Kamis, 25 Agustus 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN LEMBAGA/BADAN PERADILAN DI INDONESIA


SEJARAH PERKEMBANGAN LEMBAGA/BADAN PERADILAN
DI INDONESIA

A.    Masa Penjajahan Hindia Belanda
Sebagaimana kita ketahui, pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, penduduk di Indonesia dibagi ke dalam beberapa golongan. Yang mendasarinya adalah Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS. Berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum negeri Belanda yang juga dapat disbeut hukum Barat, sedangkan bagi golongan Bumi Putera dan mereka yang disamakan berlaku hukum adatnya masing-masing. Terhadap golongan Bumiputera ini dapat juga berlaku hukum Barat jika ada kepentingan umum dan kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian.
Karena adanya perbedaan perlakuan hukum tersebut, konsekuensinya adalah adanya perbedaan pula dalam badan-badan peradilan berikut hukum acaranya. Peradilan untuk Golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad van Justitie dan Residentie-gerecht sebagai peradilan sehari-hari.
Untuk golongan Bumiputera dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan distrik dan sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah yang termuat dalam Herziene Inlandscb Reglement disingkat HIR, sedangkan untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Recbtsgelement Buitengewesen atau Rbg.
Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diatur sebagai berikut:
a.       Untuk Pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan Organisasi Peradilan dan Kebijaksanaan Kehakiman di Hindia Belanda (Regelement op de Rechterlijke Organisatie en bet Beleid der Justitie disingkat R.O).
b.      Untuk luar pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan Peradilan dengan seberang laut (Rechtsreglemen, Buitengewesten/Rbg).
Sedangkan dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg yang berbunyi:
Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan di luar pengadilan. Namun demikian HIR maupun RBg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tesebut, pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Bergerlijke Recbtsvordering disingkat Rv, S. 1847-52 jo 1849-63)
Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang membedakan tiga kelompok penduduk tersebut di atas, bagi golongan Bumiputera, hukum material yang berlaku pada dasarnya diterapkan hukum adat. Pengadilannya tunduk pada pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama. Hukum acara yang dipergunakan adalah HIR untuk daerah Pulau Jawa dan Madura dan RBg untuk daerah di luar pulau Jawa dan Madura (tanah seberang).
Bagi Golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum Perdata material yang berlaku adalah Burgerlijk Wetboek-BW (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Kophandel-Wvk (Kitab Undang-undang Hukum Dagang). Hukum acaranya adalah Reglement Acara Perdata (Rv).
Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang baik sebagai eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda , yaitu:
1.      Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia
2.      Badan arbitrase tentang kebakaran;
3.      Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.

B.     Zaman Penjajahan Jepang
Pada waktu Jepang masuk menggantikan kedudukan penjajahan Belanda, Peradilan Raad van Justitie dan Residen tiegerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama Tiboo Hooin. Badna peradilan ini merupakan peradilan kelanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan RBg.
Dengan demikian pada waktu penjajahan Jepang penyelesaian kasus arbitrase juga mengacu pada Buku III Rv. Yang berjudul Recbtspleging van onderscheiden aard (peradilan bentuk lainnya), Titel I di bawah judul van de uitspraken van scheidsmannen (keputusan-keputusan yang dijatuhkan juru pemisah) dan diatur dalam Pasal 615 sampai dengan 651.
Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah Jepang pernah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa: semua badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum dan Undang-undang dari Pemerintah dahulu- Pemerintahan Hindia Belanda- tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang.

C.    Zaman Indonesia Merdeka
untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum, pada waktu Indonesia merdeka, diberlakukanlah Pasal 11 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan:
"Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang- undang Dasar ini".
Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah mengeluar­kan Peraturan Nomor 2 yang dalam pasal 1 menyatakan "segala badan‑badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdiri­nya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17Agustits 1945 selainya belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut".
Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, RBg dan RVJ Mengenai badan peradilannya di beberapa bagian Republik Indonesia yang dikuasai Belanda sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai peradilan sehari-hari dan Appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua. Selanjutnya pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat, landrechter ini menjadi Pengadilan Ncgeri, sedangkan Appelraad menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di daerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.
Ketika berlakunya Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya di seluruh Indonesia hanya ada tiga macam badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat kedua atau banding, dan Mahkamah Agung sebagai peradil­an tingkat kasasi. Namun diluar itu ternyata masih dikenal peradilan adat dan swapraja.
Pada zaman Repuhlik Indonesia Serikat, menurut konstitusi yang berlaku saat itu (konstitusi RIS), dalam pasal 192 konstitusi RIS tersebut dinyatakan bahwa:

  1. Peraturan-peraturan, undang-undang dan ketentuan-keten­tuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut pasal  197 Konstitusi RIS pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949) tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RIS sendiri, selama ada sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentitan itu tidak di cabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ke­tentuan-ketentuan tata usaba atas kuasa konstitusi ini.
  2. Pelanjutan peraturan-peraturan undang-undang dan keten­tuan-ketentuan tata usaba yang sudah ada sebagai dite­rangkan dalam ayat I hanya berlaku, sekedar peraturan­-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak bertentangan dengan ketentuan Piagam Pemulihan Kedaulatan Status UNI, Persetujuan peralihan ataupun persetujuan-persetu­juan yang lain yang berhubungan dengan pemulihan kedau­latan dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-keten­tuan konstitusi ini tidak memerlukan peraturan-peraturan undang-undang atau tindakan menjalankan. "
Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950, pasal 142-nya menyatakan bahwa:
"Peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaba yang sudah ada pada tangal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendir, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak diabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-undang Dasar ini.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv juga tetap berlaku. Keadaan ini  terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

RUANG LINGKUP EKSEKUSI BIDANG PERDATA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pengertian Eksekusi
Sering orang berbicara tentang eksekusi, tetapi tidak tahu secara tepat di dalam perundang-undangan mana hal itu diatur. Akibatnya, terjadilah tindakan cara-cara eksekusi yang menyimpang, oleh karena pejabat yang melaksanakannya tidak berpedoman kepada ketentuan perundang-undnagan. Padahal pedoman aturan ata cara eksekusi sudah lama diatur.
Di dalam membicarakan pengertian eksekusi, akan dicoba menjelaskan beberapa hal yang erat kaitannya dengan pemahaman pengertian eksekusi itu sendiri. Akan dicoba mengutarakan hal yang berkenan dengan tempat pengaturan eksekusi dalam perundang-undangan, alih bahasanya ke dalam bahasa Indonesia, serta kapan eksekusi itu diperlukan.
Eksekusi  sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu negara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau RBG. Bagi setiap orang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi, harus merujuk ke dalam aturan perundang-undangan yang diatur dalam HIR atau RBG.

B.     Asas-asa Eksekusi
Sebelum membahas prinsip eksekusi perlu kiranya disinggung serba sedikit pembakuan istilah eksekusi dalam bahasa Indonesia. Hal ini perlu dibicarakan untuk menghindari pemakaian istilah yang berkelebihan.
Disini akan dikemukakan istilah yang dipergunakan oleh Prof. Subketi. Beliau mengalihkannya dengan istilah “pelaksanaan” putusan. Begitu pula Nyonya Retno Wulan Sutantio, SH, juga mengalihkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah “pelaksanaan” putusan. Dengan mengemukakan pendapat kedua penulis tersebut, kiranya cukup dijadikan sebagai perbandingan. Hampir semua penulis telah membakukan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi. Dan pembakuan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi, kami anggap sudah tepat. Menjalakan putusan pengadilan, tiada lain daripada melaksanakan isi putusan pengadilan. Yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela.
Dengan diterima istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti istilah eksekusi, tidak ada tempatnya menggabungkan kedua istilah itu dalam satu rangkaian penulisan. Penulisan dan pemakaian kedua istilah itu dalam satu rangkaian adalah berkelebihan. Misalnya, ada yang menulis dan mempergunakannya, pelaksanaan eksekusi. Rangkaian penggabungan yang seperti itu ditinjau dari segi bahasa dan istilah adalah berkelebihan.

BAB II
RUANG LINGKUP EKSEKUSI BIDANG PERDATA

A.    Perbedaan Eksekusi Riil dengan Eksekusi Pembayaran Uang
Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan. Adakalanya secara hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau diktum putusan ilah melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”. Adakalanya hubungan hukum yang mesti dipenuhi sesuai dengan amar putusan ialah melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi yang seperti ini selalu disebut eksekusi pembayaran uang.
Untuk memahami lebih jelas letak perbedaan antara eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang, ada baiknya kita kembali memperhatikan asas eksekusi yang berkenaan dengan prinsip kondemnator. Seperti yang sudah dijelaskan, salah satu asas eksekusi hanya dapat dijalankan atas putusan pengadilan yang bersifat kondemnator. Mengenai ciri putusan yang bersifat kondemnator sudah dijelaskan rinciannya, yakni dalam amar putusan terdapat pernyataan “penghukuman” terhadap penggugat untuk melakukan salah satu perbuatan:
a.       Menyerahkan suatu barang;
b.      Mengosongkan sebidang tanah atau rumah;
c.       Melakukan suatu perbuatan tertentu;
d.      Menghentikan suatu perbuatan atau keadaan;
e.       Membayar sejumlah uang.
Rincian acuan diataslah yang menentukan suatu putusan bersifat kondemnator. Bila salah satu rincian acuan ini terdapat dalam amar atau diktum putusan, maka itu merupakan petunjuk hukum yang menandakan putusan tersebut bersifat kondemnator. Dan setiap putusan yang bersifat kondemnator, dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum eksekutorial (dapat dilaksanakan secara paksa oleh kekuatan umum).
Demikian pula seharusnya mengenai penghukuman menghentikan sesuatu perbuatan, merupakan eksekusi riil berupa tindakan secara nyata menghentikan perbuatan yang dihukumkan kepada tergugat. Penghentian perbuatan yang dihukumkan mesti dihentikan secara langsung dan nyata oleh pihak tergugat. Misalnya tergugat dihukum untuk menghentikan penggalian atas tanah terperkara. Berarti tergugat secara langsung dan nyata harus berhenti melakukan penggalian di atas tanah tersebut.
Apabila ditinjau dari segi praktek, eksekusi terhadap pembayaran sejumlah uang pada umumnya tetap melalui proses penjualan lelang terhadap harta benda kekayaan tergugat, sehingga diperlukan tata cara yang cermat dalam pelaksanaan eksekusinya, yang garis besarnya:
·         harus melalui tahap proses eksekutorial beslag; dan
·         kemudian dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan jawatan lelang.
Bertitik tolak dari gambaran diatas, boleh dikatakan undang-undang tidak memuat aturan yang berkenaan dengan eksekusi riil. Jika diperhatikan ketentuan menjalankan putusan yang diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR atau Pasal 206 sampai Pasla 240 RBG, adalah aturan rincian tata tertib eksekusi mengenai pembayaran sejumlah uang. Di situ diatur tata cara, mulai dari somasi (peringatan), eksekutorial beslag, pengumuman lelang, dan penjualan lelang.
Terlepas dari itu semua perlu diperingatkan di sini, sekalipun secara teoritis eksekusi riil sifatnya mudah dan sederhana, bukan berarti eksekusi riil terlepas sama sekali dari berbagai masalah. Banyak kesulitan dan hambatan yang dijumpai dalam praktek, sebagaimana halnya hambatan dan kesulitan yang diketemukan dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang. Permasalahan dan kesulitan eksekusi itulah yang tepat pada setiap kasus eksekusi. Namun sebelum melangkah ke dalam pembahasan itu, tentu harus lebih dulu diketahui secara singkat pengertian eksekusi riil maupun eksekusi pembayaran uang.
Perbedaan lain yang sangat menonjol antara eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang:
·         eksekusi riil hanya mungkin terjadi berdasar putusan pengadilan:
o   yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
o   yang bersifat dijalankan lebih dahulu;
o   yang berbentuk provisi; dan
o   yang berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan.
·         eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas putusan pengadilan, tetapi dapat juga didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap:
o   berupa grose akta pengakuan hutang;
o   berupa grose akta hipotik; dan
o   berupa kredit verband.

B.     Penjualan Secara Lelang
Pada masa lalu, masalah penjualan lelang di lingkungan peradilan agak jarang dijumpai, sehingga menyebabkan perhatian dan pengkajian aturan tata caranya kurang didalami. Akan tetapi pada masa belakangan ini peristiwa penjualan lelang hampir tak dapat dipisahkan dari kesibukan pelayanan peradilan, sesuai dengan semakin berkembangnya pertumbuhan lalu lintas kegiatan perekonomian. Kehidupan masyarakat sudah dimasuki semangat kegairahan berusaha, sehingga lembaga perjanjian hutang – piutang dan perkreditan sudah lumrah terjadi. Bentuk-bentuk perjanjian groses akta hipotik maupun pernyataan hutang semakin luas. Semua ini merupakan faktor penyebab semakin seringnya terjadi penjualan lelang, apabila pihak debitur lalai atau tak mampu menyelesaikan pembayaran sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya, juru lelang dapat melimpahkannya kepada seorang kuasa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan Lelang, yang memberi hak kepada juru lelang untuk menunjuk kuasa melaksanakan penjualan lelang. Penjualan lelang yang dilakukan kuasa dianggap tetap sebagai penjualan yang dilakukan atas nama juru lelang, sehingga penjualan yang dilakukan kuasa tadi dianggap dilakukan oleh juru lelang sendiri.
Mengenai siapa yang dapat ditunjuk sebagai kuasa juru lelang, peraturan itu sendiri tidak menentukan. Biasanya, kalau undang-undang atau peraturan tidak menentukan siapa yang diangkap sebagai kuasa, berarti memberi kebebasan bagi juru lelang untuk menunjuk kuasa yang dikehendakinya. Tentu dalam mempergunakan kebebasan menunjuk kuasa juru lelang berpegang pada beberapa persyaratan, agar orang yang ditunjuk tidak menyalahgunakan fungsinya. Syaratnya antara lain, kuasa yang ditunjuk memiliki sifat cakap, jujur, dan dapat dipercaya.

C.    Eksekusi Terlebih Dahulu
Seperti yang sudah berkali-kali dijelaskan, salah satu asas eksekusi: eksekusi dapat dijalankan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam arti, terhadpa putusan yang bersangkutan sudah tertutup upaya banding dan kasasi. Inilah salah satu asas umum yang menjadi patokan eksekusi. Selama terhadap pengadilan  masih terbuka upaya banding dan kasasi, eksekusi terhadap putusan belum boleh dijalankan. Namun terhadap ketentuan dan asas umum selalu ada pengecualian (eksepsional). Antara lain ialah eksekusi terlebih dahulu atau yang lazim disebut “putusan serta-merta”. Terhadap putusan eksekusi terlebih dahulu, putusan yang bersangkutan sudah dapat dijalankan eksekusinya walaupun pihak tergugat masih mengajukan banding atau kasasi. Dengan kata lain, putusan eksekusi terlebih dahulu boleh dijalankan eksekusinya, sekalipun putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemeriksaan tingkat banding atau kasasi tidak menghalangi eksekusi putusan eksekusi terlebih dahulu.
Karakter yang memperbolehkan putusan eksekusi terlebih dahulu dapat dijalankan sekalipun putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, menjadi ciri sifat eksepsional yang melekat pada lembaga putusan semacam ini. Oleh karena pada putusan eksekusi terlebih dahulu melekat sifat eksepsional maka penerapannya pun dibarengi dengan beberapa syarat yang ketat. Syarat-syarat dimaksud merupakan “pembatasan” (restriksi) kebolehan menjatuhkan putusan eksekusi terlebih dahulu. Pelanggaran atas pembatasan tersebut dapat dianggap pelanggaran hukum sebagai tindakan yang melampaui batas yang dapat dikualifikasi sebagai tindakan yang tidak profesional.

D.    Eksekusi Grosse Akta
Kegiatan kehidupan perkreditan pada saat sekarang sudah tidak bisa dilepaskan dari ikatan hubungan persetujuan yang dituangkan dalam bentuk grose akta. Luasnya frekuensi dan intensitas perjanjian pinjaman uang dalam lalu lintas dunia bisnis dan industri pada lima belas tahun terakhir ini telah menyeret Pasal 224 HIR ke kancah arena perputaran hubungan dunia keuangan dan perbankan.
 Pada masa yang lalu, atau pada masa sebelum digalakkan usaha pembangunan, Pasal 224 HIR boleh dikatakan merupakan rumusan pasal yang diam dan tertidur. Pasal itu jarang disentuh dan berperan dalam praktek peradilan. Barangkali hal itu sesuai dengan dinamika kegiatan pembangunan dan kehidupan dunia bisnis pada saat itu, yang masih berada dalam tahap konvensional dan belum menuntut pendanaan modal menengah dan besar. Pada masa yang lalu, orang yang berkecimpung dalam dunia bisnis dan industri masih jarang dan langka. Badan-badan penyedia modal seperti perbankanpun masih dapat dihitung dengan jari.
Dalam suasana perekonomian yang stabil dan menanjak, ikatan perkreditan yang dituangkan dalam grose akta jarang sekali berakhir dengan tindakan eksekusi penjualan lelang. Mungkin hal ini sesuai dengan hipotesa yang beranggapan, bahwa pada suasana kehidupan perekonomian stabil dan menanjak para debitur selalu mampu menunaikan penyelesaian pembayaran kreditnya kepada pihak kreditur. Akan tetapi lain halnya dalam keadaan kelesuan dunia perekonomian seperti yang dialami pada masa lima tahun belakangan ini.
Berdasar pengamatan, kekeliruan pembuatan dokumen grose akta kebanyakan terjadi disebabkan kekurangpersisan memahami dan mendudukkan pemisahan bentuk grose akta yang dimaksud Pasal 224 HIR. Tidak berlebihan jika dikatakan hampir semua dokumen grose akta yang dijumpai sering mencampuradukkan antara grose akta hipotik dengan pengakuan hutang. Akibatnya, grose akta yang diajukan ke pengadilan merupakan grose akta yang tidak jelas bentuknya. Jarang dijumpai bentuk grose akta yang murni. Karena selalu terdapat rumusan aktanya yang bercampur-baur antara hipotik dengan grose akta pengakuan hutang. Sedang menurut hukum, grose akta yang dapat dijalankan eksekusinya sebagai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap hanyalah grose akta yang murni bentuknya.

E.     Eksekusi Perdamaian
Eksekusi putusan perdamaian yang akan dibahas pada bagian ini sebagai salah satu pengecualian atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Titik berat pembahasannya bukan diarahkan pada tata cara eksekusinya. Tetapi lebih diarahkan pada pengkajian bentuk dan proses kelahiran putusan perdamaian. Alasan pembahasan yang demikian didasarkan pada pemikiran, bahwa sepanjang mengenai tata cara eksekusi sudah diuraikan panjang lebar, baik mengenai tata cara eksekusi riil maupun tata cara eksekusi pembayaran sejumlah uang. Semua tata cara eksekusi yang dijelaskan pada uraian tersebut sepenuhnya berlaku dalam eksekusi putusan perdamaian. Oleh karena itu cukup berdasar untuk tidak membahas ulang sepanjang mengenai tata cara eksekusinya. Arah pembahasannya lebih dititikberatkan pada masalah yang berkaitan dengan bentuk dan proses terwujudnya putusan perdamaian.
Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis. Kedua belah pihak yang bersangkutan sama-sama menyetujui dengan sukarela mengakhiri persengketaan. Persetujuan “mesti murni” datang dari kedua belah pihak. Artinya, persetujuan itu bukan kehendak sepihak atau kehendak hakim. Dalam hal ini berlaku sepenuhnya unsur-unsur persetujuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
·         adanya kata sepakat secara sukarela;
·         kedua pihak cakap membuat persetujuan;
·         objek persetujuan mengenai pokok yang tertentu; dan
·         berdasar alasan yang diperbolehkan.
Jadi yang menjadi salah satu syarat putusan perdamaian ialah persetujuan yang tunduk sepenuhnya kepada asas umum perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUH Perdata. Oleh karena itu dalam persetujuan tidak boleh terdapat cacat pada setiap unsur esensial persetujuan. Di samping unsur subjektif dan objek persetujuan mesti lengkap, masing-masing unsur tidak boleh mengandung cacat. Artinya dalam persetujuan yang diberikan semua pihak tidak boleh terkandung unsur:
·         kekeliruan/kekhilafan;
·         paksaan; dan
·         penipuan 
Syarat lain yang menjadi dasar putusan perdamaian, harus didasarkan atas persengketaan  yang telah ada. Persengketaan itu menurut Pasal 1851 KUH Perdata:
·         sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan, atau
·         sudah nyata terwujud sengketa perdata yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di sidang pengadilan.
Jadi persengketaan yang masih kabur, seperti suatu perisitwa yang masih dalam urusan kepolisian, belum dapat dikatakan sengketa perdata murni. Selama suatu kasus masih diragukan apakah dia termasuk bidang hukum pidana atau bidang hukum perdata, kasus yang seperti itu belum sah dituangkan dalam bentuk persetujuan perdamaian. Akan tetapi harus diingat! Tidak semua kasus yang masih dalam tarap pemeriksaan suatu instansi dianggap masih kabur sengketa perdatanya. Tidak demikian halnya. Misalnya sengketa tanah yang sedang dalam pemeriksaan agraria, disebabkan adanya perbantahan antara kedua belah pihak. Dalam kasus ini, sekalipun perselisihan masih dalam taraf pemeriksaan agraria, yang mereka sengketakan sudah jelas perkara perdata murni. Oleh karena itu para pihak dapat mengadakan persetujuan perdamaian berdasar Pasal 1851 KUH Perdata.
Syarat formal yang paling pokok suatu persetujuan perdamaian ialah menuangkan persetujuan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1851 KUH Perdata yang berbunyi : “Persetujuan ini tidak sah, melainkan jika dibuat secara tertulis”. Persetujuan perdamaian tidak sah kalau dibuat secara lisan. Sahnya persetujuan perdamaian jika dibuat secara tertulis. Syarat ini bersifat imperatif.

F.     Penundaan Eksekusi
Salah satu asas yang berlaku pada penundahaan eksekusi ialah prinsip “tidak ada patokan umum” untuk menunda eksekusi. Pengkajian penundaan eksekusi adalah “bersifat kasuistis”. Tidak ada alasan penundaan eksekusi yang bersifat menentukan. Seperti yang sudah dikatkaan di atas, mungkin alasan yang sama berbeda penerapannya. Sehingga alasan itu tidak berlaku umum untuk semua penundaan eksekusi. Suatu alasan penundaan mungkin dapat dibenarkan menunda eksekusi pada suatu kasus, tapi belum tentu alasan tersebut dapat dipergunakan untuk menunda eksekusi pada kasus yang lain. Ambil contoh di atas, yakni peninjauan kembali. Mungkin pada suatu kasus, peninjauan kembali dapat dijadikan alasan penundaan eksekusi. Kalau begitu, peninjauan kembali tidak berlaku umum sebagai alasan penundaan eksekusi. Namun peninjauan kembali dapat dipergunakan sebagai alasan penundaan eksekusi secara “kasuistis”. Tergantung pada bobot yang terkandung pada dasar alasan peninjauan kembali. Kalau bobotnya sedemikian rupa dapat diperkirakan peninjauan kembali akan membatalkan putusan yang hendak dieksekusi, peninjauan kembali dapat dijadikan alasan untuk menunda eksekusi. Sebab dalam kasus yang seperti itu, eksekusi dihadapkan pada dua segi pertimbangan hukum. Dari satu segi, setiap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus dijalankan eksekusinya. Akan tetapi dari segi pertimbangan hukum yang lain, apa gunanya menjalankan eksekusi suatu putusan kalau toh putusan itu nanti bakalan dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan peninjauan kembali. Sehingga dengan pembaalan tersebut keadaan akan pulih kembali seperti semua.
Di samping asas yang dikemukakan, yakni tidak ada patokan dan alasan yang berlaku umum untuk mengabulkan permohonan penundaan eksekusi, ada lagi asas lain yang perlu mendapat perhatian. Asas tersebut, yaitu penundaan eksekusi “bersifat eksepsional”. Artinya, pengabulan penundaan eksekusi merupakan tindakan “pengecualian” dari asas  umum hukum. Itu sebabnya penundaan eksekusi disebut tindakan “eksepsional”. Penundaan eksekusi disebut bersifat dan merupakan tindakan hukum yang “sangat eksepsional”, karena tindakan penundaan eksekusi “menyingkirkan” ketentuan umum hukum eksekusi. Menurut asas umum yang berlaku:
·         pada setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap telah melekat kekuatan eksekutorial;
·         eksekusi atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya; dan
·         yang dapat menunda eksekusi hanya perdamaian.

G.    Eksekusi Yang Tidak Dapat Dijalankan
Alasan-alasan hukum dan fakta yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan eksekusi tidak dapat dijalankan atau noneksekutabel. Bagan dari inventarisasi dari pengamatan praktek, dan telah menjadi patokan baru dalam menghadapi kasu-kasu noneksekutabel.
Kalau secara nyata tidak dijumpai harta tereksekusi dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang, sudah barang tentu eksekusi tidak dapat dijalankan. Begitu pula dalam eksekusi riil, kalau barang yang hendak di eksekusi tidak ada lagi baik karena hancur atau berpindah secara sah dengan alas hak yang sah, tidak mungkin eksekusi riil dapat dijalankan.
Pengertian harta kekayaan tereksekusi  tidak ada lagi di dalam kasus ini harus ditafsirkan secara luas. Pengertian ini tidak boleh ditafsirkan  secara sempit. Oleh karena itu yang termasuk dalam jangkauan pengertian mengenai harta tereksekusi tidak ada lagi:
1.      Secara mutlak harta kekayaan tereksekusi tidak ada
Pada kasus ini sama sekali harga kekayaan tereksekusi benar-benar sudah tidak ada lagi, dalam arti harta kekayaannya sudah habis. Habisnya harta kekayaan tereksekusi bisa terjadi disebabkan:
·         telah habis terjual sebelum eksekusi dijalankan; atau
·         oleh karena bencana alam berupa kebakaran, banjir, dan sebagainya.
Dalam hal yang seperti ini, secara nyata eksekusi tidak mungkin dijalankan. Sebab barang yang akan dijadikan objek eksekusi tidak ada. Oleh karena itu dalam kasus yang demikian eksekusi harus dinyatakan noneksekutabel (tidak dapat dijalankan) atas alasan barang tereksekusi tidak ada. Sifat noneksekutabel dalam keadaan harta tereksekusi tidak ada:
·         mungkin bersifat permanen; atau
·         mungkin pula bersifat temporer (sementara).
Sehubungan dengan tidak adanya barang tereksekusi pada saat eksekusi dijalankan, faktor keadaan tidak adanya barang tereksekusi “tidak” menghapuskan atau menggugurkan hak pemohon eksekusi (kreditur) untuk menuntut pelunasan hutang. Sekalipun pada saat eksekusi Pengadilan Negeri telah mengeluarkan penetapan noneksekutabel atas alasan harta kekayaan tereksekusi (debitur) tidak ada, penetapan tersebut tidak mengandung penghapusan atau pengguguran hak kreditur terhadap tagihan. Tagihan secara yuridis tetap ada. Hanya eksekusinya yang tidak dapat dijalankan. Karena kebetulan harta kekayaan tereksekusi tidak ada pada saat eksekusi dijalankan. Oleh karena itu hak meminta eksekusi kembali pada suatu  ketika masih tetap terbuka, apabila pemohon eksekusi mengetahui dan dapat menunjukkan harta kekayaan tereksekusi. Kapan saja nanti ada harta kekayaan tereksekusi, masih tetap hidup hak pemohon eksekusi untuk meminta eksekusi. Noneksekutabel baru dapat dikatakan bersifat permanen, apabila sampai kapanpun harta kekayaan tereksekusi tidak pernah ada lagi. Akan tetapi da ri sudut pandang teoritis maupun dari segi kenyataan, lebih tepat mengatakan sifat noneksekutabel dalam kasus ini bersifat temporer.

2.      Pada saat eksekusi dijalankan, pemohon eksekusi tidak mampu menunjuk harta kekayaan terekseksui
Penafsiran kedua tentang pengertian tidak adanya harta kekayaan tereksekusi, termasuk pengertian tentang ketidakmampuan pemohon eksekusi menunjukkan dimana dan apa barang yang hendak dieksekusi. Dalam kasus ini belum pasti ada atau tidak harta tereksekusi. Namun pemohon eksekusi tidak mampu atau tidak berhasil menunjukkan dimana dan apa saja barang kekayaan tereksekusi. Hal ini sesuai dengan kewajiban hukum yang dibebankan kepada pemohon eksekusi. Dia harus mampu menunjukkan harta kekayaan tereksekusi yang akan menjadi objek eksekusi. Selama pemohon eksekusi tidak berhasil menunjuk barang tereksekusi, baik secara fisik maupun berdasar identitas dan lokasi barang, eksekusi tidak dapat dijalankan. Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk menyatakan permintaan eksekusi noneksekutabel.

3.      Barang yang ditunjukkan tidak diketemukan
Pemohon eksekusi menunjuk suatu barang yang hendak dijadikan objek eksekusi. Akan tetapi pada saat eksekusi dijalankan, juru sita tidak menemukan secara jelas barang yang ditunjuk. Dalam kasus yang demikian, eksekusi tidak dapat dijalankan atas alasan barang yang hendak dieksekusi “tidak ada” atau barang yang hendak di eksekusi “tidak ditemukan”.
Demikian kira-kira pengertian yang dapat digolongkan pada kasus barang tereksekusi tidak ada. Bisa diartikan barangnya mutlak tidak ada, pihak pemohon eksekusi tidak dapat menunjukkan barang tereksekusi, atau barang yang ditunjuk tidak diketemukan.

H.    Biaya Eksekusi
Adapun yang dapat diperhitungkan sebagai biaya perkara (biaya pemeriksaan persidangan dan biaya eksekusi) ialah jumlah pengeluaran yang dapat dipertanggungjawabkan  dengan bukti pengeluaran. Dan bukti pengeluaran biaya perkara yang dianggap sah ialah bukti yang dikeluarkan pengadilan berupa surat bukti kuitansi. Di luar pengeluaran yang tidak dibarengi dengan bukti yang sah, tidak dapat dibebankan menjadi biaya perkara. Saya tidak setuju untuk memperluas keabsahan pengeluaran biaya berdasar tanda bukti yang dikeluarkan pihak instansi lain di luar pengadilan. Paling-paling dapat disetujui keabsahan suatu tanda bukti biaya perkara yang dikeluarkan instansi  lain, apabila tanda bukti pengeluaran itu disahkan dan disetujui oleh pengadilan. Memperkenankan keabsahan tanda bukti biaya perkara di luar tanda bukti yang dikeluarkan pengadilan bisa membahayakan. Karena besar kemungkinan terjadinya manipulasi pengeluaran biaya perkara.
Dengan penjelasan ini, pihak yang mengeluarkan biaya perkara (biasanya pihak penggugat) tidak boleh semau sendiri menyebut jumlah biaya perakra yang dikeluarkannya. Biaya yang dianggap sah yang dapat ditagih kemudian kepada pihak tergugat hanya sepanjang biaya yang dilengkapi dengan bukti yang dikeluarkan menurut perhitungan pembukuan yang dibuat pengadilan.
Hal yang sejalan dengan apa yang sudah diterangkan terdahulu, bahwa biaya perkara, dengan baya eksekusi adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan dalam satu perkara, yang menegaskan ke dalam biaya perkara termasuk biaya eksekusi. Oleh karena itu, untuk menentukan pihak manayang menanggung biaya eksekusi tergantung pada bunyi amar putusan. Sekiranya amar putusan membebankan biaya kepada penggugat, maka biaya eksekusi pun dibebankan kepadanya. Namun dalam praktek peradilan, apabila gugatan pengguga dikabulkan, selamanya atau lazimnya biaya perkara akan dibebankan kepada pihak “tergugat”, sehingga biaya eksekusi dibebankan kepada pihak tergugat. Kalau gugatan dikabulkan, paling-paling biaya perkara dipikulkan bersama kepada pihak penggugat dan tergugat. Tidak mungkin dijumpai amar yang membebankan biaya perkara kepada pihak penggugat, kalau gugatannya dikabulkan. Cara penerapan hukum yang demikian dianggap tidak konsisten karena salah satu konsekuensi dari pengabulan gugat dampaknya termasuk pembebanan biaya perkara kepada penggugat sebagai hukuman tambahan kepada penghukuman pokok perkara.

BAB III
PENUTUP

Pengeritan eksekusi dapat dilihat dari beberapa sisi, ada yang melihat dari sisi pelaksanaan, isi putusan saja, yang berarti bahwa semua putusan yang telah berkekuatan hukum tetap memerlukan eksekusi dan ada pula yang melihat dari sisi pelaksanaan yang bersifat menghukum saja.
Apabila proses peradilan berhenti pada tahap putusan, maka segala hal yang dimuat di dalamnya masih berhenti, artinya belum mendatangkan manfaat bag para pihak, oleh karena itu putusan memerlukan eksekusi, dengan demikian eksekusi itu bertujuan untuk menggalakkan wibawa pengadilan.