orang yang telah meninggal dunia.
9. Pasal 322 KUHP dan Pasal 323 KUHP tentang
kejahatan membuka rahasia (schending van
geheimen).
10. Pasal 332 KUHP tentang memberikan ancaman
hukuman terhadap peristiwa pidana melarikan perempuan. Penuntutannya hanya
dapat dilakukan atas dasar pengaduan.
11. Pasal 335 ayat (2) KUHP tentang kejahatan
memaksa dengan ancaman akan menista baik secara lisan maupun tulisan.
12. Pasal 369 KUHP tentang pemerasan dengan
menista.
Pasal-pasal yang mengatru tentang
delik aduan relatif adalah:
1. Pasal 362 KUHP tentang kejahatan pencurian (diefsal)
2. Pasal 367 KUHP adalah pencurian yang biasa
disebut sebagai pencurian dalam lingkungan keluarga
3. Pasal 370 KUHP tentang pemerasan dan
pengancaman dalam keluarga.
4. Pasal 372 jo 367 KUHP tentang penggelapan
dalam kalangan keluarga
5. Pasal 379 jo 394 jo 367 KUHP tentang
kejahatan penipuan dalam kalangan keluarga.
6. Pasal 390 KUHP menyatakan pasal-pasal 368 dan
369 KUHP yaitu mengenai ancaman dan pemerasan dapat menjelma menjadi delik
aduan relatif bilamana pelakunya terlihat hubungan kekeluargaan sebagaimana
halnya dengan ikatan keluarga pada Pasal 367 KUHP.
7. Berlaku atas pasal-pasal penggelapan yaitu
Pasal 372, 373, 374 dan 375 KUHP, Pasal 376 KUHP merumuskan bahwa ketentuan
dalam pasal-pasal tersebut dapat menjadi delik aduan relatif.
8. Pasal 394 yang menunjuk pada Pasal 367 KUHP
juga bahwa perkara-perkara penipuan yang diatur dengan Pasal Pasal 378 dan
seterusnya dapat menjadi delik aduan.
9. Pasal 404 KUHP yang mengatur tentang hak
gadai, hak tanah, hak memungut hasil, hak pakai, merugikan orang yang
memberikan hipotik atau pemberi hutang dan sebagainya dapat menjadi delik aduan
dengan menunjuk pula pada hubungan keluarga sebagaimana diatur dalam Pasal 367
KUHP.
10. Pasal-pasal mengenai menghancurkan atau
merusakkan barang sebagaimana diancam dengan Pasal 406, 407, 408, 409 dan 410
KUHP, menurut Pasal 411 KUHP dapat menjadi delik adauan dan dalam hal ini
ketentuan Pasal 367 KUHP harus dipergunakan untuk menilai hubungan kekeluargaan
bagi yang bersangkutan.
B.
5. Perzinahan Sebagai Delik Aduan.
Pasal 284 KUHP menentukan:
(1)
Dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan
1e.
a. laki-laki yang beristeri, berbuat zinah sedang diketahuinya bahwa
Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku padanya;
b. perempuan yang bersuami,
berbuat zinah.
2e. a. laki-laki yang telah turut
melakukan perbuatan itu sedang diketahuinya
bahwa kawannya itu bersuami;
b. perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu,
sedang diketahuinya bahwa kawannya itu beristeri dan Pasal 27 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata berlaku pada kawannya itu.
(2) Penuntutan hanya dapat dilakukan atas
pengaduan suami (isteri yang mendapat malu) dan jika pada suami (isteri) itu
berlaku Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam tempo 3 bulan sesudah
pengaduan itu diikuti dengan permintaan akan bercerai atau bercerai tempat
tidur dan meja makan oleh perbuatan itu juga.
(3) Tentang pengaduan ini Pasal 72, 73 dan
75 tidak berlaku
(4) Pengaduan itu boleh dicabut selama
pemeriksaan dimuka sidang pengadilan belum dimulai
(5) Kalau bagi suami dan isteri itu berlaku
Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka pengaduan itu tidak diindahkan
sebelum mereka bercerai atau sebelum keputusan hakim tentang perceraian tempat
tidur dan meja makan mendapat ketetapan.
Tindak
pidana perzinahan (overspel) yang
dimaksudkan dalam Pasal 281 ayat (1) KUHP merupakan suatu opzettelijk delict atau suatu tindak pidana yang harus dilakukan
dengan sengaja.[24] Oleh
karena itu unsur kesengajaan tersebut harus diterbukti pada diri pelaku agar ia
dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur kesengajaan dalam melakukan
salah satu tindak pidan perzinahan.
Tentang
perbuatan-perbuatan mana yang dimaksud sebagai suatu perzinahan tidak
dijelaskan secara tegas, seolah-olah yang dimaksudkan dengan perzinahan itu
sudah jelas bagi setiap orang.[25]
Kata zinah di dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP mempunyai pengertian yang berbeda
dengan pengertian kata zinah dalam hukum islam.
Menurut R. Soesilo:
Zinah adalah persetubuhan yang
dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau
laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini , maka
persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan
dari salah satu pihak Dimana yang dimaksud dengan persetubuhan itu adalah
peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan
untuk mendapatkan anak.[26]
Menurut
D.Simons, seperti yang dikutip oleh Lamintang:
Untuk adanya suatu perzinahan menurut
pengertian Pasal 284 ayat (1) KUHP itu diperlukan adanya suatu hubungan alat-alat
kelamin yang selesai dilakukan antara
dua orang dari jenis kelamin yang berbeda (vleeselijk gemeenschap) atau dengan kata lain untuk adanya suatu
perzinahan, diperlukan adanya persetubuhan yang selesai dilakukan antara
seorang pria dengan seorang wanita.[27]
Dalam
rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP,
undang-undang telah mensyaratkan keharusan adanya pengetahuan pada pelaku pria
yang telah menikah bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 KUHPerdata itu
berlaku baginya. Itu berarti bahwa jika pengetahuan tersebut tidak dapat
dibuktikan oleh penuntut umum atau oleh hakim di sidang pengadilan yang
memeriksa dan mengadili perkara tersebut maka pelaku tidak dapat dinyatakan
bersalah telah melakukan tindak pidana perzinahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar