BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cita-cita
bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen ke empat (UUD 1945 A-4) adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut
diselenggarakan pembangunan nasional disemua bidang kehidupan yang
berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh,
terpadu, dan terarah. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya
pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan
kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal.[1]
Pembangunan
kesehatan pada dasarnya menyangkut semua
segi kehidupan, baik fisik, mental, maupun sosial ekonomi. Dalam perkembangan
pembangunan kesehatan selama ini, telah terjadi perubahan orientasi, baik tata
nilai maupun pemikiran terutama mengenai upaya pemecahan masalah dibidang
kesehatan yang dipengaruhi oleh politik, ekonomi, sosial, budaya, pertanahan
dan keamanan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.[2]
Perubahan orientasi tersebut akan mempengaruhi proses penyelenggaraan
pembangunan kesehatan.
Kewajiban
untuk melakukan pemerataan dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh
lapisan masyarakat, tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Keberhasilan
pembangunan di berbagai bidang dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dan kesadaran akan hidup
sehat. Hal ini mempengaruhi meningkatnya kebutuhan pelayanan dan pemerataan
yang mencakup tenaga, sarana, dan prasarana baik jumlah maupun mutu. Karena itu
diperlukan pengaturan untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan
kesehatan. Dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan,
mengarahkan dan memberi dasar bagi pembangunan kesehatan diperlukan perangkat
hukum kesehatan yang dinamis. Dalam rangka pembangunan sektor kesehatan yang
demikian kompleks dan luas, sangat dirasakan bahwa peraturan perundang-undangan
yang mendukung upaya kesehatan perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan.
Jika
dilihat dari segi aspek yuridisnya, dengan dikembangkannya sistem kesehatan
nasional, sudah tiba saatnya untuk mengkaji kembali dan melengkapi peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan, dengan mengeluarkan berbagai produk
hukum yang lebih sesuai.[3]
Pemerintah
Republik Indonesia telah menerbitkan berbagai peraturan dan ketentuan hukum
dalam bidang kesehatan agar pelayanan dan pemeliharaan kesehatan dapat berjalan
dengan baik. Pemerintah menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan
utama dalam mencapai masyarakat adil dan makmur. Peraturan dan ketentuan hukum
ini tidak saja di bidang kedokteran, tetapi mencakup seluruh bidang kesehatan
seperti, farmasi, obat-obatan, rumah sakit, kesehatan jiwa, kesehatan
masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan lingkungan, hygiene dan lain-lain.
Sampai sekarang sudah ada puluhan peraturan dan perundang-undangan di bidang
kesehatan yang diterbitkan pemerintah. Kumpulan peraturan-peraturan dan ketentuan
hukum inilah yang dimaksud dengan hukum kesehatan.[4] Salah
satu ketentuan hukum di bidang kesehatan yang diterbitkan oleh pemerintah
melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ( selanjutnya
disebut UU Kesehatan).
Dewasa
ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, telah
berkembang dengan pesat dan di dukung oleh sarana kesehatan yang semakin
canggih.[5]
Perkembangan ini turut mempengaruhi masyarakat awam yang dapat mengarah
terhadap tindakan penyalahgunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan, seperti
halnya orang yang melakukan transfusi darah di luar kewenangannya.
Di dalam
tubuh manusia terdapat darah yang merupakan bagian tubuh yang sangat vital yang
mempunyai fungsi antara lain membawa zat makanan keseluruh bagian tubuh,
membawa zat asam dari saluran pernafasan tubuh serta sebagai bagian dari
antibody pertahanan tubuh dari serangan penyakit.[6] Darah
tidak dapat diproduksi sendiri oleh manusia tapi hanya didapat dari tubuh
manusia dengan cara mendonorkan darahnya di Unit Transfusi Darah Palang Merah
Indonesia (selanjutnya disebut UTD-PMI). Untuk melindungi, baik donor maupun
resipien dari kemungkinan buruk, donor harus dalam keadaan sehat dan bersifat
sukarela, karena pembayaran dapat mendorong penyembunyian riwayat kesehatan
atau pola tingkah laku seseorang. Persediaan darah yang cukup dan
berkesinambungan memungkinkan tindakan therapy dokter menjadi lebih optimal.
Keputusan
untuk melakukan transfusi darah pada seorang pasien ditentukan oleh seorang
dokter di rumah sakit berdasarkan diagnosis pasien tersebut. Dokter menentukan
jenis komponen darah yang diperlukan, jumlah darah dan waktu transfusi.
Formulir permintaan darah yang disampaikan UTD-PMI memuat hal-hal tersebut,
identitas pasien serta nama dan tanda tangan dokter yang meminta. Formulir
disertai contoh darah pasien kira-kira 3 (tiga) ml yang telah diberi label nama
pasien.[7]
Bila ada
permintaan darah dari rumah sakit, petugas UTD-PMI akan memeriksa golongan
darah pasien. Darah donor yang sudah lolos uji saring bibit penyakit dan
mempunyai golongan darah yang sama dengan
golongan darah pasien dilakukan uji cocok serasi.[8] Bila
darah donor dinyatakan cocok maka darah tersebut dikirim kerumah sakit yang
diminta. Setelah sampai di rumah sakit, darah tersebut ditransfusikan ke pasien
yang memerlukan perawatan dengan pengawasan dokter.
Transfusi
darah merupakan tindakan medik yang bertujuan untuk menyelamatkan hidup pasien.
Transfusi darah sering dilakukan dalam keadaan darurat. Rumah sakit sering
mengalami kekurangan persediaan darah, atau persediaan darah ada tetapi tidak
sesuai dengan golongan darah pasien yang membutuhkan.
Pada
hakikatnya usaha transfusi darah merupakan bagian penting dari tugas pemerintah
di bidang pelayanan kesehatan rakyat dan juga merupakan suatu bentuk
pertolongan sesama umat manusia. Disamping aspek pelayanan kesehatan rakyat,
terkait pula aspek-aspek sosial, organisasi, interdepedensi Nasional dan
Internasional yang luas baik dalam rangka kerjasama antara Pemerintah maupun
antar Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah Nasional. [9]
Pemakaian
darah sebagai salah satu obat yang belum ada gantinya akhir-akhir ini semakin
meningkat, sedangkan sumber darah itu masih tetap manusia sendiri hal mana
menimbulkan kepincangan antara pengadaan darah dan kebutuhan darah yang dapat
menyebabkan timbulnya jual beli darah yang tidak sesuai dengan falsafah bangsa
dan tidak sesuai pula dengan resolusi yang diambil oleh Kongres Internasional
Palang Merah yang ke XXII di Teheran pada tahun 1973 maupun World Health
Assembly ke XXVII tahun 1974.[10] Oleh
karena di KUHP tidak mengatur mengenai transfusi darah, maka ketentuan mengenai
tindak pidana transfusi darah yang dilakukan oleh pelaku yang tidak memiliki
kewenangan mengacu pada UU Kesehatan dan PP Nomor 18 Tahun 1980 tentang Transfusi
Darah (PP Nomor 18 Tahun 1980). Di dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur
pengadaan dan penyumbangan darah, pengolahan dan pemindahan darahnya sendiri
dalam arti yang luas dan mengingat faktor-faktor kesukarelaan donor, larangan
untuk memperdagangkan darah dan pengawasan tentang pelaksanaannya.
Transfusi
darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu (Pasal 35
ayat (1) UU Kesehatan). Dengan demikian orang yang tidak mempunyai keahlian dan
kewenangan melanggar Undang-undang sebagaimana Pasal 80 ayat (3) UU Kesehatan :”Barangsiapa dengan sengaja
melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi
organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah). Walaupun sanksi pidana sudah sangat jelas diatur didalam Pasal 80 ayat
(3) UU Kesehatan, tetapi masih ada saja orang yang melakukan transfusi meski
tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Orang
yang berwenang untuk melakukan transfusi darah adalah petugas teknologi
transfusi darah dan asisten transfusi darah dibawah pengawasan dokter. Dalam
praktik, transfusi darah juga dilakukan oleh orang yang bukan merupakan tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini dapat dilihat dalam putusan
Pengadilan Negeri Medan No.79/Pid.B/2007/PN.Mdn terhadap pelaku yang melakukan
transfusi darah tanpa kewenangan, dimana pelaku bukan sebagai pegawai atau
petugas UTD PMI Kampung Durian Medan, sehingga dia tidak mempunyai kewenangan
untuk melakukan transfusi darah. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik
untuk meneliti pemidanaan terhadap pelaku transfusi darah tanpa kewenangan di
Pengadilan Negeri Medan.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah :
1.
Apakah transfusi darah yang dilakukan oleh orang yang
bukan tenaga kesehatan dapat dipidana?
2.
Apa dasar pertimbangan hakim untuk menghukum pelaku
transfusi darah yang dilakukan oleh orang yang bukan tenaga kesehatan padahal
darah yang diambil belum digunakan kepada orang lain?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui :
1.
Pemidanaan terhadap pelaku transfusi darah yang dilakukan oleh orang yang bukan tenaga
kesehatan.
2.
Dasar pertimbangan hakim untuk menghukum pelaku transfusi
darah yang dilakukan oleh orang yang bukan tenaga kesehatan padahal darah yang
diambil belum digunakan kepada orang lain.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian
ini bermanfaat untuk :
1.
Memperluas wawasan penulis tentang pemidanaan terhadap
pelaku transfusi darah tanpa kewenangan.
2.
Sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi para akademis
hukum, praktisi hukum, penegak hukum, serta pemerintah.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Tinjauan
Umum Tentang Pemidanaan
A.1. Pengertian Pidana
dan Pemidanaan
Menurut Darwan Prints, pidana adalah
hukuman yang dijatuhi atas diri seseorang yang terbukti secara sah dan
menyakinkan melakukan tindak pidana.[11] Menurut
Barda Nawawi, terdapat berbagai macam pendapat dari para sarjana tentang
pengertian pidana, antara lain :
1.
Sudarto, menyebutkan pengertian pidana adalah penderitaan
yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu.
2.
Ruslan Saleh, menyebutkan pidana adalah reaksi atas
delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara
pada pembuat delik itu.[12]
Pidana
(hukuman) adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh
hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum
pidana. Ada 2 (dua) macam pidana yang dapat dijatuhkan terhadap diri terdakwa
yaitu :
1. Hukuman pokok, terdiri dari :
a)
Hukuman
mati ;
b)
Hukuman
penjara ;
c)
Hukuman
kurungan ; dan
d)
Hukuman
denda.
2.
Hukuman
tambahan, terdiri dari :
a)
Pencabutan
beberapa hak tertentu ;
b)
Perampasan
barang tertentu ; dan
c)
Pengumuman
keputusan hakim.[13]
Dengan
adanya penderitaan yang ditimpakan tersebut, maka masyarakat menyadari
pengertian pidana, dan dengan demikian anggota masyarakat harus berhati-hati
untuk melakukan suatu perbuatan agar tindakannya tidak melanggar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku karena bagi anggota masyarakat yang melakukan
pelanggaran akan dikenakan pidana atau hukuman.
Pemidanaan diberikan berkenaan
dengan tidak dipatuhinya kaidah-kaidah hukum pidana yang berlaku.[14] Oleh
karena itu, hakim dalam menjatuhkan putusannya harus menyadari makna dari
putusan yang diberikannya itu dan harus
mengetahui tujuan yang akan dicapai dengan pidana yang dijatuhkannya itu.
Pidana yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang memerlukan perwujudan lebih
lanjut. Dengan adanya ketetapan di dalam peraturan saja suatu pidana tidak akan
terwujud dengan sendirinya, dengan kata lain harus ada badan atau instansi yang
berdiri atas orang-orang dan alat-alat yang secara nyata merealisasikan aturan
pidana tersebut. Negaralah yang berhak menjatuhkan pidana melalui alat-alat
pemerintah karena negaralah yang memegang subjectief
strafrecht (ius puniendi) yang diberi kewenangan untuk menjatuhkan pidana
terhadap objectief strafrecht (ius
punale).[15]
A.2. Tujuan Pemidanaan
Awalnya
sanksi yang berupa pidana dikenal sebagai salah satu sarana untuk membalas
dendam terhadap seorang pelaku kejahatan, tanpa memperhitungkan apakah setimpal
atau tidak sanksi pidana yang dijatuhkan tersebut dengan tindak pidana yang
dilakukannya.[16] Tujuan
sanksi pidana hanyalah membuat si pelaku kejahatan menjadi jera dan masyarakat
takut untuk berbuat kejahatan. Perkembangan pemikiran ke arah perbaikan hidup
pelaku kejahatan baru dikenal sejak adanya teori-teori penjatuhan hukuman.
Tujuan
pemberian pidana terhadap terdakwa ialah sekedar memberikan suatu rasa yang
tidak enak, baik yang tertuju pada jiwa, kebebasan, harta benda, hak-hak
ataupun terhadap kehormatannya, sebagai pembalasan atas perbuatan yang telah
dilakukannya sehingga ia akan bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatannya
lagi.[17]
Hakim
dalam penghukuman yang berupa penjatuhan pidana harus menyadari apa makna
pemidanaan tersebut atau dengan kata lain harus menyadari apa yang hendak
dicapai dengan yang dikenakan terhadap sesama manusia yang telah melanggar
ketentuan undang-undang.[18] Suatu
sanksi yang berupa pidana dapat menjadi keras sekali dirasakan yang terkadang
sampai melenyapkan kemerdekaan seseorang beberapa tahun lamanya, dan ada
kalanya kemerdekaan yang dirampas tersebut mempunyai arti besar terhadap sisa
hidup orang yang dikenainya.[19]
Tanpa
mengurangi kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan
kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan terdakwa, baik penuntut umum maupun
hakim diharapkan menuntut dan menjatuhkan hukuman yang setimpal sehingga
putusannya mempunyai dampak menjerakan (special
deterrent effect), di samping memenuhi aspirasi dan rasa keadilan
masyarakat juga merupakan daya tangkal bagi anggota masyarakat yang mempunyai
potensi untuk menjadi pelaku tindak pidana (general
deterrent effect).[20]
Herbert
L. Packer sebagaimana yang dikutip oleh Petrus Iwan Panjaitan memberikan
pendapat mengenai pemberian sanksi pidana sebagai berikut:
a.)
Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat
hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana.
b.)
Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang
sudah ada, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan bersifat
segera.
c.)
Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama
atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan
manusia itu sendiri. Ia merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat,
cermat dan secara manusiawi. Ia merupakan pengancam apabila digunakan secara
sembarangan dan secara paksa.[21]
Menurut
Herbert L. Packer , tujuan pemidanaan sebenarnya hanya ada 2 (dua), yaitu :
a.) memberikan suatu penderitaan, dan
b.) mencegah terjadinya kejahatan.[22]
Beberapa
ahli hukum memberikan pendapat bahwa tujuan pemberian hukuman / pemidanaan itu
bermacam-macam, antara lain :
a.) diarahkan pada pembalasan dendam,
b.)
diarahkan agar orang takut berbuat kejahatan, dan
Menurut
P.A.F. Lamintang, pada dasarnya ada 3 (tiga) pokok pemikiran tentang tujuan
yang hendak dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :
a.)
untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri ;
b.)
untuk membuat orang menjadi jera melakukan
kejahatan-kejahatan ;
c.)
untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak
mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain.[24]
Sehubungan dengan tujuan pemidanaan,
J.E. Sahetapy berpendapat bahwa pemidanaan bertujuan untuk pembebasan dan makna
pembebasan menghendaki agar si pelaku tidak saja harus dibebaskan dari alam
pikiran yang jahat dan keliru, melainkan harus dibebaskan juga dari kenyataan
sosial, dimana pelaku terbelenggu.[25] Menurut Ruslan Saleh, sebenarnya tipe tujuan dari
pemidanaan ada 3 (tiga) yaitu :
1)
Tujuan
instrumental ;
2)
Tujuan
intrinsik ;
3)
Tujuan
menurut organisasi. [26]
Ad.1:
Tujuan Instrumental.
Maksudnya adalah bahwa
pidana merupakan suatu alat untuk tujuan yang bersifat umum, yaitu untuk pengaturan
kehidupan bersama di dalam sektor tertentu dan reduksi atau regulasi
kriminalitas.
Ad.2:
Tujuan Intrinsik.
Alat-alat hukum pidana sebenarnya bukan pula tidak dapat dihindarkan dalam
mencapai tujuan instrumental. Banyak sekali disebut sebagai teknik mempengaruhi tidak dapat diterapkan
dan ini semata-mata alasan kemanusiaan. Hukum pidana diadakan bukanlah guna
mempertahankan ketertiban masyarakat lebih baik atau untuk dapat memidana. Hal
itu juga telah dilakukan oleh penguasa yang sebelumnya, tetapi tanpa hukum
pidana atau hukum secara pidana atau dengan hukum pidana atau hukum acara
pidana yang masih jauh dari sempurna. Hukum pidana dan hukum acara pidana
justru lahir guna mengatur bagaimana mempertahankan ketertiban masyarakat, dan
hal dengan sengaja boleh menimpakan derita kepada warga yang dipidana.
Ad.3: Tujuan Menurut Organisasi.
Tujuan hukum pidana mempunyai 2 (dua) sifat. Disatu pihak alat-alat di
dalam lingkungan hukum pidana mempunyai tugas mengatur warganya, hal ini
termasuk dalam tujuan instrumental. Dilain pihak ia mempunyai kewajiban, dalam
melaksanakan tugas-tugasnya mempertahankan sejumlah nilai dan asas-asas hukum
yang mangatur tindakan itu sendiri, ini termasuk tujuan hukum pidana. Tujuan
instrumental dan instrinsik adalah tujuan khas hukum pidana, tetapi
perwujudannya terjadi dalam konteks organisasi. Dalam bentuk organisasi inilah
tujuan ini dapat tercapai dan mempunyai bentuk nyata.
A.3. Teori-teori Pemidanaan
Mengenai teori-teori pemidanaan
(dalam banyak literatur hukum disebut dengan teori hukum pidana atau strafrecht theorien) adalah berhubungan
langsung dengan pengertian hukum pidana subyektif. Teori-teori ini adalah
mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan
menjalankan pidana. Menurut Andi Hamzah, teori-teori untuk membenarkan atau
memberlakukan pemidanaan atau penjatuhan pidana dapat dibagi dalam 3 (tiga)
kelompok, yaitu :
1.
Teori absolut atau teori pembalasan (Vergeldings theorien) ;
2.
Teori relatif atau teori tujuan (Doel theorien) ;
3.
Teori
Gabungan (Vernegings theorien).[27]
Ad.1:Teori absolut atau teori pembalasan (Vergeldings
theorien).
Dasar pijakan dari teori ini adalah
pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu
pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena dilatarbelakangi
penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan
kepentingan hukum (pribadi, masyarakat, atau negara) yang telah dilindungi
sehingga ia harus diberikan hukuman/pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa
kejahatan) yang dilakukannya. Penjatuhan pidana kepada para penjahat yang pada
dasarnya berupa penderitaan dapat dibenarkan karena penjahat tersebut telah
lebih dulu membuat penderitaan bagi orang lain. Setiap kejahatan, tidak boleh
tidak, harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya. Tidak dilihat akibat-akibat
apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana tersebut, tidak memperhatikan ke
masa depan, baik terhadap diri penjahat itu sendiri maupun terhadap masyarakat.
Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, akan
tetapi bermaksud satu-satunya memberikan penderitaan bagi pelaku tindak pidana
(penjahat).
Tindakan pembalasan di dalam
penjatuhan pidana mempunyai 2 (dua) arah, yaitu:
1.
Ditujukan kepada penjahatnya (sudut subyektif dari
pembalasan) ;
2.
Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di
kalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).[28]
Bila seseorang melakukan kejahatan
itu berarti ada kepentingan hukum yang terlanggar dan akibat yang timbul
sebagai konsekwensi hukumnya tidak lain adalah berupa suatu penderitaan, baik
penderitaan terhadap fisik maupun psikis, antara lain berupa perasaan tidak
senang, sakit hati, amarah, tidak puas, terganggunya ketentraman batin, dan
sebagainya. Timbulnya perasaan tidak senang ini tidak hanya bagi korban
langsung, tetapi juga pada masyarakat pada umumnya sehingga untuk memuaskan
korban dan masyarakat dan menghilangkan penderitaan seperti ini (sudut
subyektif), maka kepada pelaku kejahatan harus diberikan pembalasan yang setimpal
(sudut obyektif), yakni berupa pidana yang tidak lain adalah suatu penderitaan.
Oleh sebab itulah teori pembalasan ini dapat dikatakan mengejar kepuasan hati
bagi korban dan keluarganya maupun bagi masyarakat pada umumnya.
Ad.2:Teori relatif atau teori tujuan (Doel theorien)
Teori relatif atau teori tujuan
berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan
tata-tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah menciptakan
tata-tertib di dalam masyarakat dan untuk menegakkan tata-tertib itu diperlukan
pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan
harapan agar tata-tertib masyarakat dapat tetap terpelihara. Ditinjau dari
sudut pertahanan masyarakat maka pidana itu adalah sesuatu yang terpaksa perlu (noodzakelijk) diadakan.[29] Untuk
mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi maka pidana itu harus mempunyai
salah satu dari ketiga macam sifat di bawah ini, yakni :
1.
Bersifat
menakut-nakuti (afschrikking);
2.
Bersifat
memperbaiki (verbetering/reclasering);
3.
Bersifat
membinasakan (onschadelijk maken).[30]
Sifat pencegahan dari teori ini ada 2 (dua) macam, yaitu
:
1.
Pencegahan
umum (general preventie);
Menurut teori pencegahan umum, pidana
yang dijatuhkan kepada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut
untuk berbuat kejahatan karena penjahat yang dijatuhi pidana tersebut dijadikan
contoh bagi masyarakat agar tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa
dengan perbuatan penjahat tersebut. Titik berat pencegahan umum yakni terletak
pada pelaksanaan pidana yang menakutkan orang, dan tujuannya yang membuat agar
khalayak umum menjadi takut untuk melakukan kejahatan karena melihat penjahat
tersebut dipidana. Dengan demikian, maka eksekusi pidana haruslah bersifat
kejam. Agar pelaksanaan pidana dapat diketahui oleh semua orang maka eksekusi
harus dilakukan di muka umum secara terbuka.
2.
Pencegahan
khusus (speciale preventie).
Teori pencegahan
khusus ini lebih maju jika dibandingkan dengan teori pencegahan umum. Menurut
teori ini, tujuan pidana ialah mencegah agar pelaku kejahatan yang telah
dipidana tidak mengulangi lagi kejahatannya dan mencegah agar orang yang telah
berniat buruk tidak jadi mewujudkan niatnya tersebut ke dalam bentuk perbuatan
nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya
ada 3 (tiga) macam, yaitu :
1.)
Menakut-nakuti
;
2.)
Memperbaiki
; dan
3.)
Membuat
menjadi tidak berdaya.
Maksud
menakut-nakuti adalah bahwa pidana tersebut harus dapat memberi rasa takut bagi
orang-orang tertentu agar ia tidak mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya.
Tapi ada juga orang-orang yang tidak merasa takut untuk mengulangi kejahatan
yang pernah dilakukannya, dan pidana yang dijatuhkan terhadap orang seperti ini
haruslah yang bersifat dapat memperbaikinya, sedangkan bagi orang-orang yang
ternyata tidak dapat lagi diperbaiki maka pidana yang dijatuhkan terhadap
penjahat tersebut haruslah yang bersifat menjadikannya tidak berdaya dan/atau
bersifat membinasakan. [31]
Ad.3: Teori Gabungan (Vernegings theorien)
Pendukung
teori gabungan yang menitikberatkan pada tata-tertib hukum antara lain: Thomas
Aquino, dan Vos. Menurut Thomas Aquino, yang menjadi dasar pidana ialah
kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana maka harus ada kesalahan pada diri si
pelaku, dan kesalahan (schuld) itu
hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana
yang dijatuhkan pada orang yang melakukan perbuatan yang dilakukan dengan
sukarela inilah yang tiada lain bersifat pembalasan.
Menurut
Vos, bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud pidana yang
mengandung sifat menjerakan atau menakutkan dengan pelaksanaannya di depan umum
yang mengharapkan suggestieve terhadap anggota masyarakat lainnya agar tidak
berani melakukan kejahatan lagi. Pelaksanaan yang demikian menurut teori ini
memandang pidana sebagai suatu yang terpaksa perlu “noodzakelijk” demi untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.[32]
B. Tinjauan Umum Tentang Transfusi Darah
B.1. Pengertian Dan Tujuan Transfusi Darah
Istilah
“transfusi darah” seringkali diartikan secara luas oleh dokter jika yang
dimaksudkan mereka adalah transfusi sel darah merah. Keluhan terhadap kelemahan
linguistik ini adalah bahwa darah seringkali ditransfusikan tanpa perhatian
yang cukup pada kebutuhan spesifik penderita atau terhadap kemungkinan efek membahayakan dari transfusi.[33]
Pengertian
transfusi darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari
seseorang (donor) kepada orang lain. Pasal 1 huruf a PP Nomor 18 Tahun 1980
menyebutkan bahwa transfusi darah merupakan tindakan medis memberikan darah
kepada penderita, yang darahnya telah tersedia dalam botol atau kantong
plastik. Hal ini dilakukan guna meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut
oksigen, memperbaiki kekebalan tubuh, dan memperbaiki volume darah tubuh.
Seseorang yang membutuhkan sejumlah besar darah dalam waktu yang segera, misalnya
karena pendarahan hebat dapat menerima darah lengkap untuk membantu memperbaiki
volume cairan dan sirkulasinya. Darah lengkap juga dapat diberikan jika
komponen darah yang diperlukan tidak dapat diberikan secara terpisah tergantung
kepada alasan dilakukannya transfusi, dapat diberikan darah lengkap atau
komponen darah (misalnya sel darah merah, trombosit, faktor pembekuan, plasma
segar yang dibekukan/bagian cairan darah atau sel darah putih). Komponen darah
yang paling sering di transfusikan adalah packed
red blood cells (PRC), yang dapat memperbaiki kapasitas pengangkut oksigen
dalam darah. Komponen ini dapat diberikan kepada seseorang yang mengalami
pendarahan atau penderita anemia berat. Yang jauh lebih mahal daripada PRC
adalah frozen-thawed red blood cells,
yang biasanya dicadangkan untuk transfusi golongan darah yang jarang.
Jika
memungkinkan akan lebih baik jika transfusi yang diberikan hanya terdiri dari
komponen darah yang diperlukan oleh resipien. Memberikan komponen tertentu
lebih aman dan tidak boros. Tekhnik penyaringan darah sekarang ini sudah jauh
lebih baik ,sehingga transfusi lebih aman dibandingkan sebelumnya. Tetapi
masih ditemukan adanya resiko untuk resipien seperti reaksi alergi dan infeksi.
Meskipun kemungkinan terkena AIDS atau Hepatitis melalui transfusi sudah kecil,
tetapi harus tetap waspada akan resiko ini dan sebaliknya transfusi hanya
dilakukan jika tidak ada pilihan lain.[34]
Pada
transfusi darah, seorang donor menyumbangkan darah lengkap dan seorang resipien
menerimanya. Transfusi darah dilakukan tergantung keadaan resipien yang dapat
hanya menerima sel dari darah atau hanya menerima faktor pembekuan dan beberapa
komponen darah lainnya. Transfusi dari komponen darah tertentu memungkinkan dilakukannya
pengobatan yang khusus mengurangi risiko terjadinya efek samping dan dapat
secara efisien menggunakan komponen yang berbeda dari satu unit darah untuk
mengobati beberapa penderita.
Transfusi darah yang paling aman
adalah dimana donor juga berlaku sebagai resipien, karena hal ini menghilangkan
risiko terjadi ketidakcocokan dan penyakit yang ditularkan melalui darah.
Kadang jika seorang pasien mengalami pendarahan atau mengalami pembedahan,
darah dapat dikumpulkan dan diberikan kembali. Yang lebih sering terjadi adalah
pasien menyumbangkan darah yang kemudian akan diberikan lagi dalam suatu
transfusi, misalnya sebulan sebelum dilakukannya pembedahan, pasien
menyumbangkan beberapa unit darahnya untuk ditransfusikan jika diperlukan
selama atau sesudah pembedahan.
Transfusi darah atau komponennya
dapat memperbaiki banyak defisiensi, walaupun kadang-kadang hanya sementara,
dan pada sebagian besar kasus, efek ini dapat dicapai tanpa efek yang tidak
diharapkan. Walaupun demikian, beberapa jenis ketidakcocokan kadang-kadang
dapat menyebabkan masalah. Setiap sel darah merah mempunyai banyak antigen yang
berbeda pada permukaan selnya, sehingga sel seorang donor nyata mengandung
antigen yang berbeda dari resipien. Disamping itu, plasma donor dapat berisi protein
yang merupakan benda asing untuk resipien. Untunglah transfusi sel darah atau
plasma yang mengandung antigen asing menyebabkan reaksi langsung hanya jika
serum resipien berisi antibodi yang sesuai.[35] Karena
begitu pentingnya darah bagi orang lain yang membutuhkan, maka transfusi darah
secara klinis telah sangat berkembang.
Adapun
beberapa tujuan tranfusi darah adalah:
1)
Memelihara dan mempertahankan kesehatan donor.
2)
Memelihara keadaan biologis darah atau komponen-komponen
agar tetap bermanfaat.
3)
Memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal
pada peredaran darah atau stabilitas peredaran darah.
4)
Mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah.
5)
Memperbaiki fungsi hemostatis.
Beberapa
kemajuan di dalam pembangunan kesehatan terutama didalam bidang transfusi darah
dimungkinkan akibat tersedianya komponen darah secara luas. Hal tersebut sesuai
dengan apa yang menjadi tujuan.
Pembangunan Kesehatan, yaitu tercapainya kemampuan untuk hidup sehat
bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat
optimal, sebagai salah satau unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional.
Pengertian sehat dengan demikian meliputi kesehatan jasmani, rohani, serta
sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan.[37]
B.2. Prosedur Pengambilan dan Transfusi Darah
Darah
untuk transfusi wajib diperiksa terhadap bibit penyakit sifilis (mulai tahun
1972), hepatitis B (1985), HIV AIDS (1992), sedangkan pemeriksaan terhadap
bibit penyakit hepatitis C sangat dianjurkan mulai tahun 1995.[38] Setiap
UTD-PMI dapat melakukan uji saring darah donor terhadap setiap kantong darah
untuk transfusi. Hasil uji saring positif pada tahun 1999-2000 adalah 0,49 %
untuk sifilis, 1,78% untuk hepatitis B,0,55% untuk hepatitis C, dan 0,007%
untuk HIV. Setiap tahun donor darah mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1969
jumlah darah 28.000 kantong, pada tahun 1999-2000 jumlahnya mencapai 1,1 juta
kantong.
Biarpun
darah yang disumbangkan donor sukarela tidak dibayar, tetapi agar darah
tersebut dapat ditransfusikan harus melalui serangkaian pemeriksaan untuk
memastikan darah tersebut layak ditransfusikan. Maka untuk melakukan transfusi
darah harus melalui prosedur yang ketat untuk mencegah efek samping (reaksi
transfusi) yang dapat timbul. Prosedur
itu adalah sebagai berikut :
1)
Penentuan golongan darah A,B,O, dan Rh.Baik donor maupun
resipien harus mempunyai golongan darah yang sama.
2)
Pemeriksaan untuk donor terdiri atas :
b)
Penapisan (screening)
terhadap antibodi dalam serum donor dengan tes antiglobin indirek (tes Coombs
indirek).
c)
Tes serologik untuk hepatitis (B dan C), HIV, Sifilis
(VDRL) dan CMV.
3) Pemeriksaan untuk resipien :
a) Major side cross match : serum resipien
diinkubasikan dengan RBC donor untuk mencari antibodi dalam serum resipien.
b) Minor side cross match : mencari
antibodi dalam serum donor, tujuannya hampir sama dengan prosedur 2a.
4) Pemeriksaan klerikal (identifikasi) :
Memeriksa dengan
teliti dan mencocokkan label darah resipien dan donor. Reaksi transfusi berat sebagian
besar timbul akibat kesalahan identifikasi atau klerikal.
5) Prosedur pemberian darah yaitu :
a)
Hangatkan darah perlahan-lahan.
b)
Catat nadi,tensi,suhu, dan respirasi sebelum transfusi.
c)
Pasang infus dengan infus set darah (memakai alat
penyaring).
d)
Pertama diberi larutan NaCl fisiologik.
e)
Pada lima menit pertama pemberian darah-beri tetesan
pelan-pelan dan awasi adanya urtikaria, bronkhospasme, rasa tidak enak,
menggigil. Selanjutnya awasi tensi, nadi, suhu, dan respirasi.
6) Kecepatan
transfusi yaitu :
a)
Untuk syok hipovolemik---beri tetesan cepat.
b)
Normovolemi---beri
500 ml/6 jam.
c)
Pada anemia Kronik, penyakit jantung paru diberi tetesan perlahan-lahan 500 ml/24
jam atau beri diuretika (furosemid) sebelum transfusi.[39]
Pemeriksaan
darah memerlukan bahan (reagensia) dan perlengkapan (sebagian besar sekali
pakai seperti kantong darah, yellow tip, dll). Reagensia sekali pakai, seperti
penggolongan darah A,B,O dan Rhesus, bahan pemeriksaan kadar hemoglobin calon
donor, reagensia uji saring darah dan uji cocok serasi. Perkiraan minimal biaya
pengganti pengolahan darah perkantong sekitar Rp.106.000.
Sebaiknya
unit donor diusahakan sama dengan golongan A,B,O, dan Rh penderita. Tidak perlu
melakukan penggolongan kembali A,B,O dan Rh unit donor, karena sudah dilakukan
dipusat transfusi regional (bersama uji penyaringan antibodi sederhana).
Tidaklah berguna untuk memilih golongan darah O bagi penderita yang bukan
bergolongan darah O, sebaliknya penderita golongan AB dapat ditransfusikan
dengan golongan darah A atau B, jika sebagian besar plasma dikeluarkan dari
unitnya. Jika penggolongan dan penyaringan telah dilakukan, maka tujuan utama
pencocokan silang adalah memastikan kecocokan ABO antara unit donor dan
resipien.[40]
Langkah
terakhir pada transfusi darah yang aman, adalah memeriksa (di antara dua orang)
informasi dalam formulir permintaan transfusi, label kecocokan, label pada unit
daerah, catatan penderita, dan gelang identifikasi penderita, di tempat tidur
penderita atau di ruang bedah, dan hasilnya harus cocok. Jika terdapat keraguan
atau penyimpangan transfusi harus ditunda sampai penyimpangan diatasi. Nomor
pendonoran, golongan darah, dan tanggal kaduluarsa setiap unit darah yang di
transfusikan harus di masukkan dalam catatan
penderita segera setelah transfusi di jalankan. Inilah satu-satunya cara untuk
memastikan bahwa ketepatan pemberian setiap unit darah diketahui. Jika terjadi
reaksi merugikan, maka pusat transfusi regional tidak akan mengalami kesulitan
dalam melacak donor jika nomor pendonoran diketahui.[41]
B.3. Syarat-syarat Teknis Menjadi Donor
Pasal 1
huruf d PP Nomor 18 Tahun 1980 menyatakan bahwa penyumbang darah (donor) adalah
semua orang yang memberikan darah untuk maksud dan tujuan transfusi darah.
Sebelum dilakukan transfusi, terlebih
dahulu penyumbang darah (donor) disaring keadaan kesehatannya. Denyut nadi,
tekanan darah dan suhu tubuhnya diukur, dan contoh darahnya di periksa untuk
mengetahui adanya anemia dan donor tidak pernah dan sedang menderita keadaan
tertentu yang menyebabkan darah mereka tidak memenuhi syarat untuk
disumbangkan. Dan keadaan yang dimaksud adalah hepatitis, penyakit jantung,
kanker (kecuali bentuk tertentu misalnya kanker kulit yang terlokalisasi), asma
yang berat, malaria, kelainan pendarahan, AIDS dan kemungkinan tercemar oleh
virus AIDS.
Biasanya donor tidak di perbolehkan
menyumbangkan darahnya lebih dari satu
kali setiap dua bulan. Untuk yang memenuhi syarat tersebut, penyumbang
darah (donor) dapat melakukan transfusi darah. Keseluruhan proses membutuhkan
waktu sekitar satu jam, pengambilan darahnya sendiri hanya membutuhkan waktu 10
menit. Biasanya ada sedikit rasa nyeri pada saat jarum dimasukkan, tetapi setelah
itu rasa nyeri akan hilang. Standard unit pengambilan darah hanya sekitar 0,48
liter. Darah segar yang diambil, disimpan dalam kantong plastik yang sudah
mengandung bahan pengawet dan komponen anti pembekuan. Sejumlah kecil contoh
darah dari penyumbang di periksa untuk mencari adanya penyakit infeksi seperti
AIDS, hepatitis virus dan sifilis. Darah yang didinginkan dapat digunakan dalam
waktu selama 42 hari.
Pada keadaan tertentu , misalnya
mengawetkan golongan darah yang jarang seperti sel darah merah yang dapat di
bekukan dan disimpan sampai selama 10 tahun. Karena transfusi darah yang tidak
cocok dengan resipien dapat berbahaya, maka darah yang di sumbangkan, secara
rutin digolongkan berdasarkan jenisnya, apakah golongan darah A, B, AB, atau O
dan Rh-positif atau Rh-negatif.[42] Sebagai
tindakan pencegahan berikutnya, sebelum memulai transfusi maka ada beberapa
syarat tekhnis yang harus dipenuhi oleh seorang penyumbang darah (donor) yaitu
:
1.
Umur
17-60 tahun
(pada usia 17 tahun diperbolehkan menjadi
donor darah bila mendapat ijin tertulis dari orangtua sampai usia tahun donor
masih dapat menyumbangkan darahnya dengan jarak penyumbangan 3 bulan atas
pertimbangan dokter).
2.
Berat
badan minimum 45kg
3. Temperatur
tubuh : 36,6-37,5o C (oral)
4.
Tekanan
darah baik,yaitu:
Sistole = 110-160
mm Hg
Diastole = 70-100
mm Hg.
5.
Denyut nadi ; Teratur 50 -100 kali/menit.
6.
Hemoglobin
Wanita minimal = 12 gr %.
Pria minimal = 12,5 gr %.
7.
Jumlah penyumbangan pertahun paling banyak 5 kali, dengan
jarak penyumbangan sekurang-kurangnya 3 bulan. Keadaan ini harus sesuai dengan keadaan umum donor.[43]
Jadi
untuk menyiapkan darah transfusi dengan tingkat keamanan yang terjamin
diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM), pelayanan laboratorium dan biaya yang
memadai. Jika semua keperluan tersebut
dipenuhi disertai pelaksanaan prosedur
baku yang sempurna, maka dipastikan tidak akan ada orang yang akan tertular
HIV atau penyakit lainnya melalui transfusi darah.[44]
[1] Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
alinea 1-3
[3] Bahder Johan Nasution, 2005, Hukum
Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, hal.3
[4] M.Jusuf Hanafiah & Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran &Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran,
Edisi Ketiga, Jakarta, hal.29
[5] Bahder Johan Nasution, Op.Cit hal.4
[6] Palang Merah Indonesia, http://www.utdd-pmijateng. blogspot.com/2007/08/ pengertian_tranfusi_darah.
[7] Asep Purnama, HIV dan Transfusi
Darah Di Indonesia, http://rsudtchillers.com/ rsud/?p=9
[8] Ibid
[9] Penjelasan Umum Peraturan pemerintah Nomor 18 Tahun 1980 tentang Transfusi Darah, alinea 4
[10] Ibid,
alinea 5
[11] Darwan Prints, 1997, Hukum Anak
Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.23.
[12] Barda Nawawi Arif dan Muladi, 1992, Teori-teori
Dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal.2.
[15] Ibid,
[16] R. Atang Ranoemihardja, Op. Cit, hal.133
[17] Ibid
[18] Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, hal.100.
[19] Roeslan Saleh, 1987, Stelsel Pidana
Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, hal.2.
[20] Ibid hal 3
[21] Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif
Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.39.
[23] R. Atang Ranoemihardja, Op. Cit,
hal.133.
[24] P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum
Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hal. 23.
[32] Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hal.29.
[33] Sally C Darvies dan
Milica Brozovic, Transfusi Sel Darah
Merah, dalam Majalah Petunjuk Penting Transfusi , Penerbit Buku Kedokteran,
Edisi Kedua, hal.9.
[34] Palang Merah Indonesia,
http://www.indonesiaindonesia.com/f/13695-transfusi-darah/
[35] Marcela Contreras &
P.L.Mollison, Penyulit Imunologis Pada
Transfusi, Dalam Majalah Petunjuk Penting Transfusi, Penerbit Buku
Kedokteran, Edisi Kedua, hal.44
[36] Palang Merah Indonesia,
http://utdd-pmijateng.blogspot,
Op.Cit.
[37] Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum
Kedokteran di Dunia Internasional, Simposium Hukum Kedokteran, Penerbit
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, hal.147
[40] Marcella Contreras & P.I.Mollison, Uji
Sebelum Transfusi Dan Kebijakan Pemesanan Darah, Petunjuk Penting
Transfusi, Penerbit Buku Kedokteran, Edisi Kedua, hal.7
[41] Ibid, hal.7
[43] Palang Merah Indonesia, http://www.palangmerah.org/pelayanan_transfusi.asp.