Kamis, 25 Agustus 2011

SEWA MENYEWA DALAM PERPEKSTIF HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

Globalisasi dalam informasi dan kegiatan perdagangan dunia telah menyebabkan masuknya nilai-nilai, norma-norma dan budaya-budaya tertentu dari masyarakat yang saling berinteraksi. Gejala yang paling umum dan seringkali dijumpai adalah masuk­nya berbagai aktivitas atau kegiatan bisnis yang semula berkem­bang atau dikembangkan di suatu negara tertentu ke dalam kegiatan bisnis negara-negara lainnya. Diadopsinya kegiatan bisnis ter­sebut, langsung atau tidak langsung juga akan mempengaruhi tatanan, sistem atau struktur hukum yang berlaku di negara yang akan mengadopsi kegiatan bisnis tersebut. Dengan demikian berarti akan terjadi lagi adaptasi nilai-nilai sosial dan budaya, ekonomi, dan hukum. Khusus adaptasi hukum, penyesuaian yang dilakukan tidak akan mengalami banyak kesulitan, jika kedua negara tersebut memiliki latar belakang sistem hukum yang sama.
Dengan demikian secara historis, dan melalui hubungan dan kegiatan antar bangsa yang berkembang menjadi globalisasi, telah terjadi kemajemukan budaya, yang pada akhirnya juga mem­bawa kepada kemajemukan hukum. Kemajemukan ini kadang kala bukan tidak menimbulka.n masalah, oleh karena masing­masing budaya yang berinteraksi membawa serta ke dalamnya sistem hukum yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Kemajemukan sistem hukum ini sangat terasa dalam hukum perdata. Hukum perdata sebagai hukum yang mengatur kegiatan atau hubungan antara sesama anggota masyarakat senantiasa me­nemukan bentuknya dalam kehidupan sehari-hari melalui nilai­nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Walau demikian &ngan semakin berkembangnya aktivitas dunia usaha yang makin mengglobal, dimana diperlukan suatu tatanan sistem hukum yang memberikan kepastian hukum dan keadilan, kebutuhan akan hukum yang tertulis makin meningkat. Bahkan dalam negara-negara penganut sistem hukum Common Law yang berpijak pada Judge Made Law-pun dalam banyak hal sudah memperkaya khasanah hukumnya dengan hukum tertulis, yang diundangkan oleh lembaga legislatifnya.
Di Hindia Belanda waktu itu ketentuan mengenai hukum perdatanya, seperti ditentukan dalam Pasal 131 IS, bernuansa pluralisme, yang dalam pandangan banyak orang dikatakan ber­sifat diskriminatif (sebagai akibat pembagian golongan pen­duduk). Sebagai suatu negara yang merdeka, yang memiliki ke­daulatan untuk membentuk hukumnya sendiri, Pemerintah Negara Republik Indonesia, melalui lembaga legislatif dan ekse­kutifnya telah membentuk berbagai macam ketentuan hukum tertulis yang diberlakukan secara umum kepada seluruh masya­rakat Indonesia, tanpa memperhatikan lagi penggolongan yang pernah diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebelum kemerdekaan Indonesia. Walaupun demikian ternyata nuansa pluralisme, yang memberlakukan ketentuan hukum yang berbeda untuk golongan penduduk yang herbeda, sampai sekarang ini masih terasa. Di samping Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam pergaulan hidup sehari-hari masih ditemukan keberla­kuan hukum adat, di samping hukum Islam, yang diakui secara formal di Indonesia.
Keadaan masa Hindia Belanda, yang memberlakukan secara tidak seragam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi seluruh penduduk Hindia Belanda waktu itu, secara formal memang tidak memungkinkan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga setelah Indonesia merdeka, muncul gagasan untuk hanya mem­berlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai pedoman dan bukan undang-undang. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menurut Pasal 131 IS, secara formal diber­lakukan bagi golongan Eropa, melalui pilihan hukum secara tegas  dilakukan secara sukarela, maupun meialui pilihan hukum secara Siam-Siam dalam bentuk millieu bagi golongan Timur Asing dan orang Indonesia Ash, ternyata dalam banyak hal memiliki konsekwensi pmberlakuan dan penundukan hukum yang berbeda-beda untuk tiap-tiap Buku yang diatur di dalamnya.
Keadaan sosial ekonomi Indonesia telah menunjukkan pada kita semua bahwa sebagian besar aktivitas dunia usaha dewasa ini di Indonesia dilakukan oleh pelaku usaha yang menyandarkan diri pada ketentuan Buku II dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini membuat kita mau tidak mau harus mengakui bahwa beberapa bagian dari keentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya yang ber­kaitan dengan aktivitas dunia usaha, yang bersandar pada Buku II dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ternyata sangat relevan bagi kehidupan dan aktivitas dunia bisnis dewasa ini. Bahkan boleh dikatakan bahwa konsep mengenai kegiatan dunia usaha saat ini tidak dapat dilepaskan dari ketentuan-ketentuan yang memaksa dan yang masih berlaku. Perlu dicatat bahwa banyak ketentuan dalam Buku 11 yang sudah dinyatakan tidak berlaku, khususnya yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Ini berarti, bahwa dalam konteks dan konstruksi hukum perdata sendiri, dalam beberapa aspek terjadi pembauran kon­sepsi hukum. Pembauran konsepsi hukum ini dalam banyak hal dituangkan secara tertulis, melalui pembentukan ketentuan hukum bare, atau penerimaan ketentuan hukum yang telah ber­laku sebelumnya bagi sebagian masyarakat Hindia Belanda, menjadi bagian hukum tertulis bagi semua warganegara Indonesia, baik melalui pengakuan legislatif, tindakan eksekutif maupun pu­tusan yudikatif.
Dengan tidak mengurangi arti pentingnya ketentuan hukum lain yang berlaku di Indonesia saat ini, Buku ini, yang merupa­kan rangkaian Seri Hukum Perikatan yang akan diterbitkan secara bertahap guna membantu perolehan pemahaman yang mendalam mengenai perikatan, akan mengacu terutama pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagai ketentuan hukum (tertulis), yang menurut hemat para penulis banyak sekali dipergunakan dan dijadikan acuan dalam setiap perkara hukum di Pengadilan, khususnya perkara yang berkaitan dengan masalah perikatan.
Dengan memiliki pemahaman yang mendalam mengenai konsep perikatan, maka kita akan dibawa kepada pengertian dan pemahaman yang lebih baik mengenai pembentukan konstruksi hukum dalam aktivitas dunia usaha modern, yang senantiasa berhubungan dengan hak dan kewajiban.
Buku ini, sebagai Buku Pertama dalam rangkaian Seri Hukum Perikatan, dengan sub judul "Perikatan Pada Umumnya", dibagi dalam empat Bab. Bab Pertama merupakan Bab Pendahuluan dijelaskan Tatar belakang dan pertimbangan ditulisnya buku ini dalam suatu rangkaian Seri Hukum Perikatan.
Bab Kedua membahas mengenai pengertian dan konsep Perikatan, pengertian dan makna kewajiban, prestasi, dan utang dalam suatu perikatan, hubungan hukum yang lahir dari suatu perikatan, pihak-pihak dalam perikatan, pengertian kreditor, debitor dan hubungan hukum antara keduanya.
Selanjutnya dalam Bab Ketiga, uraian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai pembagian perikatan secara teoritis menurut  doktrin yang berkembang. Dalam Bab ini dibicarakan juga hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban pemenuhan prestasi, per­nyataan lalai memenuhi prestasi, bantuan oleh kreditor, masalah wanprestasi, bentak wanprestasi, akibat hukum wanprestasi, pembelaan dan alasan pembenar wanprestasi, Schuld dan Haftung, masalah ganti rugi, unsur-unsur yang melahirkan ganti rugi, wujud ganti rugi, penentuan besarnya ganti rugi, kewajiban pembuktian kerugian, dan hubungan kausalitas dalam penentuan ada tidaknya kerugian yang akan diganti tersebut, pengertian force majeure dan masalah peralihan risiko dalam hal terjadinya force majeure.
Pembahasan berikannya dalam Bab Keempat membicarakan mengenai pembagian perikatan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Bab ini dibahas mengenai perikatan bersyarat, perikatan dengan ketetapan waktu, perikatan boleh pilih atau mana sluka, perikatan tanggung menanggung atau perikatan tanggung renteng, perikatan yang tidak dapat dibagi, dan perikatan dengan ancaman hukuman.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Pengertian Perikatan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun anti istilah "perikatan". Diawali dengan ketentuan Pasal 1233, yang menyatakan bahwa "Tiap-tiap peri­katan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang­undang", ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam peri­katan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena di­tentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti perikatan adalah hubungan hukum antara dua atau lebih orang (pihak) dalam bidangAapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan, hukum tersebut.
Dari rumusan yang diberikan di alas dapat diketahui bahwa suatu perikatan, sekurangnya membawa serta di dalamnya empat unsur, yaitu:
1.         bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum;
2.         hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (pihak);
3.         hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan;
4.         hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan.
Sebagaimana telah dikatakan, bahwa menurut Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hubungan hukum dalam perikatan dapat lahir karena kehendak para pihak, sebagai akibat dari persettijuan yang dicapai oleh para pihak, dan sebagai akibat perintah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian berarti hubungan hukum ini dapat lahir sebagai akibat perbuatan hukum, yang disengaja ataupun tidak, Serta dari suatu peristiwa hukum, atau bahkan dari suatu keadaan hukum. Peristiwa hukum yang melahirkan perikatan misalnya tampak dalam putusan pengadilan yang bersifat menghukum atau kematian yang mewa­riskan harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya.
Hubungan hukum dalam perikatan ini melibatkan dua orang atau lebih, yang merupakan para pihak dalam perikatan. Pihak­pihak dalam perikatan tersebut, sekurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban pada satu sisi, (yaitu debitor) dan pihak yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut pada sisi lain (yaitu kreditor). Tidak mungkin lahir suatu perikatan yang hanya terdiri dari satu pihak Baja, meskipun dalam pihak tersebut terdapat lebih dari satu orang. Hal ini adalah konseku­ensi logis dari sifat perikatan itu sendiri yang melahirkan kewa­jiban pada pihak yang satu dalam perikatan. Kewajiban pada satu pihak, meskipun tidak disebutkan secara langsung dalam sebagian besar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat melahirkan atau menciptakan pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut.
Dengan menekankan kewajiban yang hams dipenuhi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan kedudukan yang penting bagi pihak yang berkewajiban (debitor). Dalam sudut pandang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pihak yang berkewajiban harus dapat ditentukan dan diketahui, oleh karma tidaklah mungkin suatu perikatan dapat dipenuhi jika tidak diketahui dengan pasti pihak yang berkewajiban untuk melaku­kan kewajiban tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memungkinkan penggantian pihak yang berhak atas pelaksanaan   kewajiban (kreditor) tanpa persetujuan pihak yang ber­kewajiban (debitor).
Hubungan hukum yang lahir adalah hubungan hukum di bidang hukum harta kekayaan. Rumusan tersebut memberikan arti bahwa dalam setiap perikatan terlibat dua macam hal. Pertama menunjuk pada keadaan wajib yang harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban. Kedua berhubungan dengan pemenuhan kewajiban tersebut, yang dijamin dengan harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut. Dalam perspektif ini maka setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang lingkup batasan hukum perikatan. Kewajiban orang tua untuk me­ngurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan.
jika kita perhatikan dengan seksama rumusan yang diberi­kan dalam Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di mana dinyatakan bahwa "Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untulz tidak berbuat sesuatu", maka dapat kita lihat bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sangat menekankan pada kewajiban pemenuhan perikatan, yang dikdompokkan menjadi 3 macam, yaitu dalam bentuk kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan atau uatuk tidak melakukan sesuatu.

B. Kewajiban dan Prestasi
Seperti telah dikatakan dalam uraian terdahulu, Kitab Undang­Undang Hukum Perdata sangat menekankan sekali pada penting­nya penentuan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban. Kewajiban untuk memberikan sesuatu, melaku­kan sesuatu dan atau untuk tidak melakukan sesuatu tersebut disebut dengan prestasi.
Prestasi untuk melaksanakan kewajiban tersebut di atas me­miliki dua unsur penting. Pertama berhubungan dengan per­soalan tanggung jawab hukum atas pelaksanaan prestasi tersebut oleh pihak yang berkewajiban (Schuld).
Dalam hal ini yang dipersoalkan adalah siapa yang berke­wajiban untuk melaksanakan prestasi, tanpa mempersoalkan apakah pemenuhan kewajiban tersebut dapat dituntut oleh pihak terhadap siapa kewajiban tersebut wajib dipenuhi (kreditor). Hal kedua berkaitan dengan pertanggungjawaban pemenuhan kewajiban dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut, tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban untuk memenuhi kewajiban tersebut (Haftung). Pada umumnya dalam setiap perikatan, pemenuhan prestasi yang berhubungan dengan kedua hal tersebut (Schuld dan Haftung) terletak di pundak salah satu pihak dalam perikatan, yang pada umumnya disebut "debitor". jadi setiap pihak yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan, juga dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya berdasarkan pada perikatan yang lahir dari hubungan hukum di antara para pihak dalam perikatan tersebut dari harta kekayaan debitor tersebut. Misalnya, dalam perjanjian jual beli, pembeli yang berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai harga pembayaran barang yang dibeli, dapat dimintakan pertanggungjawabannya oleh penjual untuk memenuhi kewajibannya.
Walau demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa ter­dapat hubungan hukum, di mana pemenuhan prestasinya tidak dapat dituntut oleh pihak terhadap siapa kewajiban harus dipe­nuhi (kreditor) oleh karena tidak ada harta kekayaannya yang dijaminkan untuk memenuhi perikatannya tersebut. jadi dalam hal ini dimungkinkan terjadinya perikatan yang prestasinya ada tetapi tidak dapat dituntut pelaksanaannya (natuurlijke verbintenis). Atau dengan kata lain dimungkinkan terbentuknya perikatan yang menimbulkan Schuld tetapi tanpa Haftung. Contoh yang seringkali dikemukakan adalah prestasi yang lahir dari suatu perjudian. Pihak yang, karena perjudian berkewajiban untuk melaksana­kan prestasi, memiliki kewajiban untuk memenuhi prestasinya tersebut, walau demikian, pihak terhadap siapa prestasi harus dilakukan tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi oleh debitor yang berkewajiban.
Pada pihak lain, juga dapat terjadi bahwa suatu prestasi dipenuhi oleh suatu pihak tertentu, yang tidak berkewajiban untuk memenuhinya. Dalam konstniksi pemberian jaminan kebendaan oleh pihak ketiga, pihak ketiga yang memberikan jaminan kebendaan tidak pernah berkewajiban untuk memenuhi prestasi debitor utama dalam bentuk pelunasan utangnya. Walaupun demikian, pihak terhadap siapa prestasi wajib dipenuhi oleh debitor utama, berhak untuk menjual kebendaan yang dijaminkan ter­sebut dan untuk selanjutnya memperoleh pelunasan atas kewajiban atau prestasi debitor utama. Dalam hal ini terdapat Haftung atas kebendaan yang dijaminkan, tetapi tidak ada Schuld pada pihak pemberi jaminan kebendaan.
Dengan demikian berarti kewajiban atau prestasi yang dilak­sanakan atau dipenuhi haruslah sesuatu yang telah tertentu. Dengan ditentukannya kewajiban atau prestasi yang harus dipe­nuhi, maka pihak terhadap siapa kewajiban atau prestasi tersebut dipenuhi (kreditor) dapat menilai apakah kewajiban atau pres­tasi yang lahir dari perikatan tersebut sudah terpenuhi atau belum. jika prestasi yang telah ditentukan tersebut tidak dipenuhi seluruhnya, maka hal tersebut memberikan hak kepada pihak, terhadap siapa kewajiban atau prestasi harus dipenuhi (kreditor), untuk menuntut penggantian berupa biaya, kerugian dan bunga. Ini berarti suatu prestasi yang telah ditentukan adalah suatu hal yang mutlak ada dalam suatu perikatan.
Seperti telah disinggung di muka, bahwa perikatan dapat lahir dari perjaniian dan undang-undang. Bagi perikatan yang lahir dari perjanjian, kewajiban atau prestasi  yang disepakati oleh para pihak yang membuat perjanjian jelas adalah sesuatu yang dikehendaki oleh para pihak, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam perikatan jenis ini, kewajiban atau prestasi yang lahir dari perikatan ini adalah prestasi yang seyogianya dapat dilak­sanakan. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa adakalanya, dengan berjalannya waktu, kemampuan pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya tersebut (debitor) menjadi mundur sedemikian rupa, sehingga pada akhir­nya perikatan tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Sehubungan dengan kemampuan untuk melaksanakan prestasi tersebut, dikenal adanya dua macam kemampuan, yaitu:
1.         kemampuan obyektif; dan
2.         kemampuan subyektif.
Yang dimaksud dengan kemampuan obyektif adalah kemam­puan untuk melaksanakan kewajiban atau prestasi tanpa mem­perhatikan pihak yang melaksanakan kewajiban atau prestasi tersebut. Kemampuan obyektif ini dibedakan dari kemampuan subyektif, yang melekat pada diri individu yang berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi tertentu (debitor). Suatu peri­katan untuk melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan oleh manusia, sebagai pihak dalam perikatan, adalah batal. Tetapi perikatan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai pihak yang berkewa­jiban dalam perikatan (debitor) tidaklah membatalkan perikatan tersebut, melainkan (kreditor) mendapatkan penggantian dalam, bentuk biaya, rugi dan bunga dari pihak yang tidak mampu melaksanakannya (debitor).
Ditinjau dari sifat prestasi yang harus dilakukan, secara teoritis dikenal dua macam prestasi, yaitu prestasi yang hanya dapat dipe­nuhi atau dilaksanakan oleh debitor sendiri, dari prestasi yang pemenuhannya dapat dilakukan tanpa kehadiran debitor atau prestasi yang tidak perlu dilaksanakan sendiri oleh debitor sendiri. Prestasi yang pertama bersifat spesifik, dan pada umum­nya merupakan kewajiban atau prestasi yang lahir dari perikatan untuk melakukan sesuatu, yang keberadaan dan pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada keahlian diri pribadi debitor. Misalnya perikatan yang lahir dari kesepakatan untuk mencipta­kan lagu, membuat lukisan atau basil karya tertentu, yang semata­mata dibuat karena keahlian dari subyek hukum yang merupa­kan debitor dalam perikatan tersebut.
Sedangkan jenis prestasi kedua, meskipun keberadaannya bergantung pada keberadaan debitor tertentu, namun demikian pelaksanaannya dapat dilakukan tanpa kehadiran atau tanpa bantuan debitor sendiri. Dalam perikatan untuk memberikan se­suatu, misalnya dalam perikatan jual beli, kewajiban pemba­yaran oleh pembeli tidak hams dilakukan sendiri oleh pembeli, melainkan dapat dilakukan oleh pihak lain untuk kepentingan dan atas nama pembeli. Pembayaran yang telah dilakukan oleh pihak lain tersebut demi hukum menghapuskan kewajiban pembeli untuk melakukan pembayaran (kembali) kepada pen­jual. Selanjutnya dalam perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1241 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa "Apabila perikatan itu tidak dilaksanakannya, kreditor boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah yang mengusahakan pelaksanaannya atas biaya debitor".

Perlu dicatat dan diperhatikan bahwa meskipun prestasi tersebut tidak dilakukan sendiri oleh pihak yang berkewajiban (debitor), dan bahwa pelaksanaannya oleh pihak ketiga meng­hapuskan demi hukum kewajiban atau prestasi yang wajib di­laksanakan oleh pihak yang berkewajiban tersebut, maka pelak­sanaan oleh pihak ketiga atau kreditor tersebut harus dilakukan untuk kepentingan dan atau atas nama debitor, dengan tidak menutup kemungkinan lahirnya hubungan hukum baru antara pihak ketiga dengan debitor yang tidak melaksanakan sendiri kewajibannya tersebut.






BAB III
SEWA – MENYEWA

A.    Defenisi
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Demikianlah defenisi yang diberikan oleh Pasal 1548 B.W. mengenai perjanjian sewa-menyewa.
Sewa-menyewa, seperti halnya dengan jual-beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensual. Artinya, ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapai­nya sepakat mangenai unsur 2 pokoknya, yaitu barang dan harga.
Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pi­hak yang terakhir ini adalah membayar harga sewa". Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam jual­beli, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. De­ngan demikian maka penyerahan hanya bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu.
Karena kewajiban pihak yang menyewakan adalah menye­rahkan barang untuk dinikmati dan bukannya menyerahkan hak milik atas barang itu, maka ia tidak usah pemilik dari barang tersebut. Dengan demikian maka seorang yang mempunyai hak nikmat-hasil dapat secara sah menyewakan barang yang dikuasainya dengan hak tersebut.
Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tan-pa kewajiban membayar sesuatu apa, maka yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-pakai. Jika si pemakai barang itu diwa­jibkan membayar, maka bukan lagi pinjam-pakai yang terjadi, tetapi sewa-menyewa. Disebutkannya perkataan "waktu tertentu" dalam uraian pasal 1548 tersebut diatas, menimbulkan pertanyaan apakah maksudnya itu, karena dalam perjanjian sewa-menyewa sebenar­nya tidak perlu disebutkan untuk berapa lama barang disewa­nya, asal sudah disetujui berapa harga sewanya untuk satu jarq (misalnya sewa mobil), satu hari, satu bulan atau satu tahun. Ada yang menafsirkan bahwa maksudnya tidaklah lain dari pada untuk mengemukakan bahwa pembuat undang-undang memang memikirkan pada perjanjian sewa-menyewa dimana waktu-sewa ditentukan, misalnya untuk enam bulan, untuk dua tahun dan sebagainya. Dan penafsiran yang demikian itu menurut penda- pat kami memang tepat. Suatu petunjuk terdapat dalam pasal. 1579, yang hanya .dapat kita mengerti dalam alam-pikiran yang dianut oleh seorang yang pikirannya tertuju pada perjanjian se­wa-menyewa dimana waktu-sewa itu ditentukan. Pasal tersebut berbunyi: "Pihak yang menyewakan Lidak dapat menghentikan sewanya dengan menyatakan hendak memakai sendiri barang­nya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya". Teranglah bahwa pasal ini ditujukan dan jugs hanya dapat di­pakai terhadap perjanjian sewa-menyewa dengan waktu terten­tu. Memang sudah selayaknya bahwa seorang yang sudah menye­wakan barangnya misalnya untuk lima tahun, tidak boleh menghentikan sewanya kalau waktu tersebut belum habis, dengan dalih bahwa ia ingin memakai sendiri barang yang disewakan itu. Tetapi kalau ia menyewakan barangnya tanpa ditetapkannya suatu waktu tertentu, sudah barang tentu ia berhak menghenti­kan sewa itu setiap waktu asal ia mengindahkan cara-cara dan jangka-waktu yang diperlukan untuk pemberitahuan pengakhiran sewa menurut kebiasaan setempat.
Meskipun demikian, peraturan tentang sewa-menyewa yang termuat dalam bab ketujuh dari Buku III B.W. berlaku un­tuk segala macam sewa-menyewa, mengenai semua jenis barang, baik bergerak maupun tak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu-tertentu, oleh ka­rena "waktu tertentu" bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa-menyewa.
Tentang harga-sewa: Kalau dalam jual-beli harga harus be­rupa uang, karena kalau berupa barang perjanjiannya bukan jual-beli lagi tetapi menjadi tukar-menukar, tetapi dalam sewa­-menyewa tidaklah menjadi keberatan bahwa harga-sewa itu be­rupa barang atau jasa.
Sebagai telah diterangkan, segala macam .barang dapat di­sewakan, Perkataan "carter" yang berasal dari dunia perkapalan .itujukan kepada pemborongan pemakaian sebuah kendaraan atau alas pengangkut (kapal laut, kapal terbang, mobil dan la­in-lain) untuk suatu waktu tertentu atau untuk suatu perjalanan tertentu, dengan pengemudinya yang akan tunduk pada perin­tah-perintah yang diberikan oleh si pencarter.

B.     Kewajiban-kewajiban Pihak yang Menyewakan
Pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban :
1.    menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa;
2.    memelihara barang yang disewakan sedemikian hingga itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;
3.    memberikan kepada si penyewa kenikmatan tenteram dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.
Selanjutnya ia diwajibkan, selama waktu-sewa, menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada barangnya yang dise­wakan yang perlu dilakukan, terkecuali pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi wajibnya si penyewa. Juga ia  harus  menanggung si penyewa terhadap semua cacad dari barang yangdisewa­kan yang merintangi pemakaian barang itu, biarpun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibu­atnya perjanjian sewa-menyewa, jika cacad-cacad itu telah mengakibatkan sesuatu kerugian bagi si penyewa, maka kepada­nya pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti-rugi (pasal-pasal 1551 dan 1552).
Kewajiban memberikan kenikmatan tenteram kepada si penyewa dimaksudkan sebagai kewajiban pihak yang menyewa­kan untuk menanggulangi atau menangkis tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ketiga, yang misalnya membantah hak si pe­nyewa untuk memakai barang yang disewanya. Kewajiban terse-but tidak meliputi pengamanan terhadap gangguan-gangguan physik, misalnya orang-orang melempari rumahnya dengan batu atau tetangga membuang sampah dipekarangan rumah yang di­sewa, dan lain sebagainya. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1556 yang berbunyi : "Pihak yang menyewakan. tidaklah diwajibkan menjamin si penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam kenikmatannya yang dilakukan oleh orang-orang pihak ketiga dengan peristiwa-peristiwa tanpa memajukan sesuatu hak atas barang yang disewa dengan tidak mengurangi hak si penyewa untuk menuntut sendiri orang itu". Gangguan-gangguan dengan "peristiwa-peristiwa" itu harus ditanggulangi sendiri oleh si penyewa.

C.    Kewajiban-kewajiban si Penyewa
Bagi si penyewa ada due kewajiban utama, ialah :
1.    Memakai barang yang disewa sebagai seorang "bapak ru­mah yang baik", sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada ba­rang itu menurut perjanjian-sewanya;
2.    Membayar harga-sewa pada waktu-waktu yang telah di­tentukan menurut perjanjian.
Kewajiban untuk memakai barang sewaan sebagai seorang "bapak rumah yang balk" berarti kewajiban untuk memakainya seakan-akan itu barang kepunyaannya sendiri.
Jika si penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu keperluan lain dari pada yang menjadi tujuan pemakaiannya, atau suatu keperluan sedemikian rupa hingga dapat men6rbitkan kerugian kepada pihak yang menyewakan, maka pihak ini, me­nurut keadaan,dapat meminta pembatalan sewanya (pasal 1561). Misalnya, sebuah rumah kediaman dipakai untuk perusahaan atau bengkel mobil.
Kalau yang disewa itu sebuah rumah kediaman, maka si pe­nyewa diwajibkan memperlengkapi rumah itu dengan perabot rumah secukupnya; jika tidak, ia dapat dipaksa untuk mengo­songkan rumah itu, kecuali jika is memberikan cukup jaminan untuk pembayaran uang sewanya (pasal 1581). Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa perabot rumah itu dijadikan jaminan untuk pembayaran uang sewa. Hal ini menemukan realisasinya dalam apa yang dinamakan "pandbeslag" yang akan kita bicara­kan ditempat lain.
Sebagaimana telah kita lihat, si penyewa diwajibkan mela­kukan pembetulan-pembetulan kecil dan sehari-hari. Pasal 1583 memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan pembetulan-pembetulan kecil dan sehari-hari itu, sebagai berikut: "jika tidak ada persetujuan, maka dianggap sebagai demi­kian: pembetulan-pembetulan pada lemari-lemari toko, tutupan jendela, kunci-kunci dalam, kaca-kaca jendela dan segala sesuatu yang dianggap termasuk itu, menurut kebiasaan setempat".
Selanjutnya bagi seorang penyewa tanah, oleh pasal 1591 diletakkan kewajiban, etas ancaman membayar ganti-rugi, untuk melaporkan kepada si pemilik tanah tentang segala peristiwa yang dilakukan diatas pekarangan-pekarangan yang disewa. Maksudnya adalah bahwa si pemilik dapat mengambil tindakan-tin­dakan yang dianggapnya perlu untuk menghentikan perbuatan­perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan pada tanah milik­nya.

D.    Perihal Risiko Dalam Sewa-Menyewa
Menurut Pasal 1553, dalam sewn-menyewa itu risiko me­ngenai barang yang dipersewakan dipikul oleh si pemilik barang, yaitu pihak yang menyewakan. Tentang apakah artinya "risiko" itu sudah kita ketahui dari bagian umum dari Hukum Peijanjian yang diatur dalam Buku III B.W. den juga dalam pembahasan kita mengenai perjanjian jual-beli. Untuk mengulangi lagi : risiko adalah kewajiban untuk memikul keriigian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pi­hak, yang menimpa barang yang menjadi obyek perjanjian.
Peraturan tentang risiko dalam sewa-menyewa itu tidak be­gitu jelas diterangkan oleh pasal 1553 tersebut seperti halnya de­ngan peraturan tentang risiko dalam jual-beli yang diberikan oleh Pasal 1460, dimana dengan terang dipakai perkataan Aanggung­an" yang berarti risiko. Peraturan tentang risiko dalam sewa-me­nyewa itu harus kita ambil dari pasal 155: tersebut secara meng­ambil kesimpulan. Dalam pasal ini dituliskan bahwa, apabila ba­rang yang disewa itu musnah karena suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan, salah satu pihak, make perjanjian sewa-menye­wa gugur demi hukum.Dari perkataan "gugur demi hukum" ini­lah kita simpulkan bahwa masing-masing pihak sudah tidak da­pat menuntut sesuatu ape dari pihak-lawannya, hal mane berarti bahwa kerugian akibat musnahnya barang yang dipersewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan. Dan ini me­mang suatu peraturan risiko yang sudah setepatnya, karena pa­da asasnya setiap pemilik barang wajib menanggung segala risiko. etas barang miliknya. Pada waktu kita membahas perjanjian tu­kar-menukar, telah Kita kemukakan bahwa peraturan risiko yang diberikan oleh pasal 1545 dalam perjanjian tukar-menukar itu memang sangat tepat, sehingga peraturan tersebut sebaiknya di­pakai sebagai pedoman untuk segala macam perjanjian bertim­bal-balik yang timbul dalam praktek. Sebagaimana diketahui, pasal 1545 tersebut meletakkan risiko pada pundak masing-ma­sing pemilik barang.
Berhubung dengan sangat sukarnya dewasa ini bagi seorang pemilik rumah atau bangunan untuk mengakhiri persewaan (yang harus diajukan kepada Kantor Urusan Perumahan atau K.U.P.), maka dalam praktek pasal 1553 tersebut banyak sekali diajukan sebagai alasan untuk memutuskan hubungan sewa-me­nyewa apabila rumah atau bangunan itu sebagian rusak. Pemilik rumah atau bangunan itu dalam hal yang demikian terlalu amat tergesa-gesa mengatakan bahwa rumah atau bangunan itu sudah musnah. Bahkan pernah ada juga yang mengajukan dalil bahwa sebuah rumah atau bangunan yang diduduki tentara sudah dapat dianggap sebagai "musnah" dalam arti bahwa kenikmatan atas barang-barang tersebut telah hilang untuk waktu tertentu. Maksud pemilik rumah atau bangunan itu ialah agar supaya hu­bungan sewa-menyewa  diputuskan oleh instansi yang berwajib dan apabila tentara yang menduduki bangunan itu pergi, iada­pat menolak penghuni (penyewa) yang lama untuk memasuki lagi rumah atau bangunan itu.

E.     Gangguan dari Pihak Ketiga
Apabila selama waktu-sewa, si penyewa dalam pemakaian barang yang disewakan, diganggu oleh seorang pihak ke­tiga berdasar atas suatu hak yang dikemukakan oleh orang pihak ketiga itu, maka dapatlah si penyewa menuntut dari pihak yang menyewakan supaya uang-sewa dikurangi secara sepadan dengan sifat gangguan itu.
Apabila orang pihak ketiga itu sampai menggugat si penye­wa dimuka Pengadilan, maka si penyewa dapat menuntut supa­ya pihak yang menyewakan ditarik sebagai pihak dalam perkara perdata itu untuk melindungi si penyewa.
Sudah kita lihat diatas bahwa, apabila gangguan-gangguan itu berupa perbuatan-perbuatan physik tanpa mengemukakan sesuatu hak, maka itu adalah diluar tanggungan si yang menye­wakan dan harus ditanggulangi sendiri oleh si penyewa.
Kemudian juga sudah kita lihat bahwa dalam hal sewa ta­nah, gangguan-gangguan dari pihak ketiga yang berupa peristiwa peristiwa tanpa mengajukan sesuatu hak harus dilaporkan kepa­da pemilik agar orang ini dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menghentikan perbuatan-perbuatan itu yang mungkin akan menimbulkan kerusakan-kerusakan (pasal 1591).

F.     Mengulang-Sewakan
Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperijinkan oleh pemilik barang, tidak diperbolehkan mengulang-sewakan barang yang disewanya, maupun melepaskan sewanya kepada orang la­in. Diadakannya perbedaan antara "mengulang-sewakan" dan "melepaskan sewanya" kepada orang lain, mempunyai maksud sebagai berikut : Dalam hal mengulang-sewakan, si penyewa barang bertin­dak sendiri sebagai pihak dalam suatu perjanjian sewa-menyewa kedua yang diadakan olehnya dengan seorang pihak ketiga, se­dangkan dalam hal "melepaskan sewanya" ia mengundurkan di­ri sebagai penyewa dan menyuruh seorang pihak ketiga untuk menggantikan dirinya sebagai penyewa, sehingga pihak ketiga tersebut berhadapan sendiri dengan pihak yang menyewakan.
Jika si penyewa sampai berbuat apa yang dilarang itu, ma­ka pihak yang menyewakan dapat minta pembatalan perjanjian­sewanya dengan disertai pembayaran kerugian, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah dilakukannya pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang-sewa dengan orang ketiga tersebut.
Jika yang disewa itu sebuah rumah tempat tinggal yang di­diami sendiri oleh si penyewa, maka dapatlah ia, atas tanggung­jawab sendiri, menyewakan sebagian kepada orang lain kecuali kalau kekuasaan itu telah dilarang dalam perjanjian-sewanya (pasal 1559).
Dengan demikian dapat kits simpulkan bahwa mengulang­sewakan dan melepaskan sewanya kepada orang lain dilarang, kecuali kalau hal-hal itu diperjanjikan, tetapi kalau menyewakan sebagian dari sebuah rumah tempat tinggal yang disewa adalah diperbolehkan, kecuali kalau hal itu telah dilarang dalam perjan­jian-sewanya.

G.    Sewa Tertulis dan Sewa Lisan
Meskipun sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensu­al, namun oleh undang-undang diadakan perbedaan (dalam aki­bat-akibatnya) antara sewa tertulis dan sewa lisan.
Jika sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewa itu berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang diten­tukan sudah habis, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu.         
Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat dengan tu­lisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkar jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepa­da si penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pembe­ritahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka­ waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama. Perihal sewa tertulis itu diatur dalam pasal 1570 dan peri­hal sewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam pasal 1571.
Jika seorang penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu-sewa'yang ditentukan dalam suatu perjanjian anpan sewa tertulis, dibiarkan menempati rumah atau ruangan tersebut, maka dianggaplah si penyewa itu tetap menguasai barang yang disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama, untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat, dan tak dapatlah ia meninggalkan rumah atau ruangan itu atau dikeluarkan dari situ, melainkan sesudahnya dilakukan pemberitahuan penghentian se­wanya menurut kebiasaan setempat (pasal 1587).
Dengan uraian yang panjang lebar itu dimaksudkan bahwa sewa tertulis tersebut, setelah habis waktunya dan penyewa di biarkan menempati rumah-sewa, berobah menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat diakhiri menurut adat kebiasaan setempat,

H.    Jual-Beli Tibak Memutuskan Sewa-Menyewa
Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan, kecuali apabila ia telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barangnya (pasal 1576). Dengan ketentuan ini Undang-undang bermaksud melin­dungi si penyewa terhadap si pemilik baru, apabila barang yang sedang disewa itu dipindahkan kelain Langan. Dengan mengingat akan maksud undang-undang tersebut, perkataan "dijual" dalam Pasal 1576 itu sudah lajim ditafsirkan secara analogis (lu­as) hingga tidak terbatas pada jual-beli saja, tetapi juga meliputi lain-lain perpindahan milik, seperti: tukar-menukar, penghibah­an, perwarisan dan lain-lain. Pendeknya, perkataan "dijual" da­lam pasal 1576 au ditafsirkan sangat luas hingga menjadi "dipin­dahkan miliknya".
Sebaliknya, perkataan "sewa" atau "persewaan" dalam pasal tersebut sudah lajim ditafsirkan secara sempit atau terbatas, yaitu dalam arti: bahwa yang tidak diputuskan oleh jual-beli atau yang harus dihormati oleh pemilik baru itu hanya hak-sewa saja. Sebab adalah mungkin bahwa didalam perjanjian sewanya telah dicantumkan janji-janji khusus untuk kepentingan si pe­nyewa (disamping hak-sewanya) misalnya: kepada si penyewa dijanjikan bahwa setelah persewaannya berlangsung sepuluh ta­hun lamanya, ia diperkenankan membeli barang yang disewanya itu dengan harga yang murah yang ditentukan dalam perjanjian. Janji semacam itu, yang meinberikan kepada si penyewa suatu "hak opsi", tidak berlaku terhadap pemilik baru. Begitu pula apabila perjanjian-sewanya disertai dengan suatu perjanjian pe­nanggungan ("borgtocht", "guaranty"), dimana seorang pihak ketiga menanggung pembayaran uang-sewanya terhadap pemi­lik, maka perjanjian penanggungan ini dianggap hapus apabila barang yang disewa itu dijual kepada orang lain. Pendapat ini adalah tepat karena si penarggung ("borg", "guarantor") telah menyanggupi penanggungannya kepada pemilik lama dan tidak kepada orang lain. Demikianlah artinya bahwa perkataan "sewa" dalam pasal 1576 ditafsirkan secara sempit atau terbatas.

9. Pandbeslag
Seorang pemilik rumah yang menyewakan rumalinya, oleh Undang-undang diberikan hak-utama ("privilege") atas barang­barang perabot rumah yang dipakai untuk menghiasi rumah ter­sebut, guna menjamin pembayaran tunggakan uang-sewa. Arti­nya: dalam suatu eksekusi (lelang-sita) atas barang-barang pera­bot rumah yang dipakai untuk menghiasi rumah tersebut, si pe­milik rumah harus paling dahulu diberikan sejumlah yang cukup dari pendapatan lelangan untuk melunasi tunggakan uang-sewa yang menjadi haknya, sebelum kreditor-kreditor lainnya mene­rima bagian mereka. Pemilik rumah dapat minta dilakukannya penyitaan atas barang-barang perabot rumah tersebut biarpun barang-barang itu dipindahkan ketempat lain, asal is mengaju­kan pormintaannya itu dalam jangka-waktu empatbelas hari sete­lah barang-barang itu diangkut ketempat tersebut. Bahkan ba­rang-barang kepunyaan orang lain, asal dipakai sebagai mebel dirumah sewaan itu dapat disita pula (lihat: pasal-pasal 1140 dan 1152).
Penyitaan yang dilakukan oleh pemilik rumah atas barang­barang perabot rumah itu dinamakan "pandbeslag", dalam per­kataan mana "Pand" berarti "persil" atau pekarangan (jadi bu­kan berarti gadai).




BAB IV
PENUTUP

Defenisi sewa–menyewa terdapat pada Pasal 1548 BW. Sewa–menyewa suatu hal dengan jual beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umunya, adalah suatu perjanjian konsensual, artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai 2 unsur pihak yaitu barang-barang jasa.
Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk ditawari oleh pihak lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini, adalah membayar  “harga sewa”. Jadi barang diserahkan tidak untuk dimulai seperti halnya dengan jual–beli tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaanya, dengan demikian maka penyerahan hanya bersifat menyerahkan kecurangan belaka atas barang yang disewa itu.
Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa  kewajiban membayar sesuatu apa, maka terjadi adalah suatu perjanjian pinjam pakai. Jika sipemakai barang itu diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam pakai yang terjadi tetapi sewa menyewa.

2 komentar:

  1. Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi hingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun profit,bergabung sekarang juga dengan kami
    trading forex fbsasian.com
    -----------------
    Kelebihan Broker Forex FBS
    1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
    2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
    3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
    4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
    5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL Indonesia dan banyak lagi yang lainya
    Buka akun anda di fbsasian.com
    -----------------
    Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
    Tlp : 085364558922
    BBM : fbs2009

    BalasHapus
  2. Halo,
     Saya adalah Mr.ALEXANDER ROBERT, dari ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM, ini adalah pinjaman Asli yang akan mengubah hidup Anda menjadi bisnis yang lebih baik, perusahaan pinjaman pinjaman, Diberikan dan diberi lisensi untuk menawarkan pinjaman kepada individu, perusahaan swasta dan orang-orang yang membutuhkan bantuan keuangan. rendahnya tingkat manfaatnya sebanyak 2%.

    Saya adalah Tuan ALEXANDER ROBERT, akan memberikan penghormatan saya kepada semua pemohon yang sah. Anda tidak akan kecewa dengan saya dalam urusan bisnis ini karena perusahaan akan memastikan pinjaman Anda terserah Anda, itu juga tidak akan berakhir di sana, kami memiliki tim ekspat yang mengerti hukum investasi, mereka akan membantu Anda, memberikan tip yang akan membantu Anda mengelola investasi Anda sehingga Anda menginvestasikan pinjaman Anda, jadi Anda tidak lagi bangkrut dalam hidup Anda dan tawaran menakjubkan ini hadir dengan pinjaman Anda, Hubungi kami hari ini melalui email alexanderrobertloan@gmail.com

    Layanan kami meliputi:

    * Pinjaman pribadi
    * Amankan Pinjaman
    * Pinjaman tidak dipagari
    * Hasil pinjaman
    * Pelatihan pinjaman
    Pinjaman pinjaman
    Pembayaran pinjaman
    * Pinjaman siswa
    * Pinjaman Komersial
    * Pinjaman Otomatis
    * Resolusi Pinjaman
    Pinjaman Pembangunan
    Pinjaman pinjaman
    * Pinjaman Bisnis
    * Pinjaman pendidikan
    * Penunjukan salah

    Silahkan isi formulir permohonan pinjaman di bawah ini dan kembalikan kepada kami untuk melayani kami dengan lebih baik melalui e-mail:
    alexanderrobertloan@gmail.com

    DATA PEMOHON

    1) Nama Lengkap:
    2) Negara:
    3) Alamat:
    4) Negara:
    5) Jenis Kelamin:
    6) Status Perkawinan:
    7) Pekerjaan:
    8) Nomor Telepon:
    9) Posisi saat bekerja:
    10) Pendapatan bulanan:
    11) Jumlah Pinjaman yang Dibutuhkan:
    12) Durasi Pinjaman:
    13) Tujuan Pinjaman:
    14) Agama:
    15) Sudahkah anda melamar sebelum:
    16) Tanggal lahir:
    Terima kasih,
    Mr ALEXANDER ROBERT (alexanderrobertloan@gmail.com)

    BalasHapus